Asal Usul Pulau Madura

540289_306636686114557_908499060_n

DICERITAKAN bahwa pulau Madura ini bermula terlihat oleh pelajar-pelajar pada jaman purbakala sebagai pulau yang terpecah-pecah sehingga merupakan beberapa puncak-puncak tanah yang tinggi (yang sekarang menjadi puncaknya bukit-bukit di Madura) dan beberapa tanah datar yang rendah apabila air laut surut kelihatan dan apabila air laut pasang tidak kelihatan (ada di bawah air). Puncaknya-puncak yang terlihat itu diantaranya yang sekarang disebut Gunung Geger di daerah Kabupaten Bangkalan dan Pegunungan Pajudan di daerah Kabupaten Sumenep.

Diceritakan bahwa pada jaman purba ada suatu negara yang bernama negara Mendangkawulan yang didalamnya terdapat subuah kraton yang bernama Gilling Wesi. Rajanya bernama Sanghiangtunggal. Menurut dugaan orang Madura dikiranya ada disuatu tempat didekat Gunung Semeru didekat puncakala yang bernama Gunung Bromo. Jaman tersebut kira-kira sekitar tahun 929 Masehi.

Raja tersebut mempunyai seorang putri yang masih gadis. Pada suatu hari, putri tersebut bermimpi kemasukan rembulan dari mulutnya terus masuk ke dalam perutnya dan tidak keluar lagi. Setelah beberapa bulan setelah kejadian itu, putri tesebut menjadi hamil dan tidak ketahuan siapa ayah dari calon bayi tersebut. Beberapa kali ayahnya bertanya tentang sebab musababnya, tapi putrinya sama sekali tidak menjawab karena iapun juga tidak mengetahui apa yang telah terjadi pada dirinya.

Raja tadi amat marah dan memannggil Patihnya yang bernama Pranggulang. Patih tersebut diperintah untuk membunuh putri tersebut dan membawa kepala putrinya ke hadapan raja tersebut. Apabila Patih tersebut tidak sanggup memperlihatkan kepala putrinya itu maka Patih tidak diperkenankan menghadap raja dan tidak dianggap lagi sebagai Patih di Kerajaannya.

Maka berangkatlah Patih dengan membawa sang Putri keluar dari Kraton menuju hutan rimba. Setelah sampai disuatu tempat di dalam hutan belantara, maka Patih menghunus pedangnya dan mulai memegang leher Putri tersebut, akan tetapi hampir pedang tersebut sampai ke lehernya pedang tersebut terjatuh ke tanah. Setelah kejadian tersebut sang Patih termenung dan berpikir bahwa hamilnya Putri tersebut tentu bukan dari kesalahannya, tetapi tentu ada hal yang luar biasa dan akhirnya Patih Pranggulang mengalah untuk tidak kembali ke rajanya dan mulai saat itu ia berubah nama menjadi Kijahi Poleng (Poleng artinya dalam Bahasa Madura yakni kain tenunan Madura) dan ia merubah pakaian yaitu memakai kain, baju dan ikat kepala dari kain poleng. Ia memotong kayu-kayu untuk dijadikan perahu (oleh orang Madura dinamakan Ghitek atau orang Jawa bilang Getek).

Sebelum Putri tadi diberangkatkan, Kijahi Poleng memberikan beberapa bekal berupa buah-buahan serta berpesan bahwa jika sang Putri memerlukan pertolongannya supaya sang Putri menghentakkan kakinya ketanah sebanyak 3 kali maka seketika itu Kijahi Poleng datang untuk menolongnya.

Putri tersebut oleh Kijahi Poleng didudukkan diatas ghitek itu yang kemudian ditendangnya Ghitek tersebut menuju “Madu Oro” (pojok di ara-ara) artinya pojok menuju ke arah yang luas. Diceritakan bahwa sebab inilah Pulau ini bernama Madura. Ada juga yang mengatakan bahwa nama Madura itu dari perkataan “Lemah Dhuro” artinya tanah yang tidak sesungguhnya yaitu apabila air laut pasang tanahnya tidak kelihatan, apabila air laut surut maka tanah akan kelihatan.

Singkat cerita Ghitek tersebut terdampar di Gunung Geger (disitu asalnya tanah Madura) dan memang menurut Babad-babad apabila ada yang tertulis perkataan tanah Madura, maka yang dimaksudkan adalah Kabupaten Bangkalan juga termasuk Kabupaten Sampang, sedangkan apabila ada yang menyebutkan daerah-daerah disebelah Timur dari daerah-daerah tersebut maka dimaksudkan adalah Kabupaten Sumenep atau Sumekar atau Sumanap dan dituliskannya Pamekasan.

Pada suatu ketika perut sang Putri mulai terasa sakit seolah akan menemui ajalnya, disitu ia menghentakkan kakinya ketanah 3 kali guna meminta pertolongan Kijahi Poleng. Maka seketika itu Kijahi Poleng datang dan iapun bila bahwa sang Putri akan segera melahirkan. Tidak lama kemudian lahirlah seorang anak laki-laki yang roman mukanya amat bagus yang kemudian diberi nama “Raden Segoro” (Segoro artinya lautan). Keluarga itu menjadi penduduk pertama di Madura. Setelah itu Kijahi Poleng menghilang lagi, tetapi ia sering datang mengunjungi sang Putri dengan membawa makanan atau buah-buahan.

Diceritakan bahwa perahu-perahu orang dagang yang berlayar dari beberapa kepulauan di Indonesia apabila pada waktu malam hari melalui lautan dekat tempatnya Raden Segoro tersebut, maka mereka melihat cahaya yang terang seolah-olah cahaya rembulan, maka mereka akan berhenti untuk berlabuh ditempat itu Geger Madura dan akan membuat selamatan makan minum disitu serta memberi hadiah kepada yang bersahaja itu.

Setelah berumur dua tahun Raden Segoro sering bermain-main di tepi lautan, dan pada suatu hari dari arah lautan datanglah dua ekor naga yang amat besarnya mendekatinya. Dengan ketakutan, maka Raden Segoro berlari sambil menangis dan menceritakan kejadian tersebut kepada ibunya. Merasa khawatir takut anaknya dimakan ular naga tersebut, maka ibunya memanggil Kijahi Poleng. Dan seketika itu Kijahi Poleng datang menemui si Ibu, maka si ibu menceritakan kejadian yang menimpa putranya tersebut. Kemudian kijahi Poleng mengajak Raden Segoro bermain-main di tepi laut. Tidak beberapa lama datanglah dua ekor naga raksasa itu, lalu Kijahi Poleng menyuruh Raden Segoro agar memegang ekor ular dan membantingkannya ke tanah. Raden Segoro menolak permintaan Kijahi Poleng, tetapi karena paksaan tersebut akhirnya Raden Segoro memenuhi permintaan tersebut. Kemudian dipegangnya dua ekor naga raksasa tersebut dan dibantingkannya ke tanah. Seketika itu juga dua ekor ular naga raksasa tersebut berubah menjadi dua bilah tombak. Kedua bilah tombak tersebut kemudian diberikan kepada Kijahi Poleng untuk dibawa menghadap ibunya raden Segoro. Tombak satunya diberi nama “Kijahi (si) Nenggolo” dan satunya diberi nama “Kijahi (si) Aluquro”

Pada usia 7 tahun Raden Segoro pindah dari Gunung Geger ke Desa Nepa. Nama Nepa itu karena disitu banyak sekali pohon Nepa. Pohon nepa atau Bhunyok yaitu pohon sejenis kelapa tapi lebih kecil dan tidak besar seperti halnya pohon kelapa, daunnya dapat dibuat atap rumah, yang masih muda dapat dibuat rokok (seperti klobot). Desa tersebut letaknya berada di daerah Ketapang Kabupaten Sampang dipantai sebelah Utara (Java Zee) dan hingga sekarang masih banyak keranya.

Pada suatu ketika, Negara Mendangkawulan kedatangan musuh dari Tjina. Didalam peperangan tersebut Raja Mendangkawulan berkali-kali kalah sehingga rakyatnya hampir habis dibunuh oleh musuh. Didalam keadaan bingung dan susah tersebut, suatu malam Raja Mendangkawulan bermimpi bertemu dengan orang tua yang berkata bahwa di sebelah pojok Barat Daya dari Kraton tersebut ada Pulau bernama Madu Oro (Lemah Dhuro) atau Madura. Disitu berdiam seorang anak muda bernama Raden Segoro. Raja disuruhnya untuk meminta pertolongan kepada Raden Segoro apabila ingin memenangkan peperangan.

Keesokan harinya Raja memerintahkan Pepatihnya supaya membawa beberapa prajurit ke Madura sesuai dengan Mimpinya tersebut. Sesampainya di Madura, Pepatih langsung menemui Raden Segoro dan menceritakan tentang kejadian yang menimpa kerajaannya serta meminta pertolongan Raden Segoro untuk membantunya. Dan juga meminta ijin kepada ibunya agar ibunya mengijinkan putranya untuk membantunya. Si ibu memanggil Kijahi poleng untuk mendampingi Raden Segoro guna membantu peperangan raja itu dari serangan musuh (Tjina). Kemudian berangkatlah Raden Segoro, Kijahi Poleng serta Pepatih dan prajuritnya menuju Kraton Mendangkawulan dengan membawa pusaka tombak Kijahi Nenggolo.

Kijahi Poleng ikut serta akan tetapi tidak kelihatan oleh yang lain kecuali Raden Segoro. Dan sesampainya di negara tersebut, Raden Segoro langsung berperang dengan tentara Tjina dengan didampingi oleh Kijahi Poleng. Pusaka Kijahi Nenggolo hanya ditujukan kearah tempat sarang-sarang musuh maka banyak musuh yang mati karena mendadak menderita sakit dan tidak lama kemudian semua musuh lari meninggalkan negara Mendangkawulan.
Raja Mendangkawulan mengadakan pesta besar untuk merayakan kemenangan perang dan memberi penghormatan besar kepada Raden Segoro serta memberi gelar “Raden Segoro alias Tumenggung Gemet” yang artinya semua musuh apabila bertarung dengannya maka akan habis (Gemet = Bahasa Djawa)

Raja Sanghiangtunggal berhajat untuk mengambil anak mantu kepada Tumenggung Gemet dan menghantarkan dia (suruhan Pepatih dan tentara kehormatan) dengan disertai surat terima kasih kepada ibunya. Raja menanyakan siapa ayahnya, maka Raden Segoro akan menanyakan kepada ibunya nanti. Kemudian Raden Segoro mohon ijin kepada Raja Mendangkawulan untuk kembali ke Madura.

Setelah sampai, maka Raden Segoro kembali menanyakan perihal ayahnya kepada ibunya. Ibunya merasa kebingungan dan menjawabnya bahwa ayahnya adalah seorang siluman. Maka seketika itu pula lenyaplah ibu dan anaknya serta rumahnya yang disebut dengan sebutan Kraton Nepa.

Demikian riwayat asal usul tanah Madura, yang oleh orang tua-tua dikesankan bahwa Raden Segoro telah membalas hutang-hutangnya yang menghinakan ibunya dengan pembalasan yang baik yaitu menolong di dalam peperangan.

Diceritakan pula bahwa dikemudian hari Kijahi Nenggolo dan Kijahi Aluquro oleh Raden Segoro diberikan kepada Pangeran Demong Plakaran (Kijahi Demong) Bupati Arosbaya (Bangkalan). Dan mulai saat itu kedua bilah tombak tersebut (Kijahi Nenggolo dan Kijahi Aluquro) menjadi Senjata pusaka Bangkalan.

Dikutip dari :
Sejarah Tjaranya Pemerintahan Daerah di Kepulauan Madura Dengan Hubungannya
Oleh: R. Zainal Fattah (R. Tumenggung Ario Notoadikusumo (Bupati Pamekasan)

Pos terkait