Berbeda Di Bawah Bendera Yang Sama

IMG-20151225-WA011

Bangkalan, maduracorner.com-Pertarungan berjalan sengit. Kejar mengejar angka tak terelakkan, selalu beda tipis. Peluh tak bisa dibendung lagi meski sudah berulang kali diusap. Padahal, pertandingan baru berjalan separuh, masih sisa separuh lagi. Teriakan tiba-tiba membahana bercampur riuhnya bunyi tepukan penonton di tribun. Bukan teriakan minta tolong, bukan teriakan marah, juga bukan teriakan histeris pasca tangis yang meraung-raung. Itu terikan lega karena bola dinyatakan masuk oleh wasit. Arghhhh!!!

Iya, teriakan yang setimpal atas usaha yang dilakukan selama pertandingan. Satu tongkat penyangga dengan pangkal terselip di ketiak, kedua atlet itu merupakan penyandang cacat atau atlet disabilitas. Salah satu kaki mereka tidak tumbuh secara normal.

Siang itu, dua atlet tenis meja dari Kabupaten Kediri dan Blitar sedang beradu segalanya untuk meraih kemenangan di Gedung Olah Raga Sultan Abdul Kadirun, Bangkalan. Mereka berdua sedang mengikuti Pekan Paralympic Provinsi (Peparprov) Jawa Timur selama dua hari, tanggal 23 – 24 Desember 2015. Dua hari di penghujung tahun yang sangat mereka nantikan setelah berlatih sekian lama.

Jalannya pertandingan, aturan main, ukuran lapangan, bet, net, penghitungan skor, dan perangkat pertandingan semuanya sama dengan atlet bertubuh ‘normal’. Tetapi, mereka harus melakukan usaha yang jauh lebih besar dibandingkan dengan atlet ‘normal’. Alasan sederhananya, pertandingan tenis meja atau yang ping-pong dahulu pertama diciptakan oleh dan untuk orang ‘normal’ bukan penyandang disabilitas.

Hari itu, di pinggir lapangan, Khoir (40 tahun) sibuk menjadi wasit pertandingan tenis meja. Tidak seperti sebelum-sebelumnya, biasanya Khoir lah yang berada di lapangan. Khoir merupakan atlet disabilitas dengan prestasi segudang, bahkan mungkin lebih, karena kata segudang biasanya untuk atlet ‘normal’.

Pria sederhana asal Bangkalan ini pernah merasakan manisnya tangga juara di berbagai kejuaraan tenis meja. Mulai dari tingkat lokal, nasional bahkan Asia. Tak banyak yang tahu. Karena memang kiprahnya lebih dikenal kalangan atlet disabilitas.

Jangan tanya kemampuannya dalam bermain tenis meja. Sebagai atlet yang pernah ikut turnamen antar mahasiswa baru di IAIN Sunan Ampel (sekarang UIN), saya tak berkutik ketika menjajal bertanding dengannya. Ayunan bet melengkung menyebabkan laju bola ping-pong seolah-olah melaju dengan kecepatan pelan, tapi tiba-tiba berubah arah dan melaju kencang setelah menyentuh meja.

Meskipun berbagai gelar pernah ia raih, namun penghargaan dari pemerintah masih dirasa masih minim. Bayangkan, untuk atlet disabilitas yang meraih medali emas di level ASEAN, mereka hanya mendapatkan bonus Rp.600 ribu. Sedangkan atlet ‘normal’ mendapatkan bonus sekitar Rp.150 juta, bagi peraih gelar juara itupun hanya di tingkat Pekan Olahraga Nasional (PON), apalagi kalau juara di tingkat ASEAN (SEA Games misalnya).

Kurangnya perhatian Pemerintah Provinsi Jawa Timur terhadap atlet disabilitas juga diamini oleh ketua NPC (National Paralympic Committee) Jawa Timur, Fathurrahman Said. Ketimpangan perlakuan atas atlet disabilitas dengan atlet ‘normal’ sudah lama menjadi ganjalan bagi peningkatan prestasi atlet disabilitas.

Pria yang akrab disapa Jimhur Saros ini juga menambahkan bahwa Provinsi Jawa Timur masih tertinggal dibanding Provinsi Lain di pulau Jawa dalam hal perhatian kepada atlet disabilitas.

“Dibandingkan dengan provinsi lain, Jawa Timur termasuk provinsi yang masih kurang memperhatikan nasib dan keberlangsungan pembinaan atlet disabilitas”, ungkapnya.

Meski minim perhatian dan keterbatasan fasilitas, Jimhur Saros menegaskan bahwa NPC Jawa Timur akan terus berupaya meningkatkan prestasi. Baik di tingkat nasional maupun internasional. Salah satunya dengan menjaring atlet-atlet disabilitas yang masih berusia muda.

Selain itu, pihaknya juga akan menggandeng kerjasama dengan berbagai pihak yang peduli dengan keberadaan atlet disabilitas.

Bukankah atlet ‘normal’ dengan atlet disabilitas juga menyanyikan lagu kebangsaan yang sama saat meraih medali emas. Bukankah mereka juga menghormat kepada bendera yang sama, sang saka merah putih. Sudah selayaknya mereka juga diberi kesempatan yang sama sebagai bagian dari putra-putri terbaik Ibu Pertiwi yang sudah mengharumkan nama bangsa.

Penulis : Buyung Pambudi

By : Jiddan

Pos terkait