Madura Untuk Indonesia

12

Maduracorner.com – Berbicara tentang Madura bagi saya ada gampang tapi ada sulitnya- Madura menjadi gampang alias gampangan, jika saya berbicara Madura dengan hanya bermodalkan domisili, karena saya tinggal di Madura, tapi tidak bisa melihat Madura secara jernih apalagi bisa mereguk madunya Madura, karena mata saya lebih tertarik kepada tayangan-tayangan global, baik sinetron asing maupun dalam negeri, iklan-iklan cantik yang mempesona dan moralitas baru yang sebagian mungkin merugikan bagi tradisi kemaduraan. Ketika dunia ini saya pandang kecil, maka Madura menjadi semakin kecil, sehingga Madura bisa saya anggap sebutir debu. Karena Madura hanya sebutir debu, begitu gampangnya saya merumuskan Madura, sehingga memberi kesimpulan yang salah pun saya merasa tidak berdosa. Pandangan seperti itu bisa teijadi karena saya awam, atau saya seorang cerdik pandai tapi yang suka ngawur.

Tetapi, alangkah sulitnya saya berbicara tentang Madura ketika Madura saya anggap sebagai sesuatu yang besar. Alasannya antara lain, budayawan Ikranagara yang lahir di Negara, Bali — dengan ayah dan ibu dari Talango, pulau Poteran — ketika pada tabun 1982 datang berkeliling Madura, ia berkata, bahwa Madura bukan pulau tetapi “benua”. Kenapa benua? Pulau Madura memang kecil, tetapi khazanah budaya yang terdapat di pulau ini sangatlah kaya, mulai dari irama “Durengnget” dari Gegger Bangkalan, “Asta Madeggan” di Sampang, “Topeng Gertak” Pamekasan, ukiran Karduluk dan Sumenep, sampai pesta potong padi “Pangkak” di pulau Kangean. Warisan budaya yang lain tak mampu saya sebutkan.

Etos bahari wan yang yang sering terlukis pada adagium abantal omba’ asapo’ angen, yang menunjukkan vilalitas perjuangan hidup yang penuh energi menghadapi tantangan gelombang kehidupan, bisa dibuktikan secara konkrit dengan banyaknya bentuk- bentuk kreasi budaya orang Madura. Sulaiman BA, pernah meneliti ragam dan hias perahu Madura, ditemukan 32 jenis perahu, dan 2 bentuk yang saat itu telah punah. Sekarang ragam bentuk-bentuk perahu itu sudah tinggal sedikit, tanpa seorangpun generasi sesudah Sulaiman sempat menelitinya lebih dalam. Padahal Sulaiman sendiri menyatakan, bahwa penelitiannya masih dalam tahap permukaan.

Pembicaraan tentang Madura itu terasa semakin sulit. karena arsip-arsip tentang Madura banyak tersimpan di Leiden. Desertasi Doktor Masiubu “Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren”, penerbit IMS. Jakarta 1994. menyebutkan hahvva pesantren yang Pertama kali didirikan di Madura adalah Pesantren “Jan Tampes II” di Pamekasan, yang didirikan 1062, sekitar 5 abad sebelum berdirinya kerajaan Islam Demak yang didirikan oleh Wali Songo. Kita sekarang bertanya. Pesantren Jan Tampes II itu di mana? Kalau ada Pesantren Jan Tampes II tentu ada Jan Tampes 1. Kapan berdirinya ? Alangkah gelap mata saya memandang sejarah jauh kebeiakang.

Di samping itu betapa sulitnya Bapak Prof. Dr. Aminuddin Kasdi dan kawan- kawan yang telah berusaha optimal agar pejuang Madura melawan penjajah Belanda, Raden Trunajaya diakui dan dikukuhkan oleh Pemerintah pusat sebagai pahlawan nasional yang sampai saat ini belum berhasil. Belum kesulitan bahasa dari orang Madura, yang kalau pergi ke Surabaya atau Jawa harus menggunakan istilah ongga (naik), sedangkan kalau datang (pulang) menggunakan istilah toron (turun). Dari paparan di atas, betapa banyaknya masalah kebuday aan Madura yang belum diteliti dan didokumentasi Belum sastra lisan Madura yang sebagian besar sudah dilupakan karena tidak tertulis. Penelitian- penelitian memang harus dilakukan, tapi bagaimana merekam jejak di atas pasir yang sudah lenyap dihapus zaman dan angin ?

Penelitian yang dilakukan orang-orang kreatif bukan untuk memuja masa lalu, sementara kita sadar bahwa kita sedang beranjak menuju hari esok. Secara filosofis, apa yang saya sebut sebagai sekarang, sudah pergi menjadi tadi, dan apa yang tadi saya sebut sebagai nanti sudah menjadi sekarang. Begitulah waktu beijalan dan mengalir menantang kehidupan manusia. Maka, jika manusia itu tidak mampu memaknai hidupnya, maka umur yang sia-sia akan dilangkahi oleh waktu. Umur yang bernas yang diisi kucuran keringat akan dapat mendayung mengarungi samudera waktu, alako berra ’ apello koneng, ahantal omba ’ asapo’ angen.

Vilalitas yang tersurat dan tersirat pada kearifan di atas, menuntut orang Madura mampu menyumbangkan kebaikan bagi Indonesia dalam segala bidang. Madura memang bagian dan Indonesia, tapi tanpa Madura tidaklah lengkap Indonesia. Sejarah telah bicara, Halim Perdanakusuina telah merelakan jasadnya hancur sebagai bunga semerbak untuk kemerdekaan dan kejayaan Indonesia. Darahnya yang merah dan hatinya yang putih, selalu abadi pada warna bendera sang saka

Itulah pengorbanan milik bangsa dan tanah air yang berasal dari adagium ahiikn nagara. Spirit hidup menghormati kehidupan orang lain, bila cempa /palotan, bila kanca taretan, yang direvitalisasi dan direinterpretasi secara kreatif akan menjadi kelanjutan dan kelangsungan hidupnya “Sukma Madura’ (Madura soul). Tanpa bersikap kreatif terhadap tradisi, kita bisa mungkin terjebak pada pemujaan kepada masa lalu dan tradisi yang lapuk dan tidak punya visi ke depan.

Kaidah ushul fiqih menyatakan “Memelihara yang lama yang bernilai baik, dan mencari yang baru yang lebih baik ‘ Dari kaidah mi, memelihara nilai lama yang tidak cocok dengan zaman, seperti sikap tidak ilmiah, irasional, emosional feodal, mengulur- ulur waktu, dan lain-lain, jelas harus ditinggalkan karena tidak sesuai dengan semangat zaman. Sedangkan sifat andhap asor, abhantal syahadat asapo ’ iman, bajeng ajar nyare elmo, luman, jujur, dan lain-lain, tetap dipelihara, dan direvitalisasi. Di samping itu mengadakan dialog budaya dengan etnik lain dan bangsa lain secara kreatif sangatlah diperlukan agar muncul nilai-nilai dan formula baru vaug lebih cocok bagi orang Madura yang hidup di era tahun 2000-an.

Dalam bidang pendidikan, barangkali anak-anak Madura membutuhkan pendidikan keterampilan (skill) untuk bisa mengurus, merawat dan memakmurkan pulaunya sendiri. Sekolah-sekolah umum maupun sekolah agama yang tidak rajin mengajar siswa bertani dan melaut, mungkin hanya akan mencetak anak-anak yang tidak bisa mengucurkan keringat di tanah kelahirannya sendiri.

Padahal pada akhir abad ke-15, Savid Ahmad Badhawi yang mendirikan pesantren di Parsanga, Sumenep, tidak hanya mengajar agama dan akhlak saja, tetapi juga mengajar etos kerja dan bercocok tanam dengan cara lebih baik dari cara bertani orang Madura sebelumnya. Di pesantren itu pendidikan memakmurkan bumi dilancarkan. Karena upaya pembaruan cara bertanam itu berhasil Savid Ahmad Badhawi mendapat julukan “Pangeran Katandur”. Istilah “katandur ’ berasal dari tandur (Madura) yang artinya tanam.

Apa yang dilakukan Pangeran Katandur itu, adalah pendidikan yang berupaya memberi jawaban konkrit terhadap tantangan lokalitas. Model pendidikan seperti itu masih relevan untuk dikaji, karena pendidikan yang tidak memacu memberi jawaban kongkrit terhadap tantangan lokal, bisa jadi menghasilkan banyak pengangguran.

Ketika masyarakat Madura memandang hari esok, tentu dituntut untuk menyadari kekurangan-kekurangannya sendiri, agar bisa merawat dan merias bumi Madura sesuai dengan tuntutan alam Madura itu masa depan. Kebudayaan yang sehat adalah yang bisa memberi jawaban terhadap tuntutan itu baik yang mendesak maupun vang jangka panjang, karena perjalanan waktu selalu punya masalah kontekstual yang harus ditangani secara effektif dan efisien.

Dalam hal ini kebudayaan punya sektor yang nantinya sangat diperlukan, yaitu sektor pendidikan. Pendidikan yang dibutuhkan, selain dari apa yang telah berlangsung baik, talah menyiapkan putera-putera Madura yang terdidik di bidang skill untuk bisa memakmurkan dan mensejahterakan masyarakat Madura secara optimal.

Upaya seperti itu pernah diupayakan oleh KH. Ishom dari Pondok Pesantren An-Nuqayah Guhik-guhik dengan membuka Sekolah Menengah Kelautan. Upaya mulia ini sayang kurang mendapat perhatian dari masyarakat. Untuk ke depan sekolah-sekolah dan perguruan tinggi di Madura sudah sepantasnya diarahkan untuk membuka jurusan-jurusan baru yang secara kongkrit bisa menjawab masalah-masalah modern, dengan memberi bekal keterampilan praktis yang bisa mengembangkan Madura yang lebih menjanjikan. Sektor pertanian, peternakan, kelautan dan industri membutuhkan tenaga-tenaga yang terampil dan ahli, tenaga terampil akan muncul dengan adanva lembaga pendidikan.

Upaya di atas kalau dikaitkan dengan filosofi orang Madura “Sapa atane bakai atana , Alako berra apelio koneng akan membuat Madura dan orang Madura akan lebih banyak menyumbangkan andil menuju Indonesia yang makmur dan berdaya. Pendidikan dengan jurusan-jurusan baru untuk memajukan Madura itu tentu akan bisa mengecilkan jumlah pengangguran yang tidak diharapkan

Kemajuan masa depan Madura tentunya tidak dimaksudkan untuk menggeser tradisi Madura, justru ketika rasa “sadar budaya” yang ditanamkan sejak dini, kemajuan dalam berbagai sektor itu akan mengukuhkan jati diri keMaduraan dalam pluralitas ke Indooesiaan yang tegar dan bermartabat di tengah-tengah percaturan kebudayaan dunia.
Penulis : D Zawawi Imron
Tulisan diatas menyalin dari : Lontar Madura
By : Jiddan

Pos terkait