Dirilis dari : jurnal Dedy Eka Priyanto, mahasiswa asal indonesia di Tokyo National College of Technology.
Tak ada yang mengira bahwa limbah sampah yang menjadi problem paling pelik hampir seluruh negara di dunia ternyata memiliki potensi ekonomi yang tinggi. Salah satunya sebagai bahan baku semen.
Jepang, sebuah negeri penuh inovasi. Mungkin sebutan itu sesuai dengan bagaimana jepang menangani masalah sampah. Setelah berhasil membuat sebuah airport berkelas internasional di Kobe yang dibuat diatas lapisan sampah, lalu menerapkan pembuatan pupuk dari sampah di berbagai hotel di jepang, kini jepang telah berhasil mengubah sampah menjadi produk semen yang kemudian dinamakan dengan ekosemen.
Ekosemen
Diawali penelitian di tahun 1992, dengan dibiayai oleh Development Bank of Japan, para peneliti Jepang telah meneliti kemungkinan abu hasil pembakaran sampah, endapan air kotor dijadikan sebagai bahan semen. Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa abu hasil pembakaran sampah mengandung unsur yg sama dg bahan dasar semen pada umumnya. Pada tahun 1998, setelah melalui proses uji kelayakan akhirnya pabrik pertama didunia yang mengubah sampah menjadi semen didirikan di Chiba. Pabrik tersebut mampu menghasilkan ekosemen 110.000 ton per tahunnya. Sedangkan sampah yang diubah menjadi abu yang kemudian diolah menjadi semen mencapai 62.000 ton per tahun, endapan air kotor dan residu pembakaran yang diolah mencapai 28.000 ton per tahun. Hingga saat ini sudah dua pabrik di Jepang yang memproduksi ekosemen.
Pembuatan ekosemen
Penduduk jepang membuang sampah baik organik maupun anorganik, sekitar 50 juta ton/tahun. Dari 50 ton per tahun tersebut yang dibakar menjadi abu sekitar 37 ton per tahun. Sedangkan abu yang dihasilkan mencapai 6 ton/tahunnya. Dari abu inilah yang kemudian dijadikan sebagai bahan dari pembuatan ekosemen. Abu ini dan endapan air kotor mengandung senyawa-senyawa dalam pembentukan semen biasa. Yaitu, senyawa-senyawa oksida seperti CaO, SiO2, Al2O3, dan Fe2O3. Oleh karena itu, abu ini bisa berfungsi sebagai pengganti clay yang digunakan pada pembuatan semen biasa.
Namun CaO yang terkandung pada abu hasil pembakaran sampah dinilai masih belum mencukupi, sehingga limestone (batu kapur) sebagai sumber CaO masih dibutuhkan sekitar 52 persen dari keseluruhan. Sedangkan pada semen biasa, limestone yg dibutuhkan mencapai 78 persen dari keseluruhan.
Proses selanjutnya adalah abu hasil pembakaran sampah (39 persen), limestone (52 persen), endapan air kotor (8 persen) dan bahan lainnya dimasukkan ke dalam rotary klin untuk kemudian dibakar. Untuk mencegah terbentuknya dioksin, pada proses pembakaran di rotary klin, dilakukan pada 1400 derajat celcius lebih dimana pada suhu tersebut dioksin terurai secara aman.
Kemudian gas hasil pembakaran pada rotary klin didinginkan secara cepat untuk mencegah proses pembentukan dioksin ulang. Sehingga hasil gas buangan tidaklah berbahaya bagi manusia. Sedangkan pada hasil pembakaran yang masih mengandung senyawa logam dipisahkan, untuk kemudian dapat dipergunakan untuk kebutuhan lain.
Hasil akhir dari proses ini adalah ekosemen.
Pengaruh plastik vinil
Plastik vinil yang terdapat dalam sampah pada proses pembakaran akan mengakibat kekuatan konkrit ekosemen akan berkurang. Hal ini diakibatkan oleh adanya gas Cl2 hasil peruraian plastik vinil yang dapat mempengaruhi kekuatan konkrit ekosemen.
Kualitas ekosemen
Berdasarkan hasil pengujian JSA (Japan Standar Association) dinyatakan bahwa ekosemen mempunyai kualitas yang sama baiknya dengan semen biasa. Sehingga, hingga saat ini penggunaan ekosemen sudah digunakan dalam pembangunan jembatan, jalan, rumah, dan bangunan lainnya di Jepang.
Dengan adanya pengubahan sampah menjadi semen, menambah alternatif pengolahan sampah menjadi barang bermanfaat bagi manusia yang telah membuangnya. Selain itu dengan adanya alternatif pengolahan sampah menjadi semen, biaya pengolahan sampah di Jepang menjadi lebih murah. Bila sebelumnya 40.000 yen per ton (pengolahan sampah konvensional) menjadi 39.000 yen per ton (pengolahan sampah hingga menjadi semen).
Peluang di Indonesia
Indonesia belum bisa lepas dari masalah sampah. Mulai dari penolakan warga masyarakat sekitar TPA akibat kepulan asap dan bau yang ditimbulan pengolahan sampah saat ini hingga kejadian yang tidak pernah dilupakan, tragedi leuwih gajah yang merenggut 24 nyawa tak bersalah.
Sudah banyak upaya yang dilakukan, termasuk dengan mengubahnya menjadi sumber energi (metan) namun akibat kurangnya prospek dari segi ekonomi, akhirnya perkembangannya masih jalan ditempat.
Berhasilnya Jepang, mengolah sampah menjadi semen, tentu menjadi peluang sangat besar untuk dikembangkan di Indonesia. Di Jakarta saja sampah yang dihasilkan oleh warganya mencapai 6000 ton lebih per hari. Selain itu secara prinsip, pembuatan ekosemen hampir sama dengan pembuatan semen biasa, sehingga jika bisa dilakukan kerja sama dengan pihak industri semen, maka akan jadi kerjasama yang menguntungkan baik pihak pemerintah maupun pihak industri. Dari pihak pemerintah penanganan sampah bisa sedikit teratasi dan dari pihak industri mampu mengurangi penggunaan limestone (26 persen).
Namun yang terpenting adalah kemauan pemerintah, khususnya pemerintah kota/daerah, untuk mengelola sampah dengan baik dan memulai untuk mencoba memisahkan sampah antara sampah organik, anorganik, botol dan kaleng menjadi kebudayaan bangsa Indonesia secara luas. Sehingga peluang pemanfaatan sampah menjadi semen atau produk yang lain bisa oleh pihak industri bisa lebih ekonomis.(krs)