Islam di Sumenep, dan Perkembangannya

Proses Islamisasi di pulau Madura I By : Siti Nur MunasharohMasjing-Agung-Sumenep-1950

Abad ke 7 Islam  pertama kali mulai masuk ke Nusantara melalaui perdagangan, yang dulunya pusat perdagangan tersebut di Malaka. yang dimulai dari wilayah malaka yang kemudian diteruskan ke wilayah wilayah lainnya. Islam  pun mulai menyebar ke seluruh Indonesia setelah dari bagian wilayah Sumatra kemudian lanjut ke wilayah Jawa. Di Jawa, kerajaan yang pertama kali masuk Islam  ialah kerajaan Demak, yang kemuian berlajut ke Gresik, tepatnya di Sedayu, Tuban, Probolinggo, selanjutnya ke pulau Madura.

Di pulau Madura sendiri, kebanyakan sudah banyak daerah daerah yang sudah mengenal agama Islam , baik itu daerah Sumenep, Pamekasan, Bangkalan dan Pulau Sapudi. Atau bisa dikatakan bahwa Penyebaran Islam  dimulai dari Malaka, ada yang langsung ke Minangkabau dan ada yang ke Jawa Timur, yaitu di Gresik dan Tuban. Dari Gresik, agama Islam  kemudian berlanjut ke arah bagian pulau Madura.

Di pulau Madura sendiri ada 2 bagian wilayah yaitu Madura bagian Timur dan Madura bagian Barat. Madura bagian barat termasuk, Sampang dan Pamekasan, serta Madura bagian timur termasuk, Sumenep dan pulau Sapudi. Di dalam artikel ini akan membahas proses Islamisasi di daerah Sumenep.

Pada zaman Pra Islam  (sebelum agama Islam  masuk), kebanyakan kerajaan di pulau Madura ini merupakan lanjutan dari kerajaan di Jawa, yaitu kerajaan Kediri, Majapahit, Singhasari, Mataram, dan lain lain. Serta juga menganut agama Hindu Budha. Bukti bukti tentang adanya agama Hindu Budha di pulau Madura ini hanya sedikit, yaitu hanya ada dua candi, di Pamekasan dan di Sumenep. Kemudian pada abad ke- 15 Masehi, Islam  pertama kali disebarkan di pantai selatan kota Sumenep. Selain itu, ada yang mengatakan bahwa sebelum kerajaan Majapahit runtuh, Madura sudah mengenal terlebih dahulu Agama Islam

Ada beberapa jalur dalam proses Islamisasi di pulau Madura, yaitu jalur kerajaan, jalur perdagangan dan jalur para wali atau para sunan

1.       Jalur kerajaan

Jalur ini merupakan bahwa proses Islamisasi Madura ini melalui pemimpin dan bangsawan kerajaan. Maksudnya kalau para raja rajanya beragama Islam , maka penduduk atau warganya juga ikut memeluk agama Islam . Misalnya sunan Padusan yang berhasil mengIslam ka raja Jokotole, karena raja tersebut tertarik terhadap ajaran Islam  yang diberikan oleh Padusan. Akibat rajanya memeluk agama Islam  maka rakyatnya juga ikut memeluk agama yang sama.

2.       Jalur Perdagangan

Jalur ini yang paling banyak berpengaruh, hal ini dikarenakan pada abad ke 7 Islam  pertama kali masuk ke Nusantara juga melalui perdagangan. Istilahnya jalur ini yang pertama kali membawa agama Islam . kebanyakan para pedagang yang membawa agama Islam  ini berasal dari Arab, Gujarat, dan Persia. Akan tetapi d Madura ini, yang menyebarkan agama Islam  tersebut, berasal dari orang Melayu. Di Madura sendiri, lebih tepatnya di pantai selatan Sumenep. Jadi perdagangan serta penyebaran Islam  itu dimulai dari daerah Sumenep.

Selain itu, daerah Sumenep sendiri merupakan kawasan perdagangan yang paling ramai di Madura  Hal ini dikarenakan didaerah daerah pesisir merupakan tempat para pedagang pedagang untuk singgah terlebih dahulu, entah itu untuk beristirahat ataupun untuk menjual dagangannya, seperti keramik, baju, makanan, rempah rempah, dan lain lain jadi hal tersebut dimanfaatkan juga untuk menyebar keyakinan mereka di dalam agama Islam  ke daerah yang disinggahinya. jadi Islam  di daerah Sumenep ini tumbuh lebih maju bila dibandingkan dngan Madura bagian dan Pamekasan

3.       Jalur para Sunan atau Wali serta pengaruhnya terhadap orang orang Cina

Persebaran agama Islam  di Madura tersebut tidak hanya melalui dari jalur perdagangan saja, tetapi juga dari peranan para wali yaitu dari Sunan Ampel dan Sunan Giri yang mengutus murid muridnya ke madura. Bahkan Islam  datang ke Madura ini merupakan hasil penyebaran dan pengajaran oleh sunan Giri, serta pedagang pedagang Islam  dari Gujarat yang berlabuh di pelabuhan Kalianget. Untuk sunan Ampel, ternyata dakwahnya sudah berpengaruh luas hingga ke pelosok Madura.

Memang, bukti bukti adanya dakwah sunan Ampel di Madura sedikit, akan tetapi menurut cerita ada suatu cerita yaitu kisah Aria Lembu Peteng yang merupakan putra dari Prabu Kertabumi, Raja Majapahit Brawijaya ke V, yang dikirim ke Sampang untuk menjadi Kamituo. Karena Aria tersebut tidak mau, tetapi ia harus menjalankan perintahnya dari ayahnya.

Maka,  ia pun berangkat ke Ampel Delta secara terpaksa untuk belajar Islam  dan menjadi Muslim kepada Sunan Ampel dan akhirnya meninggal di Ampel. Akan tetapi, sayangnya tidak kembali lagi ke Sampang untuk menyiarkan Islam  di sana. Sehingga keturunannya juga masih menganut agama dahulunya yaitu Hindu. Baru, ketika  pada masa cucu-cucunya mendengar kabar Islam  di kalangan masayrakat maka sudah banyak yang berpindah ke agama Islam .

Masih tentang dakwahnya sunan Ampel, ternyata di Sumenep bagian utara, tepatnya di Kecamatan Pasongsongan, terdapat cerita yang menarik yaitu adanya sebuah perkampungan yang di tempat tinggali oleh orang-orang Cina Muslim. Serta di sana juga terdapat murid Sunan Ampel yang lain yang bernama Kyai Ali Akbar yang dikirim untuk menyebarkan dakwah Islam  ke sesepuh Cina itu menambah ilmu keIslam annya. Bersama ulama ini Islam  disebarkan di daerah Pesisir utara Madura.

Menurut penelitian para ahli, proses migrasi etnis Cina ke Sumeneo diperkirakan pada abad ke 14. Hal ini dimulai ada keturunan Biangseng yang merupakan bangsawan dari Cina, dan kemudian diambil menantu oleh kerajaan Sumenep yang pada saat itu di pimpin oleh Aria Wiararaja.

Mereka menganggap dirinya sebagai keturunan Cina yang masih termasuk santri Sunan Ampel di Ampel Surabaya. Dahulu, mereka mendiami Madura sejak maraknya penyebaran dakwah di jawa melalui tangan-tangan para sunan, utamanya Sunan Ampel di Surabaya. Bisa dikatakan, Sumenep sebagai lokasi paling timur Madura yang lebih awal mengalami kemajuan peradaban yang ternyata mempunyai jejak-jejak historis masyarakat Cina yang sudah beragama Islam .

Asal mula mereka sampai ke tanah Madura ini ialah adanya interaksi orang-orang Cina dengan Madura bagian timur. Diperkirakan sejak tentara Mongol dikalahkan Majapahit pada abad ke 13 dimana Aria Wiraraja mempunyai hak  dalam strategi perang Majapahit ketika itu. Dahulu, orang-orang Cina, yang merupakan sisa-sisa prajurit Tartar tersebut terperangkap dalam siasat yang dilakukan oleh Aria Wiraraja sehingga mereka tidak bisa kembali lagi ke negara asalnya. Orang-orang Cina ini semakin banyak di Madura utamanya di Sumenep.

Yang lebih menarik, kebanyakan orang orang Cina tersebut beragama Konghucu.  Dengan menganut agama tersebut, hal ini lah yang membuat orang orang madura membenci orang orang cina. Bisa dikatakan kalau orang orang di Madura tersebut sangat menjaga agama yang dianutnya yaitu agama Islam . jadi hal inilah yang menyebabkan orang orang Cina lebih memilih bertahan di perkotaan karena lebih aman dan mudah sekali dalam melakukan aktivitas.

Memang hampir di seluruh perkotaan Madura, orang orang Cina menguasai ekonomi dan pasar strategis yang berpusat di kota. Akan tetapi banyak juga orang orang Cina yang sudah beragama Islam , tujuannya agar mereka bisa berkomunikasi dengan orang orang madura lainnya. Menurut Ali Al Humaidi, sebagaian orang orang Cina di wilayah Madura ini sudah muslim dari nenek moyang mereka. Diceritakan bahwa, nenek moyang mereka masih bermarga King, sehingga nama depan mereka memakai huruf “K”. Misalnya Kingpangkeng yang merupakan santri dari Sunan Ampel dan berasal dari Cina. Dahulunya ia diambil menantu oleh kerajaan Sriwijaya yang kemudian mempunyai dua orang putri yaitu Teisi dan Caul.

Selain melalui jalur perdagangan, jalur para santri atau para wali, dan bahkan melalui jalur kerajaan, saluran Islamisasi di Madura juga melalui jalur santri, pondok pesantren, pengaruh penguasa setempat dan dengan jalan perkawinan baik perkawinan dengan penguasa lokal, atau dengan perkawinan dengan keluarga pemuka agama.

Kuburan Panembahan Juharsari, di Desa Mandaraga Sumenep

Kuburan Panembahan Juharsari, di Desa Mandaraga Sumenep

Pada pemerintahan Panembahan Joharsari, penguasa Sumenep dari tahun 1319-1331 M ini, Sumenep belum menyebar secara luas. Memang Panembahan ini yang pertama kali menganut agama Islam , akan tetapi tidak diketahui oleh siapa yang menyebarkan.

Akan tetapi ada faktor faktor yang mendukung yaitu:

  1. Gelar jabatannya “Panembahan“  didalam dunia luar Islam  baik agama Hindu, Syiwa, dan agama Budha tidak dikenal gelar jabatan seperi Sultan, Panembahan, dan Susuhunan. Tetapi baru dikenal setelah masuknya agama Islam  di Jawa.
  2. Panembahan Joharsari mempunyai putra bernama Raden Piturut bergelar Panembahan Mandoroko yang beragama Islam , kuburannya di desa Mandaraga Keles merupakan kuburan Islam  yang berkumpul dengan kuburan keluarga Islam  lainnya.

Baru setelah pada pemerintahan JokoTole, Islam  sudah mulai dikenal banyak orang. Panembahan Joharsari mempunyai putra bernama Raden Piturut yang bergelar Panembahan Mandaraka. Panembahan Mandaraka ini berkuasa sampai 1339 M dan mempunyai dua putra yaitu Pangeran Natapraja bertahta di Bukabu dari tahun 1339-1348 M dan Pangeran Nataningrat yang menggantikan kakaknya dengan karaton Baragung yaitu Guluk-Guluk. Pangeran Nataningrat berputra Agung Rawit yang bergelar Pangeran Sekadiningrat I yang memerintah tahun 1358-1366 M dengan keraton di Banasare.

Kemudian ia diganti oleh putranya yaitu Temenggung Gajah Pramada yang bergelar Sekadiningrat II yang memerintah tahun 1366-1386 M. Setelah itu ia diganti oleh cucunya yang bernama Jokotole atau Aria Kudapanole yang bergelar sekadiningrat III, Jokotole atau bisa disebut dengan Aria Kudapanole ini berkuasa sejak tahun 1415-1460 Masehi.

Kemudian, bersamaan dengan itu ada seorang penyiar agama, yang kemudian dikenal dengan Sunan Padusan, nama asli dari sunan ini adalah R. Bindara Dwiryapada. Menurut cerita ia merupakan keturunan dari Arab, yang bernama Haji Usman Manyuram Mandalika atau lebih dikenal dengan Sunan Andung, penyebar agama Islam  di Lombok. Asal mula nama Padusan ialah bahwa setiap orang yang masuk Islam  dan telah dianggap mampu untuk menjalankan syariat Islam , maka ia lalu dimandikan dengan air dengan dicampuri macam-macam bunga yang baunya sangat harum, dimandikan secara demikian disebut dengan “diedus“, karena itu tempat dimana dilakukan upacara tersebut dinamakan desa “Padusan” yang artinya bunga yang harum.

Kampung Padusan ini termasuk desa Pamolokan kota Sumenep. Sunan Padusan ini juga membangun pondok pesantren di Parsang. Tidak disangka hal tersebut menarik perhatian dari pangeran Jokotole dan penduduk sekitar. Yang akhirnya pangeran Jokotole memeluk agama Islam , melalui sunan Padusan.

Karena sunan tersebut berhasil dengan dakwahnya dan ,mengIslam kan pangeran Jokotole beserta anaknya, maka oleh pangeran Jokotole dijadikan menantunya. Hal itulah yang menyebabkan tempat tinggal Sunan Padusan itu yang semula di desa Padusan kemudian pindah ke keraton Batuputih.

Selain sunan Padusan, pada abad ke 17, atau saat pemerintahan Pangeran Lor dan Pangeran Wetan tahun 1550-an di daerah Sumenep juga ada seorang tokoh penyebaran agama Islam  lainnya, yaitu Syayyid Ahmadul Baidhawi atau lebih dikenal dengan nama Pangeran Katandur. Kuburannya terletak di desa Bangkal sebelah timur kota Sumenep dan sampai sekarang lebih dikenal dengan Asta Sabu. Keturunan –  keturunannya banyak yang berhasil dalam mengIslam kan penduduk Madura. Salah satu keturuannya yaitu Bendoro Saud yang akhirnya menjadi penguasa Sumenep dari tahun 1750-1762. Pada abad ke 18, proses Islamisasi di Sumenep semakin meluas ketika diperintah oleh putra dari Bendoro Saud, yang bernama Panembahan Sumolo. Buktinya yaitu adanya keraton Sumenep dan Masjid Jamik. Keraton Sumenep juga berpindah pindah, dari yang semula berada di desa Banasare, kecamatan Rubau, kemudian pada saat pemimpinnya yaitu raja Jokotole (1415-1460) keraton tersebut pindah ke daerah Dungkek.

Dahulu sebelum ada masjid tersebut, sudah ada masjid yang dibangun oleh Raja Pangera Anggadipa (1626-1644), yang letaknya di sebelah Utara. Namanya dulu yaitu Masjid Laju (dalam bahasa Indonesia bernama masjid Lama). Serta kegunaaan masjid dahulu tersebut merupakan masjid keraton yang dikhususkan untuk para raja dan kalangan kerajaan.

Sekarang Masjid Agung tersebut berada di tengah kota Sumenep, tepatnya di jalan Trunojoyo No. 06 kelurahan Bangselok. Letak mesjid ini tidak terlalu jauh dengan bangunan sejarah lainnya yang ada di kota Sumenep, seperti Keraton Panembahan Sumolo.

Masjid Agung Sumenep dibangun oleh Panembahan Sumolo  atau Pangeran Natakusuma I (1762-1811). Sebenarnya, masjid ini adalah pemugaran dari mesjid Laju yang dibangun oleh Pangeran Anggadipa, beliau sendiri pernah pula menjabat sebagai Adipati Sumenep (1626-1644). Dahulu, Pangeran yang memiliki nama asli Aria Asirudin Natakusuma,  menganggap masjid Laju sudah tidak dapat lagi menampung jumlah jemaah Islam  di kota Sumenep yang semakin bertambah.

Rencana pemugaran mesjid Agung Sumenep dilakukan setelah pembangunan Keraton Sumolo  selesai dikerjakan, yakni sekitar tahun 1752. Pada saat itu Pangeran Anggadipa saat melihat hasil karya seorang arsitek Cina yaitu Lauw Pingao dalam membangun keraton Sumolo, maka beliau akhirnya menugaskan kepada arsitek  memugar masjid Laju.

Lauw Piango adalah cucu dari Lauw Khun Thing yang merupakan satu dari enam orang China yang pertama datang dan menetap di Sumenep. Setelah berhasil menyelamatkan diri dari kota Semarang akibat adanya perang “Huru-hara Tionghwa” (1740 M).

Dari tinjauan arsitektural, mesjid Agung Sumenep telah menjadi bukti adanya akulturasi kebudayaan pada masa silam di kabupaten paling timur yaitu Sumenep. Sejarah telah mencatat, pembangunan mesjid Agung dimulai pada tahun 1779 dan selesai tahun 1787. Terhadap masjid bersejarah ini, Pangeran Natakusuma I berwasiat yang ditulis pada tahun 1806, bunyinya sebagai berikut;

“Masjid ini adalah Baitullah, berwasiat Pangeran Natakusuma penguasa di negeri/keraton Sumenep. Sesungguhnya wasiatku kepada orang yang memerintah (selaku penguasa) dan menegakkan kebaikan. Jika terdapat Masjid ini sesudahku (keadaan) aib, maka perbaiki. Karena sesungguhnya Masjid ini wakaf, tidak boleh diwariskan, dan tidak boleh dijual, dan tidak boleh dirusak.”

Selain itu, ada juga makam Pangeran Pulang Jiwa yang berangka tahun 1678 M yang terdapat di Asta Tinggi. Akan tetapi baru baru ini ditemukan makam kuno sebanyak 7 buah di dusun Kampung Baru Desa pandian, Sumenep, yang oenemunya yaitu bapak Sunarto. Dari penelitian para Sejarawan, ada salah satu nisan makam kuno tersebut terdapat tulisan dalam bahasa Arab yaitu (Syeh Sayyid Abdullah) yang mempunyai julukan Maha Pati Raja Anggadipa, selain itu ada ukiran dua kalimat syahadat, sholawat nabi dan tulisan dalam bentuk huruf jawa kuno, yang menunjukkan tahun wafatnya yaitu 1151 Hijriyah. Serta menurut warga ada yang menyakini kalau ada salah satu makam tersebut merupakan saudara kandung Sunan Bonang. Karena pada nisannya ada tulisan arab yang berbunyi Bonang yang wafat pada tahun 1241 Hijriyah.

Kemudian di desa Kalimo’ok tepatnya di Trunojoyo, Sumenep terdapat makam Asta K. Ali Barangbang. Ternyata K. Ali mempunyai silsilah dari Syekh Maulana Sayyid Jakfar atau lebih dikenal dengan Sunan Kudus. K. Ali Barangbang ini wafat pada tahun 1092 Hijriyah. Selama hidupnya K. Ali ini merupakan seorang ulama besar dan juga seorang penyiar agama Islam . Uniknya K. Ali ini mempunyai kelebihan, yaitu ia bisa mengajar ngaji kepada binatang kera.

(Dinukil dari: munasharoh.blogspot.com, dengan judul: Perkembangan dan Pertumbuhan Wilayah Sumenep (Madura) 

Pos terkait