Kakek Buyut RA KARTINI ternyata dari Madura…!!!

R.A.A. Tjitrowikromo…yang melahirkan Raden Adjeng Woerjan (Moerjam) Ibu R A Kartini. By : An Doink

Raden Adjeng Woerjan (Moerjam)
Raden Adjeng Woerjan (Moerjam)

Maduracorner.com.Bangkalan – Tak abit pole oreng odik alalana edhalem dunnya riyah, tak egaressa sa apa abiddha taona la bennyak obhanna ban tak sa apa abiddha paste moksa, raje, kene’, pende’, lanjhang, akherra mate kiya, sogi, mesken, sakabbina pade, menang, kala, tade’ bidenakalamon la depa’ ka paste tantona abhali pole ka asalla, mon gi’ dujan nase’, ja’ norodi hawa napsu, odi’ reya coma sakalean, mangkana ayok pabender odi’ reya male depa’ ka samporna….!!!

Nora swe wong urip iki lelono ing ngalam donya tan rinasa pra lawase weruh-weruh sugih uwan, nora suwe mesti sirna. Cilik gede cendek duwur wekasan mesti palastra.
Sugih mlarat kabeh sami menang kalah nora beda yen wis pinasti wancine kabeh bali marang asal mula yen sih doyan sega aja nuruti hawa nepsu, urip sepisan sing sempurna…!!!

Terjemahan, tidak lama manusia hidup berkelana di dalam dunia ini, tidak terasa berapa lamanya tahu-tahu sudah beruban dan tak lama kemudian pasti lenyap. Besar kecil pendek tinggi pada akhirnya pasti mati. Kaya miskin semua sama, menang kalah tiada beda kalau sudah dipastikan waktunya semua kembali kepada asal. Maka kalau masih suka nasi, jangan menurutkan hawa nafsu. Hidup ini Cuma sekali, maka dari itu berusahalah sempurna…!!!

Kartini

Nasihat sang prabu pada putranya- putrinya, kata-kata itu hanyalah kulitnya belaka. Menilai sesuatu janganlah terpengaruh kulit, justru kesederhanaan itulah yang menakjubkan. Mencari pujangga besar tak usah jauh sampai negeri seberang. Mencari orang bijaksana tak usah dicari diantara orang pandai, orang yang mengerti akan makna kehidupan, dialah orang yang bahagia, bijaksana dan berguna.

kartini21

Sebuah buku yang ditulis dalam bahasa kawi berjudul PARARATON yang kini sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, di peroleh keterangan tentang asal mula berdirinya kraton Mojopahit oleh Raden Wijaya dengan bantuan orang-orang dari Madura ( Sumenep ) yang mana pada waktu itu pusat pemerintahannya adalah Daha. Jadi Majapahit sudah ada sejak abad ke 13 M. Adanya serentetan raja-raja dengan nama Brawijaya, dimulai dan di agungkan pertama kali oleh Sanggrama Wijaya. Kemudian pusat pemerintahan dipindahkan dari Daha ke Majapahit dan Sanggrama Wijaya dengan sebutan Bhre Wijaya ( Prabu Wijaya ) dan lebih dikenal dengan sebutan Bhre Wijaya hingga menjadi Bhrawijaya. Mengapa raja sesudahnya seperti Hayam Wuruk tidak menggunakan lagi gelar Bhrawijaya…kenapa…???
Mengenai hal ini tidak ada yang tahu…!!!

Salah satu putra keturunan Bhrawijaya yang diberi kekuasaan di Pandan Alas akhirnya naik tahta menjadi Bhrawijaya ke IV dan berakhirnya raja-raja Majapahit yang menggunakan gelar Bhrawijaya, sehingga dikatakan bahwa Bhrawijaya ke IV adalah raja terakhir dengan gelar Bhrawijaya, yaitu pada tahun 1400 atau + 1478 M. Tetapi dalam buku lain yang berjudul “ Sekitar wali sanga “ karangan Solichin Salam cetakan ke II Menara Kudus Jogyakarta menuliskan adanya raja-raja Majapahit yang masih menggunakan gelar Bhrawijaya, yaitu :
* Prabu Kertabumi sebagai Bhrawijaya ke V
* Prabu Girindra Wardhana sebagai Bhrawijaya ke VI
* Prabu Udara sebagai Bhrawijaya ke VII

Alkisah, Pangeran Pandansalar yang bergelar Bhrawikaya IV menurunkan Pangeran Bondan Kedjawan yang di beri kekuasaan di tegal wangi. Pangeran Bondan kedjawan menurunkan Wongsonegoro yang menjadi Bupati Pasuruan dengan sebutan NITINEGORO dan menurunkan Kromowidjoyo sampai pada Lembu Niroto yang diutus menguasai daerah Blambangan, dan menurunkan Pangeran Kedawung atau yang dikenal dengan Tawang Alon. Pangeran kedawung menurunkan Pangeran Lanang Dangiran. Begitu juga halnya dengan Pangeran Menak Soemardi yang juga keturunan dari kraton Blambangan yang juga menyebarkan agama Islam di Pesisir laut jawa dengan sebutan KYAI KENDIL WESI.
Konon dituturkan, Pangeran Lanang Dangiran pada usia 10 tahun senang tirakat, belajar sastra dan kanuragan, ketika menginjak 18 tahun ia bertapa di laut dan menghanyutkan diri pada sebuah papan kayu semacam bronjong alat penangkap ikan, tanpa makan atau minum. Arus air laut dan gelombang membawa Pangeran Lanang Dangiran sampai pesisir laut jawa dan akhirnya terhempas bersama bronjongnya, Pangeran Lanang Dangiran tak sadarkan diri. Sedangkan badannya penuh ditempeli atau dilekati batu karang kecil-kecil, keong dan remis sehingga merupakan seperti brondong. Sang Pangeran yang tak sadarkan diri diketemukan oleh seorang Kiyai didekat Pantai Sedayu yang bernama Kyai Kendil Wesi.
Begitulah akhirnya sang Pangeran menjadi putra angkat Kyai Kendil Wesi dan tinggal di Pondok sang Kyai di lereng sebuah bukit di suatu dusun yang subur dan disitu terdapat pula mata air yang mengeluarkan dua macam air dari dua sumber yang berdampingan, yaitu sebuah sumber air panas yang mengandung belerang, dan yang satu lagi sumber air dingin dan jernih. Begitu tiba disitu, pada hari pertama sang pangeran di gembleng oleh kyai yang juga sebagai gurunya dengan ilmu keagamaan, sang pangeran tidak pernah mengeluh dengan ajaran-ajaran yang diberikan oleh kyai Kendil Wesi. Sang pangeran yang pintar dan tekun, setelah genap tiga pekan belajar mulai terbiasa dengan kebiasaan yang diajarkan gurunya. Selang beberapa tahun, sang pangeran menikah dengan seorang putri Kyai dari Panambahan Cirebon keturunan Pangeran Semarang yaitu salah satu putra dari Prabu Widjaya alias DJOKO TINGKIR yang dikenal Ki Bimotjili dan setelah menikahi putri ki Bimotjili saat itu sang pangeran lebih dikenal dengan sebutan KYAI BRONDONG.

Kemudian sekitar tahun 1595 Kyai Brondong bersama istri dan anak-anaknya pergi ke Surabaya dan menetap di seberang timur kali Pegirian yaitu suatu dukuh yang bernama BOTOPUTIH.
Kyai Brondong wafat pada tahun 1638 dalam usia lebih kurang 70 tahun dan meninggalkan 7 orang anak diantaranya ada 2 ( dua ) orang laki-laki yang bernama HONGGODJOYO dan HONGGOWONGSO
Setelah Pangeran Pekik wafat, Honggowongso ditetapkan menjadi Tumenggung di Surabaya sedangkan Honggodjoyo sebagai Tumenggung di Pasuruan.

Ki Onggowongso ( Honggowongso ) nama kecilnya adalah Gentini atau Widjokromo diangkat oleh sunan Amangkurat (Mataram) menjadi bupati di Surabaya bergelar Ki Tumenggung Djangrono I merangkap tugas sebagai panglima perang pasukan Mataram mempunyai 4 orang putri dan 6 orang laki-laki antara lain yaitu :
• Nyai Lurah Wiroguno istri Patih Wiroguno Kartosuro
• Nyai Lundo alias nyai Udju
• Nyai Wongsotirto
• Nyai Astro ( dari hasil pernikahan dg putri madura )
• Nyai Dadu
• Surodrono atau surodirono sebagai Panembahan Madura dengan gelar Adipati Djangrono II yang sekarang makamnya ada di Makam Sentanan laweyan Solo
• Ario Djoyopuspito ( wongsonegoro ) menggantikan Djangrono II sebagai Bupati Surabaya bergelar Tumenggung Djangrono Panotogomo.
• Kyai Wirodirdjo
• Panji Surengrono atau Surenggono
• Djoko Tangkepan atau SAWUNGGALING, makamnya di kompleks pesarehan Karangturi Wangkung Solo

Onggodjoyo atau Honggodjoyo nama kecilnya adalah Gentono, oleh Sunan Amangkurat diangkat menjadi bupati Pasuruan + 1678, bergelar Ki Tumenggung Honggodjoyo, 8 tahun kemudian dipindah ke Surabaya dimana kemudian beliau meninggal dunia dan di makamkan di pesarehan Botoputih 1690. Kyai Tumenggung Onggodjoyo mempunyai 14 orang putra dan putri yaitu :
1. Nyai Mas Rangga
2. Ki Onggodjoyo ( Yunior ) oleh Kompeni dibuang di Selong
3. Nyai Dalem
4. Nyai Onggodiwongso
5. Ki Onggodjoyo djagir makamnya di bungkul Surabaya
6. Kiyai Sutaprana makamnya juga di Bungkul
7. Nyai Sumajudo atau mbah Huning
8. Ki Dipomenggolo
9. Nyai Adjeng Notopradoto
10. Onggodiwongso atau Onggwikromo atau onggodimedjo
11. Nyai Adjeng Wirodipuro
12. Kyai Onggowidjoyo yang kemudian juga menjabat Bupati Surabaya kesepuhan bergelar RADEN TUMENGGUNG TJONDRONEGORO dan di kenal juga Tumenggung Djimat Tjondronegoro
13. Kyai Djojodirono gelar kyai Mas Tumenggung Djojodirono
14. Kyai Adjeng Kinjeng suaminya adalah orang cina dan menurunkan keluarga Tjoa Sie Lian di Kembang Jepun Surabaya, Juga kel. Tjoa Tjwan Ping pemilik pabrik gula Candi.

Putra ke 12 Ki Tumenggung Honggodjojo yang bergelar Raden Tumenggung tjondronegoro atau Kyai Tumenggung Tjondronegoro sebagai Bupati Surabaya ( kesepuhan ) th 1752-1763 kawin dengan seorang putri Panembahan Tjokroadiningrat dari Madura, dikenal dengan Tumenggung Djimat Tjondronegoro mempunyai 29 orang putra dan putri, antara lain :

* Nyai Adjeng suronegoro di Semarang (1)
* Nyai Adjeng Surengrono (2)
* Nyai Adjeng Surodipuro (3)
* Raden Pandji Djajengrono atau RP. Tumenggung Tjokronegoro (4)
* Nyai Adjeng Surowidjojo (5)
* Kyai Wanengpati ( natapura ) Patih dalem Surabaya (6)
* Ki Tumenggung Djimat Djojonegoro, Bupati Banger Probolinggo (7)
* Nyai Adjeng Ronggolawe ( Istri Ronggolawe ) Malang (8)
* Nyai Adjeng Wirjokusumo (9)
* Nyai Adjeng Wirosrojo (10)
* Nyai Adjeng Maspati (11)
* Nyai Adjeng Wirjodipuro (12)
* Ki Tjondronegoro, Patih Pekalongan (13)
* Raden Ayu Lor atau Ratu Lor, Permaisuri Bangkalan (14)
* Mas Ngabei Tjondrowidjojo (15)
* R.A.A. Tjitrowikromo, (16) Bupati Lamongan Mempunyai Putri Raden Adjeng Woerjan (Moerjam) Ibu R A Kartini
* Raden Ayu Galuh ( Istri Panembahan Tjokrodiningrat II Madura ) (17)
* Nyai Adjeng Djangrono (18)
* Kyai Pandji Onggowidjojo, Patih Jaba ( Luar ) Surabaya (19)
* Nyai Adjeng Wangrengsari (20)
* Mas Ngabei Sutondo (21)
* Mas Ngabei Niloperbangso (22)
* Nyai Adjeng Tambakhadji ( Ngampel ) (23)
* Ki Mangkudipura (24)
* Ki Mangkukusuma (25)
* Raden Ayu Uningan Kaliungu (26)
* Nyai Adjeng Trodjojo (27
Mula-mula Tjondronegoro memakai gelar “ kiyai “ saja, tetapi setelah menjadi menantu Panembahan Tjokroadiningrat ( Madura ) berhak dan berwenang memakai gelar “ Raden Pandji “ sedangkan gelar “ djimat “ adalah pemberian penghargaan dari rakyat jelata karena jasa-jasanya terhadap rakyat, rakyatnya menganggap Tjondronegoro sebagai jimat atau pusaka yang dicintai.
Kiyai Pandji Onggowidjojo putra ke 19 Tumenggung Djimat Tjondronegoro sebagai Patih Jaba ( luar ) Kabupaten Surabaya, mempunyai 17 orang putra dan putri antara lain :
* R. Adipati Ario Tjondronegoro, Bupati Mojokerto th 1827 – 1850 (1)
* RA. Suronegoro istri Bupati Magetan (2)
* RA. Purwo (3)
* RA. Maospati (4)
* RA. Ronokusumo (5)
* RA. Resodirdjo (6)
* R.ng. Tjokrokusumo (7)
* R.ng. Tjitrokusumo (8)
* RA. Mangku (9)
* R.ng. Gapuro (10)
* RA. Angklingkusumo (11)
* R. Onggodipuro (12)
* RA. Tirtodipuro (13)
* R. Brotodipuro (14)
* RA. Nitikusumo (15)
* RA. Tirtowidjojo (16)
* R.ng. Onggopuro (17)
Raden Adipati Ario Tjondronegoro putra pertama Kyai Pandji Onggowidjojo sebagai bupati Mojokerto pada tahun 1827 – 1852, yang menurunkan antara lain R. Tumenggung Pandji Tjokronegoro yang kemudian menggantikan ayahnya menjadi bupati Mojokerto dan makamnya di pemakaman keluarga Pakuncen Mojokerto dekat makam Ayahnya. Putra-putranya antara lain adalah :
* RP. Sulaiman atau RP. Tjondroadiningrat, Jombang
* RA. Mangkukusumo, istri Asisten Bangsak Mojokerto
* RP. Sosrokardono, Serikat Islam di Surabaya
* RP. Tjondroasmoro, Surabaya dll.

idalam Buku Catatan”Menyingkap Tabir Sejarah Kerajaan Madura Barat Melalui Pasaren Raja” Madura Barat Bangkalan” senganggit RP H M. HAMID MUSTARI disebutkan bahwasanya Kanjeng Sultan Abd Kadir Cakra Adiningrat II (1815-1847 M) beliau didampingi oleh Seorang Permaisuri (Garwa Patmi) Rato Ajunann Raden Ayu Masturah (Cucu Panembahan Cakra Adiningrat V/Panembahan Sido Mukti) dan 7 orang Garwa Ampiyan/Selir diantaranya : 
1. Ratu Timur (Raden Ayu Saina)
2. Nyai Reno
3. Nyai Jai
4. Raden Kenoko 
5. Raden Citrowati
6. Raden Siya
7.Raden Ajeng Trisnowati
Dari kedelapan Istri inilah beliau mempunyai Putra & Putri sebanyak 46 orang

Kemudian dari Istri Nyai Reno salah satu Putrinya bernama Raden Ayu Marjam yg dinikahkan dg Putra Tumenggung Djimat Tjondronegoro yg benama R.A.A. Tjitrowikromo…yang melahirkan Raden Adjeng Woerjan (Moerjam) Ibu R A Kartini…!!!

Garis keturunan Madura
Seks Laki-laki
Nama lengkap (saat dilahirkan) Raa Tjitrowikromo
Orangtua♂ Pangeran Ario Tjondronegoro IV [ Madura ]

kelahiran anak: ♀ Raden Adjeng Woerjan (Moerjam) [ Madura ]

 

Sumber : en.rodovid.org dan berbagai sumber

Pos terkait