Kisah Tentang Tongkat dan Tasbih, Cikal Bakal Berdirinya NU

image
Prosesi Penyerahan Tongkat dan Tasbih Sebelum Pemberangkatan Napak Tilas Para Pemuda Ansor dan Banser

Bangkalan, maduracorner.com – Muktamar organisasi Nahdatul Ulama (NU) ke-33 siap digelar mulai tanggal 1-5 Agustus 2015 besok. Para peserta muktamar pun mulai berdatangan ke kota Jombang.

Terbentuknya salah satu ormas Islam di Indonesia ini bermula pada tahun 1920. Saat itu, sebanyak 64 ulama salafiyah dari seluruh penjuru tanah air berkumpul di rumah KH Muntaha, Desa Jengkebuen, Kabupaten Bangkalan. Puluhan ulama itu bermukim selama satu bulan di rumah menantu KH Mohammad Kholil Bangkalan tersebut.

Pertemuan itu sebenarnya ingin membahas kemunculan kelompok islam baru di indonesia yang menolak ajaran ahlus sunnah wal jamaah. Para ulama salaf mengaku resah karena kelompok yang kini dikenal dengan istilah Wahhabi tersebut mendapat dukungan dari pemerintah Hindia Belanda yang saat itu memerintah Indonesia.

“Para ulama waktu itu meminta Kiai Muntaha agar menyampaikan keresahan mereka ke Kiai Kholil supaya mendapat tanggapan,”kata KH As’ad Samsul Arifin, pendiri Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iya Sukorejo, Kabupaten Situbondo dalam sebuah ceramah yang rekamannya yang diputar kembali oleh redaksi maduracorner.com, jumat (30/7/2015) siang.

Belum sempat Kiai Muntaha menyampaikan keresahan para ulama, Kiai Kholil malah memanggil menantunya tersebut untuk memberikan jawaban atas pertanyaan yang belum disampaikan. Kepada menantunya, Kiai Kholil membacakan sepotong ayat yang artinya menegaskan para ulama tidak perlu khawatir atas kehadiran kelompok munafik dan musyrikin.

“Salah satu karomah Kiai Kholil adalah bisa menjawab pertanyaan meski orang tersebut belum menyampaikan pertanyaan atau masalahnya,”ujar Kiai As’ad. Saat itu, As’ad masih muda dan tengah nyantri di pondok pesantren Kiai Kholil Bangkalan.

Muntaha segera menyampaikan pesan mertuanya diatas kepada para ulama. Jawaban itu membuat ulama puas dan kembali pulang ke daerah masing-masing. Tiga tahun setelahnya, yakni antara tahun 1921 hingga 1923, sebanyak 46 ulama di Pulau Jawa rutin bertemu untuk mencari solusi atas kemunculan kelompok islam yang tidak senang pada ajaran Ahlus Sunnah.

Diantaranya Kiai yang terlibat pertemuan antara lain KH Hasyim Asyari, KH Hasan Genggong, KH Samsul Arifin, KH Dahlan Nganjuk dan KH Asnawi Kudus.

Karena tak juga menemukan jalan keluar, kata As’ad, seorang kiai akhirnya menghadap Kiai Kholil Bangkalan. Dia kemudian bercerita pernah membaca tulisan Sunan Ampel sewaktu nyantri di Kota Madinah. Isinya menceritakan Sunan Ampel pernah bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad SAW.

“Dalam mimpi itu, Nabi Muhammad berpesan agar ajaran ahlus sunnah dibawa ke Indonesia, karena orang-orang arab sendiri tidak mampu melaksanakannya,”kata As’ad lagi.

Pada suatu hari di awal tahun 1924, Kiai Kholil tiba-tiba memanggil As’ad. Santrinya ini diminta sang guru mengantarkan sebuah tongkat kepada muridnya yang lain, KH Hasyim Asyari di Tebuireng, Jombang. Pada akhirnya tahun 1924, As’ad bercerita diminta lagi mengantarkan tasbih kepada Hasyim Asyari.

Kata Kiai As’ad, Hasyim Asyari punya reaksi berbeda saat menerima kedua benda tersebut. Saat menerima tongkat, Hasyim berujar bahwa dengan tongkat itu hatinya makin mantap untuk mendirikan organisasi bernama Jam’iyatul Ulama (nama awal sebelum berubah menjadi Nahdatul Ulama).Sedangkan saat menerima tasbih, lanjut As’ad, Hasyim Asyari berujar, yang melawan ulama akan hancur.

“Saat disuruh Kiai Kholil dua kali ketemu Kiai Hasyim, saya dikasih ongkos 10 rupiah. Saya tidak belanjakan, sampai sekarang masih ada,”ungkap As’ad dalam rekaman yang kini masih disimpan kru maduracorner.com.

Setahun setelah peristiwa pemberian tongkat dan tasbih, Kiai Kholil Bangkalan meninggal dunia pada hari ke 29 bulan ramadan tahun 1925. Dan setahun kemudian, tepatnya pada tanggal 20 bulan rajab tahun 1926, Jam’iyatul Ulama dibentuk dan didaftarkan pada Gubernur Hindia Belanda kala itu.

Salah satu penyusun anggaran dasar organisasi Jam’iyatul Ulama saat itu adalah KH Dahlan Nganjuk. “Sudah jelas, ini kesaksian saya. Karena saya tahu awal pembentukan NU yang saya cintai,”pungkas Kiai As’ad dalam rekaman ceramah tersebut.

Kisah tentang tongkat dan tasbih inilah yang kemudian diulang lagi. Yakni melalui sebuah prosesi sebelum napak tilas pendirian NU oleh ratusan pemuda Ansor dan Banser dari halaman masjid Pasarean Syaikhona Mohammad Kholil Bangkalan, kamis (30/7/2015) kemarin. Mereka terdiri atas pemuda Ansor/Banser Bangkalan, Probolinggo dan Kraksaan.

Dalam proses tersebut, Ketua GP Ansor Bangkalan KH Hasani Zubair menyerahkan tongkat dan tasbih kepada pimpinan napak tilas. Disertakan pula 9 petisi bersama Kedua benda tersebut untuk disampaikan kepada panitia muktamar dan pengurus NU se-Indonesia di Jombang. (her/mad)

Penulis: Heryanto
Editor: Mamad el Shaarawy

Pos terkait