Mempersembahkan kepada Beliau satu landian. By : Abdul Ghofur
Maduracorner.com.Bangkalan – PANEMBAHAN Ronggo Sukawati bertahta di Pamekasan Timur berkeraton di Lawangdaja tempat almarhum ayahnya, Pangeran Nugeroho (Bonorogo).
Pada waktu Panembahan Ronggo Sukawati baru duduk dipimpinan pemerintahan menggantikan ayahnya, pada suatu hari, datang menghadap kepada Beliau seorang mengaku dari suatu desa dibawah pemerintahan Pamekasan, mempersembahkan kepada Beliau satu landian (ukiran) keris. Keesokan harinya datang pula lain orang yang mempersembahkan sebuah rangka keris, ketiga harinya hanya datang pula seorang mempersembahkan sebuah gandar keris dan demikian seterusnya orang menghadap pada Beliau mempersembahkan bagian-bagian dari tempatnya keris sehingga pada penghabisannya datang seorang menghadap Beliau mempersembahkan isi keris. Maka beliau memanggil seorang meranggi yang diperintahnya memasang menjadi satu, yaitu perkakas-perkakas keris yang beliau terima tadi, maka dengan amat aneh dan mengherankan perkakas-perkakas tadi dengan biji kerisnya sekali terdapat cocok (pas) dengan tidak usah dirobah sama sekali. Maka itu keris Beliau beri nama Si (Kiyai) “Joko Piturun”. Menurut cerita, mungkin bikinan orang (legenda), Kiyai Joko Piturun oleh Panembahan Ronggo Sukawati pernah dicoba dibuka dari rangkanya dihunuskan ditujukan kepada seorang yang ada di dalam penjara (hukuman), maka dengan ujung keris itu jauh dari orang hukuman itu, orang itu rebah ke tanah dan terus mati. Kemudian setelah biji keris dimasukkan kedalam rangkanya, dibuka (dihunus) pula dan ditujukan pula kepada mayat orang hukuman itu, maka itu orang lalu hidup kembali. Hal yang demikian itu menarik perhatian orang banyak, sehingga Kiyai Joko Piturun pada itu waktu tersohor kemana-mana, dan Panembahan Ronggo Sukawati disamping karena ia memiliki sifat-sifat kesatrian yang memang tinggi nilainya (ketangkasan diri, keberanian, ketabahan, kebijaksanaan, kesopanan yang tinggi, keadilan, sesanggupan membela kebenaran) pun pula oleh karena pembawaan kerisnya dimalui dan dihormati orang-orang besar didaerah-daerah tetangganya.
Lagi sesuatu hal yang terjadi di jamannya Panembahan Ronggo Sukawati. Pada suatu ketika Panembahan Lemah Duwur (Raden Pratanu) di Arosbaya datang di Pamekasan beserta semua Menteri-menterinya keperluan bertamu kepada Panembahan Ronggo Sukawati. Beliau adalah paman sepupu dari ayahnya Panembahan Ronggo Sukawati. Sesampainya di Pamekasan, tamu agung itu diterimanya dengan kehormatan besar oleh Panembahan Ronggo Sukawati. Setelah Panembahan Lemah Duwur beberapa hari tinggal sebagai tamu di Pamekasan, maka Beliau sudi menangkap ikan dari rawa Sê Ko’ol (nama suatu rawa besar didaerah kota Pamekasan), Panembahan Lemah Duwur menyuruh Menteri-menterinya melompat kedalam rawa itu menangkap ikan. Menteri-menteri Arosbaya membuka pakaiannya sehingga tinggal pakaian dalamnya lalu melompat ke dalam air. Panembahan Ronggo Sukawati yang ingin membantu tamunya, menyuruhnya juga Menteri-menterinya supaya melayani Menteri-menteri Arosbaya didalam menangkap ikan. Maka mereka itu seketika mendengar ajakan Rajanya, terus melompat kedalam rawa dengan pakaian luarnya sekali (tidak pakai buka pakaian luar oleh karena taatnya). Setelah Panembahan Lemah Duwur melihat apa yang terjadi dirawa tadi lalu pulang kembali ke Arosbaya dengan Menteri-menterinya dengan tidak minta diri (pamit) lebih dahulu kepada Panembahan Ronggo Sukawati. Melihat hal apa yang terjadi itu Panembahan Ronggo Sukawati merasa amat menyesal dan duduk beberapa lama dengan tidak dapat mengeluarkan sepatah kata apapun juga. Kemudian lalu beliau bangun berdiri dan mengejar dengan berjalan kaki kemana tamunya itu pergi. Dibelakang Beliau, abdi-abdi keraton Pamekasan menyusul dengan membawa seekor kuda untuk kendaraan Rajanya, akan tetapi itu kuda tidak dikendarai. Sesampainya di Sampang, maka Beliau ditunggu oleh saudaranya (Adipati Sampang) dan Penghulu Sampang di kampung Larangan. Beliau bertanya kepada saudaranya kemana perginya Beliau punya tamu, maka mendapat jawab, bahwa telah agak lama terus berangkat dengan naik kuda bersama abdi-abdinya menuju Blega, akan tetapi mereka itu di itu tempat berhenti sebentar dan Panembahan Lemah Duwur berdiri menyandar kepada pohon waru besar di tepi jalan raya di kampung Larangan, maka Panembahan Ronggo Sukawati lalu menghunus kerisnya, Kiyai Joko Piturun, ditusukkan kepada pohon waru yang bekas disandari Panembahan Lemah Duwur dan Beliau lalu pulang kembali ke Pamekasan dengan naik kuda. Setelah beberapa hari sampai di Pamekasan Beliau menerima sepucuk surat dari Raden Ayu Panembahan Lemah Duwur, bahwa setelah suaminya sampai di Arosbaya, pada malam harinya bermimpi, keris Kiyai Joko Piturun datang dari atap keraton Arosbaya terus menusuk dirinya Panembahan mengenai belakang dan pada keesokan harinya ditempat yang dimimpikan ditusuk itu keris (kerres) timbul sebuah bisul besar dengan rasa sakitnya yang hebat dari sebab mana setelah dua hari lamanya, Panembahan Lemah Duwur meninggal dunia.
Maka setelah surat dibaca, Panembahan Ronggo Sukawati menjadi marah terhadap dirinya sendiri, lalu mengambil Kiyai Joko Piturun dibuangnya kedalam rawa Sê Ko’ol dengan rangkanya sama sekali. Pada itu ketika beliau mendengar suara yang tidak kelihatan orangnya yang berkata: “Sayang keris Kiyai Joko Piturun dibuang, seumpama tidak dibuang, sudah tentu seluruh Jawa dan Madura hanya sebesar daun Kacopêng” (artinya: seumpama Kiyai Joko Piturun tidak dibuang, maka tentu seluruh Jawa dan Madura, apabila dikehendaki, dengan mudah sekali ditaklukkan; daun Kacopêng adalah bangsa daun tumbuh-tumbuhan yang ciut sekali). Setelah mendengar itu suara, maka beliau menjadi amat menyesal dan memberi perintah supaya semua pegawai Beliau masuk ke dalam rawa tadi mencari keris Beliau, akan tetapi terus tidak mendapatkannya. Peristiwa itu terjadi di dalam tahun 1592 Masehi. Disebutkan di dalam cerita, bahwa Beliau meninggal di dalam perang ketika Mataram menaklukkan Madura di dalam tahun 1624 M, menjadi usia Beliau ada lebih dari 100 tahun.
Sumber : Pamor Kinasih