Bangkalan, maduracorner.com – Sudah lebih setahun, di Kabupaten Bangkalan tak ada mutasi jabatan. Hal itu, tentu saja mengherankan sekaligus menyenangkan. Artinya, sudah lebih setahun taka da lelang jabatan. Pejabat yang baru saja duduk di kursi jabatannya, tak lagi ketar-ketir harus dipindah, karena jabatannya sudah ada yang mengincar. Loh, hanya mutasi jabatan, sebuah proses biasa dalam birokrasi, tetapi mengapa para pejabat di Bangkalan sampai harus jantungan?
Lelang jabatan, diakui atau tidak, ketika beberapa tahun lalu Joko Widodo masih menjabat sebagai Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, sempat membuat kita takjub. Tentu saja tak semua takjub. Ada yang menganggap biasa-biasa, ada yang menilai itu hanya sensasi, dan tak sedikit yang mencibir dengan memandang sebelah mata. Termasuk saya. Bahkan mungkin separo warga Bangkalan, menganggapnya sebagai hal yang sangat biasa.
Bagi saya yang sudah sangat lama hidup di Bangkalan, lelang jabatan yang dipraktikkan Jokowi kala itu, sudah ketinggalan zaman. Sebab, di Bangkalan, lelang jabatan sudah dilakukan sejak 2003. Tepatnya sejak Fuad Amin Imron dilantik sebagai Bupati Bangkalan, atas dasar pilihan wakil rakyat di DPRD Bangkalan (waktu itu Bupati dan Wakil Bupati masih dipilih DPRD).
Malah, menurut saya, lelang jabatan jabatan di Bangkalan, jauh lebih hebat. Pertama, lelang jabatan di Bangkalan, dalam setahun bisa dilakukan tiga hingga empat kali. Kedua, siapapun boleh ikut lelang, meski displin ilmu yang dimiliki pejabat tersebut bukan pada tempatnya. Ketiga, pejabat yang bodoh sekalipun, bisa ikut lelang, asal pangkat dan kelengkapan administrasinya mencukupi serta memenuhi syarat (tidak termasuk syarat ilmu dan disiplin ilmu).
Keempat, menurut saya, lelang jabatan di Bangkalan, jauh lebih cepat dan dilakukan layaknya lelang batu akik di facebook. Pertama kali diumumkan harga open bid-nya, lalu yang pangkatnya merasa cukup, boleh menambah bid dan melakukan tawar-menawar. Bahkan bleh melakukan BN (buy now).
Misal; jabatan kepala dinas A, dilelang harga sekian. Pejabat yang akan mengisi jabatan tersebut mulai melakukan tawar menawar, menambah bid, saling meninggikan tawaran, hingga ditemukan penawar tertinggi sebagai pemenang dan berhak menduduki jabatan tersebut. Semakin ‘basah’ instansinya, semakin banyak peserta lelangnya, dan semakin mahal harganya.
Tapi, pejabat yang menang lelang, tetap harus sport jantung, karena meski dia sudah menang lelang dan menjabat, jabatannya bisa lepas sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan. Bisa karena ada yang meninggikan tawarannya, meski jabatannya sudah diisi. Bisa karena dia telat setor, atau membuat sedikit saja kesalahan yang membuat Bupati tak senang. Bisa-bisa, modal belum balik, dia sudah dimutasi ke instansi yang ‘kering’, dan tak cukup modal lagi untuk ikut lelang jabatan instansi yang ‘basah’.
Maka tak heran, selama kurun waktu dua periode (10 tahun) lelang jabatan dilakukan di Kabupaten Bangkalan, beberapa pejabat di Bangkalan jatuh miskin, bahkan tak sedikit yang meninggal dunia karena sakit. Penyakitnya sama; jantung.
Setelah setahun tak ada lagi lelang jabatan, Juni mendatang, Kabupatenn Bangkalan akan kembali melakukan mutasi jabatan. Karena sudah jadi kebiasaan, maka para pejabat ramai-ramai mengejar jabatan yang kosong dan akan diisi. Ada yang melakukan llobi lewat pejabat, melalui tokoh masyarakat, dan melobi agar direkom atasannya. Yang saya maksud melobi, bukan hanya melobi dengan omongan, program, dan proposal. Semua itu takkan diperhitungkan, tanpa adanya fulus.
Berapa? Agar jabatan yang diicar bisa didapat dengan mulus, fulus-nya pasti disesuaikan dengan jabatan apa yang diincarnya. Sejak sebulan lalu, para calo jabatan di luar sistem birokrasi di Bangkkalan sudah bergentayangan, mencari peserta lelang atau pejabat yang ingin membeli jabatan tersebut. Ya, para calo itu saya sebut calo legal, karena mereka bergentayangan atas isyarat yang diberikan oleh pejabat yang bisa menembus ke pemimpin tertinggi Kabupaten.
Maka tak heran, kalau saat beberapa pejabat Bangkalan bersaksi dalam persdiangan kasus korupsi bekas Bupati Bangkalan dua periode, Fuad Amin Imron, hampir semua mengungkap perihal lelang jabatan, jual beli PNS, jual beli pekerjaan sebagai tenaga honorer, dan kewajiban upeti yang mereka lakukan selama kurun waktu 10 tahun lebih (bahkan konon, hingga sekarang).
Dan, jangan heran ketika BPK dalam hasil auditnya terhadap APBD Bangkalan tahun 2014, menemukan anggaran hilang di semua instansi pemerintahan di Bangkalan, yang totalnya mencapai 21 miliar. Ya, korupsi di semua instansi di Bangkalan sudah mendarah daging. Karena pejabatnya harus mengembalikan modal saat membeli jabatan, dan kewajiban membayar upeti, agar jabatan yang dibelinya tidak dilelang ulang. Telat setor, copot jabatan..!*
Penulis : Risang Bima Wijaya
By : Jiddan