pembaca: 258
Bangkalan,maduracorner.com – Kasus perkelahian bersenjata tajam yang terjadi di Kampung Kramat, Desa Petapan, Kecamatan Labang, Rabu malam, 8 April 2015, pada dasarnya bukan perkelahian dalam bentuk carok. Carok tidak ditunjukkan didepan umum. Carok memiliki aturan dan etika tertentu yang diatur oleh kesepakatan bersama. Tidak spontan dan tidak massal.
Penanaman kata carok yang ada dibenak laki-laki Madura, tentu didukung ungkapan “lebbhi baghus pote mata mata, etembhang pote tolang”, hal ini tentu dalam merespon ungkapan ini tidak serta merta memeberikan alasan, hari ini juga harus terjadi carok. Carok bagi masyarakat Madura merupakan “persetujuan sosial” dan “pembenaran kulturan” pada jamannya. Dan kini jaman carok sudah selesai dan tuntas. Legenda carok cukup menjadi stigma bagi generasi Madura selanjutnya.
Sebagaimana dipahami, tiga alasan mendasar terjadinya carok, yaitu, pertama, persoalan yang menyangkut irigasi (masalah pengairan); karena air memiliki kebutuhan mendasar bagi kehidupan orang Madura. Pada jaman awal, di Pulau Madura dengan kondisi geografis tanah yang tandus, kebutuhan air sebagai penyambung dan keberlangsungan hidup kaum tani, sangat menentukan keberlanjutan hidup untuk hari esok dan selanjutnya.
Kedua, Wanita. Dalam pemahaman laki-laki Madura, wanita diciptakan dari tulang rusuk laki-laki, agar mereka dekat dengan hati untuk dikasihi,dekat dengan lengan untuk dilindungi, tidak dari tulang kaki untuk diinjak-injak, tidak dari tulang kepala untuk disanjung-sanjung. Jadi pemahaman ini wanita wajib dilindungi dan dihormati setinggi-tingginya.
Karena tingginya kedudukan wanita Madura, maka kaum wanita khususnya para gadis dikonotasikan dengan perlambang bunga melati. Maka tak heran falsafah melati menjadi pujian bagi orang-orang tua Madura dengan ucapan “duh tang malate”, ta’ gegger polana ojen, ban ta’ elop polana panas are”
Ketiga, Harga diri. Orang Madura akan merasa malo atau terhina jika harga dirinya dilecehkan oleh (atau sebagai akibat dari) perbuatan orang lain. Pelecehan harga diri ini sama artinya dengan pelecehan terhadap kapasitas diri mereka. Padahal kapasitas diri seseorang secara sosial tidak dapat dipisahkan dengan peran dan statusnya (social role and status) dalam struktur dan sistem sosial yang berlaku.
Bagi orang Madura tindakan tidak menghargai dan tidak mengakui atau mengingkari peran dan status sosial sama artinya dengan memperlakukan dirinya sebagai orang tada’ ajhina (tidak bermakna secara sosial dan budaya) yang pada gilirannya menimbulkan perasaan malo.
Jadi membaca pristiwa “carok” yang banyak diberitakan di media, tak lebih dari eksploitasi informasi yang sekedar kepentingan pasar, karena tanpa didasari pemahaman dan substansi carok sendiri. Untuk itu, masyarakat Madura harus mampu menjadi cermin dirinya, dan tidak terjebak oleh istilah-istilah “carok” yang kemungkinan secara psikologis mendera, ketika terjadi komunikasi dengan pihak orang luar Madura (tulisan lain:
Di Madura Tak Ada Lagi Carok)
Penulis: Syaf Anton Wr
By : Jiddan