Maduracorner.com. Bangkalan – Bulan Ramadlan di Bawean. Pengajian seusai shalat Ashar di masjid banyak diminati jamaah. Bahkan di desa Daun kecamatan Sangkapura, ibu-ibu pun duduk di tangga masjid menyimak taushiyah yang disampaikan oleh kyai. Jamaah pria bersila dibagian dalam. Biasanya yang dibaca kitab kuning. Materinya tentang ibadah. Seperempat jam sebelum waktu berbuka tiba, pengajianpun di akhiri. Sisa waktu menjelang magrib itu dimanfaatkan para jamaah – biasanya remaja – untuk mencari malam. Orang Sunda menyebut : ngabuburit, berasal dari kata burit bermakna waktu menjelang waktu sore.
Tidak dicaripun sebenarnya malam pasti datang, karena begitulah hukum alam. Tapi jika berdiam diri saja, rasanya waktu berbuka begitu panjang. Maka, dicarilah malam itu agar kasalemoran.Tradisi nyare malem biasanya dilakkan dengan naik lereng yang sebagian orang menyebut besikar, menelusuri jalan menuju pantai. Begitu pulang, sesampainya di rumah, malam yang dicari itupun datang. Lalu berbuka dengan semua anggota keluarga. Agar perjamuan itu tidak terganggu, anak-anak dilarang nimbruk. Tapi melarangnya tidak fulgar, melainkan dengan ungkapan : “Kalau ikut berbuka, kepalanya akan bertanduk” Anak-anak pun tunduk. Tapi orang tua tidak akan tega membiarkan anaknya sendiri di luar rumah tanpa kegiatan. Caranya ?. Anak-anak dibuatkan mainan yang sudah dipersiapkan sebelum Ramadlan datang. Namanya giling-gilingan
Giling-gilingan dibuat dari kayu papan, terdiri dari dua roda dengan garis tengah sekitar 10 Cm., Antara roda yang satu dengan yang lain dihubungkan oleh poros yang biasanya dibuat dari bambu. Panjang poros sekitar 20 Cm. Diatas poros itu melekat papan yang berbentuk segitiga atau bentuk lain sesuai selera. Ditengah papan itu ditancapkan tongkat kayu, panjangnya sekitar satu meter sebagai pendorong. Di depan papan ditempel botol kecil, biasanya botol minyak kayu putih, diisi minyak tanah dengan diberi sumbu. Nah, sejak menjelang maghrib, anak-anak mendorong giling-gilingan disepanjang jalan. Tidak ada rasa takut untuk ditabrak kendaraan, sebab mobil dan motor belum ada pada waktu itu. Yang ada hanya sepeda saja. Ketika hari mulai gelap, obor giling-gilingan dinyalakan. Maka, sinar obor dari puluhan mainan tradisional itu sungguh sangat indah. Seusai orang tua mereka berbuka puasa, usai pula anak-anak bermain giling-gilingan.
Tidak lama setelah itu, waktu isa’ tiba dan anak-anak pergi menuju masjid atau mushalla untuk shalat isa’ yang dilanjutkan dengan shalat tarawih. Mereka tarawih dengan semangat, terutama pada saat mengucapkan amiiin. Usai tarawih, sebagian dari anak itu menabuh bedug dengan irama tertentu yang disebut ghudur-ghudur. Suara ghudur-ghudur, adalah suatu pertanda bahwa tarawih sudah selesai.
Saat ini, tradisi itu tidak hanya berada di tepi zaman, tapi sudah punah dan tinggal cerita.