Rahasia Perempuan Madura

Yang menarik bagi saya justru inner beauty-nya I By : A. Daldiri Zubairi

Maduracorner.com.Bangkalan – Perempuan Madura tidak […] terlalu anggun dan berwibawa.

struktur tulangnya kelewat kasar untuk itu [dan] raut mukanya terlalu Wanita Madurabebal.

Gadis ciliknya jauh lebih halus, namun segera kasar begitu mereka tumbuh dewasa

(J.S Brandts Buys, 1926/dikutip dari buku Hubb de Jonge, 2011).

Dulu, ketika saya kuliah di Jakarta, sering ditodong seputar pertanyaan tentang mitos seks perempuan Madura. “ Benar gak sih, perempuan Madura kalau bikin kopi bukan sendoknya yang mengaduk, tapi cangkirnya?”

Tak cukup itu, seorang kawan saya asal jawa mengeluarkan anekdot. Ada seoran perempuan Madura lagi menjual jamu tradisional di trotoar. Sial, dagangannya disita oleh Satpol PP. Karena kesal, Satpol PP membuangnya ke dalam sumur. Seketika sumur berubah wujud, rata seperti layaknya sebelum digali.

Benar saya tidak sekali ditanya atau mendengar anekdot seperti di atas. Pertanyaan dan anekdot yang sangat hiperbolik. Sarat makna. Ketika mendengarnya saya hanya mesem saja. Sebagai orang Madura, sumpah di tanah leluhur saya tak pernah saya temukan jawabannya. Tak pernah orang menggunjingkannya.

Tiba-tiba mitos kadung melekat. Saya sendiri tidak tahu akar histrorisnya. Mitos memang berbeda dengan pengetahuan. Tetapi daya pukaunya tak kalah dengan pengetahuan. Kadang-kadang dalam prakteknya, sering tumpah tindih. Pengetahuan banyak juga yang memetamorfose layaknya mitos. Peduli amat, biarkan mitos bicara.

Sebuah Kesaksian

Perempuan Madura bagi saya tak ubahnya perempuan lain. Jika berbeda mungkin pada kulitnya yang coklat atau hitam. Untuk menghaluskan bahasa agar santun, muncul kemudian istilah “hitam manis”. Meski dalam bahasa Madura itilah “hitam manis” tidak dikenal. Yang ada adalah “ celleng sedda’ ”. Maknanya kira-kira “hitam yang pas takaran asinnya”. Sedda’ dalam bahasa Madura biasanya menunjuk pada makanan yang keasinan garamnya pas.

Soal cantik, tentu cantik. Tetapi, bukankah cantik merupakan hasil konstruksi ketimbang alami? Bukankah cantik juga dipengaruhi cita rasa kultural? Meski saat ini makna cantik hampir seragam, tetapi suara lain tetap penting dibunyikan. Biarkan cantik didefinisikan sesuai selera kulural. Cantik menurut orang Madura tidak harus sama dengan cantik dalam persepsi orang Jawa, Sunda, Batak, Bugis, Minang, dan seterusnya. Apalagi dengan cantik menurut parameter miss universe. Atau pendapat orang Londo seperti yang saya nukil di awal tulisan ini.

Madura dengan segenap cita rasa kulturalnya punya referensi sendiri tentang perempuan cantik. Perempuan cantik itu seperti ini, potre koneng potre Madura, pajalanna neter kolenang palembayya meltas manjalin, matana morka’, alessa daun membha, bibirra jerruk salone (potre koneng (nama istri raja) putri Madura, cara berjalan sungguh gemulai, segemulai kayu rotan, matanya lentik, alis seperti daun membha, bibirnya seperti seiris jeruk …)

Pitutur di atas mungkin mengalami pergeseran makna sekarang. Gempuran mitos industry kecantikan tak mungkin dibendung. Konstruksi baru tentang makna cantik muncul. Tak terkecuali pada perempuan Madura, termasuk laki-laki yang mendefinisikannya.

Tetapi toh hingga detik ini pitutur di atas tidak begitu saja tenggelam. Kadang-kadang timbul. Meski kadang-kadang tenggelam. Apa maknanya? Cita rasa cultural yang bersifat local tentang perempuan cantik tidak sepenuhnya hilang.

Pitutur adalah konsep ideal. Saya sendiri juga tidak bisa melacak jejak historisnya, pitutur itu definisi siapa? Perempuan sendiri yang mendefinisikan, atau laki-laki Madura? Bagi saya itu tidak terlalu penting. Meski aktivis gender sering bilang, definisi tentang tubuh perempuan selalu patriarkhis.

Hanya saja, dalam realitasnya saya menyaksikan perempuan Madura sangat praktis. Soal pakaian sering apa adanya. Bahkan bagi sebagian orang luar kadang dibilang “norak” hanya karena pilihan warna yang “ngejreng”. Seringkali yang paling kentara di lengan, gelantungan emas bertengger. Tentu ini khusus perempuan Madura yang the have.

Perempuan biasa dan perempuan desa? Sangat sederhana. Seringkali hanya menggunakan bedak biasa sekedar penanda bahwa ia perempuan. Pakaiannya juga sederhana yang penting menutupi aurat. Kadang bawahnya cukup menggunakan sarung. Ia pandai melekatkan sarung itu di pinggang, agar tidak melorot. Singkatnya, perempuan Madura itu bukan pesolek.

Yang menarik bagi saya justru inner beauty-nya. Perempuan Madura –lebih-lebih yang bersuami—ajeg menjaga diri. Zinah bagi perempuan Madura adalah pantangan yang menghunjam dalam bawah sadarnya, sebagai perbuatan nista. Baik karena alasan agama maupun cultural, yaitu menyangkut harga diri. Harga diri bagi orang Madura adalah pertahanan diri (self defense) yang terakhir.

Yang lain, perempuan Madura itu pekerja keras. Bahkan dalam hal tertentu daya tahan survival-nya lebih kuat ketimbang laki-laki. Saya pribadi menyaksikan ibu saya, meski ia hanya seorang ibu rumah tangga, nampak sangat perkasa. Ia berada di dapur sejak habis subuh hingga waktu dluhur.

Perempuan Madura meski tidak pandai bersolek, tapi punya kemampuan merawat kesehatan tubuh secara alami. Turun-temurun mereka dididik cara perawatan tubuh dengan menggunakan ramuan herbal yang dibuat sendiri. Meski mungkin sangat sederhana dengan meminum rebusan kunyit dan daun “pacar” (daun yang biasanya untuk memerahkan kuku).

Mungkin karena ramuan tradisional inilah mitos-mitos tumbuh menyangkut perempuan Madura di luar Madura. Meski dalam kesaksian saya mitos itu bisa benar, bisa salah.

Perempuan Madura –sama seperti perempuan lain—saat ini tengah bertarung memperebutkan identitiasnya. Banjir industry kecantikan dengan miss universe sebagai ‘pusatnya’ lamat-lamat terdengar degupnya di tanah leluhurnya. Cuma yang penting, kekuatan yang memancar dari dalam sebagai perempuan Madura yang menjaga diri, pekerja keras, sederhana, setia, dan religious dengan sekuat tenaga harus dipertahankan. Soal mitos, biarlah ia tetap menyelubungi rahasianya.

Matorsakalangkong

Sumber : Kompasiana

Pos terkait