Ritual Carok

kaos-carok-putih-hitam

Bangkalan, Maduracorner.com – Diterangkan bahwa carok merupakan institusionalisasi kekerasan dalam masyarakat Madura yang memiliki relasi sangat kuat dengan faktor-faktor struktur budaya, struktur sosial, kondisi sosial ekonomi, agama, dan pendidikan. Tetapi, selain itu, pada dasarnya juga terdapat pengaruh dari faktor politik, yaitu lemahnya pemerintah dalam memberikan perlindungan hukum terhadap masyarakat. Sehingga, masyarakat Madura memilih melakukan carok, karena hal ini dianggap lebih memenuhi rasa keadilan mereka. Dengan kata lain, carok juga merupakan kekurangmampuan para pelaku carokmengekspresikan budi bahasa, oleh karena mereka lebih mengedepankan perilakuperilaku agresif secara fisik untuk menghilangkan nyawa orang-orang yang dianggap musuh, sehingga konflik yang berpangkal pada pelecehan harga diri tidak akan pernah mencapai rekonsiliasi.

181057_191825554179677_100000567004154_614309_3109127_n

Carok selalu dilakukan sebagai tindakan pembalasan terhadap orang yang melakukan pelecehan harga diri – terutama gangguan terhadap istri (perempuan) – yang menyebabkan orang Madura malo[1]. Dalam konteks ini, carok sebagai institusionalisasi kekerasan mencerminkan monopoli kekuasaan suami (laki-laki) terhadap istri (perempuan). Monopoli ini antara lain ditandai oleh adanya perlindungan secara berlebihan terhadap istri (perempuan) seperti tampak pada pola permukiman taneyan lanjang, tata cara penerimaan tamu (khususnya laki-laki), cara berpakaian dan model pakaian, kebiasaan melakukan perkawinan antar keluarga khususnya perkawinan dibawah umur, dan sebagainya. Oleh karena semua pelaku carok adalah laki-laki, maka pembunuhan yang melibatkan orang perempuan tidak disebut sebagai carok. Carok, oleh orang Madura dianggap semata-mata sebagai urusan laki-laki.

Carok, juga dipandang sebagai alat untuk meraih posisi atau status sosial yang lebih tinggi sebagai orang jago[2]. dalam lingkungan komunitas mereka atau dalam lingkungan dunia blater[3]. Dengan demikian, carok dipandang sebagai suatu alat untuk memperoleh kekuasaan. Carok juga dipandang sebagai alat untuk mengkomunikasikan simbol-simbol tentang sikap dan perilaku kekerasan pada lingkungan kerabat dan lingkungan sosialnya. Sehingga, hampir semua pelaku carok, dengan sengaja dan penuh rasa bangga menyimpan bendabenda yang pernah digunakan ketika melakukan carok. Bahkan dengan sengaja menguburkan korban carok di pekarangan rumah. Disimpulkan bahwa, tindakan ini justru sangat memungkinkan terjadinya tindakan kekerasan berikutnya. Dalam konteks ini, carokbukan merupakan cara penyelesaian konflik melainkan lebih merupakan proses reproduksi kekerasan yang akan selalu menimbulkan tindakan – tindakan kekerasan baru (carok turunan).

Ada 2 jenis cara carok. Yang pertama adalah ngonggai, suatu cara melakukan carok dengan sengaja mendatangi rumah musuh untuk menantangnya. Orang yang ngonggai pasti memiliki keberanian yang luar biasa dan persiapan yang matang. Oleh karena itu, cara ini lebih dihargai daripada cara kedua, yaitunyelep. Nyelep, yaitu melakukan carok dengan cara mencari kelengahan musuh dan menyerang secara tiba-tiba dari arah belakang atau samping. Dari sini disimpulkan bahwa sebagian besar kasus carok itu terencana. Tapi, ada juga kasus carok spontan, yaitu ketika tiba-tiba terjadi perselisihan yang menyangkut pelecehan harga diri, maka seketika itu juga terjadi carok. Kasus-kasus carok, terbanyak berlatar belakang gangguan terhadap istri. Selain itu juga ada yang berlatar belakang masalah salah paham; masalah tanah/warisan; masalah utang piutang; dan masalah lain di luar itu, seperti melanggar kesopanan di jalan, dalam pergaulan, dan sebagainya.

Persiapan untuk melakukan carok, termasuk memenuhi 3 syarat utama, yaitu kadigdajan, tampeng sereng, dan banda. Kadigdajan (kapasitas diri) adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan kesiapan diri secara fisik dan mental. Prasyarat fisik dapat berupa penguasaan teknik bela diri. Prasyarat mental, pengertiannya lebih terkait dengan apakah orang tersebut punya nyali, angko(pemberani), ataupun juga jago. Tampeng sereng, menyangkut kepemilikan kekuatan yang diperoleh secara non-fisik, seperti membentengi diri sehingga kebal terhadap serangan musuh. Untuk maksud ini, pelaku carok meminta bantuan seorang “kiai”, yang akan melakukan “pengisian” mantra-mantra ke badan pelaku carok (aktifitas ini disebut nyabis). Prasyarat ketiga adalah tersedianya dana (banda). Dalam konteks ini, carok mempunyai dimensi ekonomi, karena carokmembutuhkan banyak biaya. Biaya diperlukan antara lain untuk melakukan persiapan mental dengan menebus mantra-mantra yang diperlukan; dan membeli clurit dengan kwalitas nomor satu (ini yang memungkinkan pesatnya perkembangan usaha kerajinan logam di tiap daerah di Pulau Madura). Dana juga diperlukan sebagai persiapan untuk menyelenggarakan kegiatan ritual keagamaan bagi pelaku carok yang kemungkinan terbunuh (selamatan 7 hari, 40 hari, 100 hari, hingga 1000 hari sejak kematian). Selain itu, juga untuk biaya hidup sanak keluarga (istri dan anak) yang kemungkinan ditinggal mati. Untuk pelaku carokyang masih hidup, maka dana dibutuhkan untuk nabang, yaitu merekayasa proses peradilan dengan menyerahkan sejumlah uang kepada oknum-oknum aparat peradilan agar hukuman menjadi ringan, atau mengganti terdakwa carok dengan orang lain. Untuk mengumpulkan dana, pelaku carok tidak hanya menggali dana dari harta bendanya sendiri, atau meminta sumbangan dari sanak keluarga lainnya, tetapi juga dengan menggelar remo. Remo pada prinsipnya merupakan suatu pesta tempat berkumpulnya para orang jago dan blater dari seluruh desa di wilayah Kabupaten Bangkalan dan Sampang. Tiap peserta harus menyerahkan uang kepada penyelenggara (bubuwan). Remo dapat diadakan kapan saja, dan bila terkait dengan pengumpulan dana untuk carok, maka dinamakan remo carok.

Tanggapan keluarga pemenang carok, pada umumnya membenarkan alasan carok itu dilakukan dan merasa bangga. Sedangkan semua keluarga korban carok menaruh dendam kepada si pembunuh, dan dendam ini serasa wajib untuk dilampiaskan/dibalaskan oleh pihak keluarga lainnya yang terikat dalam suatu sistem kekerabatan. Terutama taretan dalem. Jika pelaku lebih dari 1 orang, maka pasti pelaku carok dibantu oleh taretan dalem. Jika terjadi carok balasan oleh pihak yang kalah terhadap pihak yang menang, kemungkinan yang akan melaksanakan itu pertama adalah orang tua. Jika tidak mampu, maka kemungkinan lain adalah saudara kandung atau sepupu. Ikatan kekerabatan antara sesama anggota keluarga, lebih erat dari garis keturunan ayah, sehungga cenderung mendominasi. Dalam konsep kekerabatan orang Madura, hubungan persaudaraan mencakup sampai empat generasi ke atas dan ke bawah.

[1]Perasaan terhina sebagai akibat dari perlakuan orang lain yang mengingkari atau tidak mengakui kapasitas dirinya atau pelecehan harga diri,

[2] Seorang blater sudah pernah membunuh orang (menang dalam carok).

[3] Seseorang yang perilakunya selalu cenderung mengarah ke tindakan kriminalitas, seperti berjudi, mabuk mabukan, dan main perempuan (melacur).

Sumber : Retno Hastijanti – Dosen Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Editor   : Jiddan

Pos terkait