Sejarah Kabupaten Pamekasan

Sejarah Pamekasan | oleh : Agus Lempar

Kabupaten PamekasanMaduracorner.com, Pamekasan – Kabupaten Pamekasan adalah sebuah kabupaten di Pulau Madura, Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Ibukotanya adalah Pamekasan. Kabupaten ini berbatasan dengan Laut Jawa di utara, Selat Madura di selatan, Kabupaten Sampang di barat, dan Kabupaten Sumenep di timur.

Kabupaten Pamekasan terdiri atas 13 kecamatan, yang dibagi lagi atas 178 desa dan 11 kelurahan. Pusat pemerintahan di Kecamatan Pamekasan. 13 Kecamatan Itu adalah :

Kemunculan sejarah pemerintahan lokal Pamekasan, diperkirakan baru diketahui sejak pertengahan abad ke-15 berdasarkan sumber sejarah tentang lahirnya mitos atau legenda Aryo Menak Sunoyo yang mulai merintis pemerintahan lokal di daerah Proppo atau Parupuk. Jauh sebelum munculnya legenda ini, keberadaan Pamekasan tidak banyak dibicarakan. Diperkirakan, Pamekasan merupakan bagian dari pemerintahan Madura di Sumenep yang telah berdiri sejak pengangkatan Arya Wiraraja pada tanggal 13 Oktober 1268 oleh Kertanegara. Kabupaten Pamekasan lahir dari proses sejarah yang cukup panjang. Istilah Pamekasan sendiri baru dikenal pada sepertiga abad ke-16, ketika Ronggosukowati mulai memindahkan pusat pemerintahan dari Kraton Labangan Daja ke Kraton Mandilaras. Memang belum cukup bukti tertulis yang menyebutkan proses perpindahan pusat pemerintahan sehingga terjadi perubahan nama wilayah ini. Begitu juga munculnya sejarah pemerintahan di Pamekasan sangat jarang ditemukan bukti-bukti tertulis apalagi prasasti yang menjelaskan tentang kapan dan bagaimana keberadaannya.

Jika pemerintahan lokal Pamekasan lahir pada abad 15, tidak dapat disangkal bahwa kabupaten ini lahir pada jaman kegelapan Majapahit yaitu pada saat daerah-daerah pesisir di wilayah kekuasaan Majapahit mulai merintis berdirinya pemerintahan sendiri. Berkaitan dengan sejarah kegelapan Majapahit tentu tidak bisa dipungkiri tentang kemiskinan data sejarah karena di Majapahit sendiri telah sibuk dengan upaya mempertahankan bekas wilayah pemerintahannya yang sangat besar, apalagi saat itu sastrawan-sastrawan terkenal setingkat Mpu Prapanca dan Mpu Tantular tidak banyak menghasilkan karya sastra. Sedangkan pada kehidupan masyarakat Madura sendiri, nampaknya lebih berkembang sastra lisan dibandingkan dengan sastra tulis Graaf (2001) menulis bahwa orang Madura tidak mempunyai sejarah tertulis dalam bahasa sendiri mengenai raja-raja pribumi pada zaman pra-islam.

Tulisan-tulisan yang kemudian mulai diperkenalkan sejarah pemerintahan Pamekasan ini pada awalnya lebih banyak ditulis oleh penulis Belanda sehingga banyak menggunakan Bahasa Belanda dan kemudian mulai diterjemahkan atau ditulis kembali oleh sejarawan Madura, seperti Zainal fatah ataupun Abdurrahman. Memang masih ada bukti-bukti tertulis lainnya yang berkembang di masyarakat, seperti tulisan pada daun lontar atau Layang Madura, namun demikian tulisan pada layang inipun lebih banyak menceritakan sejarah kehidupan para Nabi (Rasul) dan sahabatnya, termasuk juga ajaran-ajaran agama sebagai salah satu sumber pelajaran agama bagi masyarakat luas.

Masa pencerahan sejarah lokal Pamekasan mulai terungkap sekitar paruh kedua abad ke-16, ketika pengaruh Mataram mulai masuk di Madura, terlebih lagi ketika Ronggosukowati mulai mereformasi pemerintahan dan pembangunan di wilayahnya. Bahkan, raja ini disebut-sebut sebagai raja Pertama di Pamekasan yang secara terang-terangan mulai mengembangkan Agama Islam di kraton dan rakyatnya. Hal ini diperkuat dengan pembuatan jalan Se Jimat, yaitu jalan-jalan di Alun-alun kota Pamekasan dan mendirikan Masjid Jamik Pamekasan. Namun demikian, sampai saat ini masih belum bisa diketemukan adanya inskripsi ataupun prasasti pada beberapa situs peninggalannya untuk menentukan kepastian tanggal dan bulan pada saat pertama kali ia memerintah Pamekasan.

Bahkan zaman pemerintahan Ronggosukowati mulai dikenal sejak berkembangnya legenda kyai Joko Piturun, pusaka andalan Ronggosukowati yang diceritakan mampu membunuh Pangeran Lemah Duwur dari Aresbaya melalui peristiwa mimpi. Padahal temuan ini sangat penting karena dianggap memiliki nilai sejarah untuk menentukan Hari Jadi Kota Pamekasan.

Terungkapnya sejarah pemerintahan di Pamekasan semakin ada titik terang setelah berhasilnya invansi Mataram ke Madura dan merintis pemerintahan lokal dibawah pengawasan Mataram. Hal ini dikisahkan dalam beberapa karya tulis seperti Babad Mataram dan Sejarah Dalem serta telah adanya beberapa penelitian sejarah oleh Sarjana barat yang lebih banyak dikaitkan dengan perkembangan sosial dan agama, khususnya perkembangan Islam di Pulau Jawa dan Madura, seperti Graaf dan TH. Pigeaud tentang kerajaan Islam pertama di Jawa dan Bendatentang Matahari Terbit dan Bulan Sabit, termasuk juga beberapa karya penelitian lainnya yang menceritakan sejarah Madura. Masa-masa berikutnya yaitu masa-masa yang lebih cerah sebab telah banyak tulisan berupa hasil penelitian yang didasarkan pada tulisan-tulisan sejarah Madura termasuk Pamekasan dari segi pemerintahan, politik, ekonomi, sosial dan agama, mulai dari masuknya pengaruh Mataram khususnya dalam pemerintahan Madura Barat (Bangkalan dan Pamekasan), masa campur tangan pemerintahan Belanda yang sempat menimbulkan pro dan kontra bagi para Penguasa Madura, dan menimbulkan peperangan Pangeran Trunojoyo dan Ke’ Lesap, dan terakhir pada saat terjadinya pemerintahan kolonial Belanda di Madura. Pada masa pemerintahan Kolonial Belanda inilah, nampaknya Pamekasan untuk perkembangan politik nasional tidak menguntungkan, tetapi disisi lain, para penguasa Pamekasan seperti diibaratkan pada pepatah Buppa’, Babu’, Guru, Rato telah banyak dimanfaatkan oleh pemerintahan Kolonial untuk kerentanan politiknya. Hal ini terbukti dengan banyaknya penguasa Madura yang dimanfaatkan oleh Belanda untuk memadamkan beberapa pemberontakan di Nusantara yang dianggap merugikan pemerintahan kolonial dan penggunaan tenaga kerja Madura untuk kepentingan perkembangan ekonomi Kolonial pada beberapa perusahaan Barat yang ada didaerah Jawa, khususnya Jawa Timur bagian timur (Karisidenan Basuki). Tenaga kerja Madura dimanfaatkan sebagai tenaga buruh pada beberapa perkebunan Belanda. Orang-orang Pamekasan sendiri pada akhirnya banyak hijrah dan menetap di daerah Bondowoso. Walaupun sisi lain, seperti yang ditulis oleh peneliti Belanda masa Hindia Belanda telah menyebabkan terbukanya Madura dengan dunia luar yang menyebabkan orang-orang kecil mengetahui system komersialisasi dan industrialisasi yang sangat bermanfaat untuk gerakan-gerakan politik masa berikutnya dan muncul kesadaran kebangsaan, masa Hindia Belanda telah menorehkan sejarah tentang pedihnya luka akibat penjajahan yang dilakukan oleh bangsa asing. Memberlakukan dan perlindungan terhadap system apanage telah membuat orang-orang kecil di pedesaan tidak bisa menikmati hak-haknya secara bebas. Begitu juga ketika politik etis diberlakukan, rakyat Madura telah diperkenalkan akan pentingnya pendidikan dan industri, tetapi disisi lain, keuntungan politik etis yang dinikmati oleh rakyat Madura termasuk Pamekasan harus ditebus dengan hancurnya ekologi Madura secara berkepanjangan, atau sedikitnya sampai masa pemulihan keadaan yang dipelopori oleh Residen R. Soenarto Hadiwidjojo. Bahwa pencabutan hak apanage yang diberikan kepada para bangsawan dan raja-raja Madura telah mengarah kepada kehancuran prestise pemegangnya yang selama beberapa abad disandangnya.

Perkembangan Pamekasan, walaupun tidak terlalu banyak bukti tertulis berupa manuskrip ataupun inskripsi nampaknya memiliki peran yang cukup penting pada pertumbuhan kesadaran kebangsaan yang mulai berkembang di negara kita pada zaman Kebangkitan dan Pergerakan Nasional. Banyak tokoh-tokoh Pamekasan yang kemudian bergabung dengan partai-partai politik nasional yang mulai bangkit seperti Sarikat Islam dan Nahdatul Ulama diakui sebagai tokoh nasional. Kita mengenal Tabrani, sebagai pencetus Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan yang mulai dihembuskan pada saat terjadinya Kongres Pemuda pertama pada tahun 1926, namun terjadi perselisihan faham dengan tokoh nasional lainnya di kongres tersebut. Pada Kongres Pemuda kedua tahun 1928 antara Tabrani dengan tokoh lainnya seperti Mohammad Yamin sudah tidak lagi bersilang pendapat.

Pergaulan tokoh-tokoh Pamekasan pada tingkat nasional baik secara perorangan ataupun melalui partai-partai politik yang bermunculan pada saat itu, ditambah dengan kejadian-kejadian historis sekitar persiapan kemerdekaan yang kemudian disusul dengan tragedi-tragedi pada zaman pendudukan Jepang ternyata mampu mendorong semakin kuatnya kesadaran para tokoh Pamekasan akan pentingnya Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang kemudian bahwa sebagian besar rakyat Madura termasuk Pamekasan tidak bisa menerima terbentuknya negara Madura sebagai salah satu upaya Pemerintahan Kolonial Belanda untuk memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa.

Melihat dari sedikitnya, bahkan hampir tidak ada sama sekali prasasti maupun inskripsi sebagai sumber penulisan ini, maka data-data ataupun fakta yang digunakan untuk menganalisis peristiwa yang terjadi tetap diupayakan menggunakan data-data sekunder berupa buku-buku sejarah ataupun Layang Madura yang diperkirakan memiliki kaitan peristiwa dengan kejadian sejarah yang ada. Selain itu diupayakan menggunakan data primer dari beberapa informan kunci yaitu para sesepuh Pamekasan.

Tapi adapun Cerita Sejarah berdirinya Pamekasan juga berdasar berdirinya Kraton Lawangan Daya atau Dalam Arti Bahasa Indonesia Gerbang Utara dan akan juga akan di ceritakan dalam tulisan ini.

Keraton Lawangan Daya Yang Juga merupakan kisah bersejarah yang akan membuka asal usul dan sejarah kebudayaan di tanah Madura.

Pada zaman dahulu kala, konon Raja Majapahit yang terakhir sempat mengangkat salah seorang putranya menjadi Kami Tuwo (semacam kepala desa) di pesisir Pulau Madura. Daerah ini sekarang dikenal sebagai Kabupaten Sampang. Putra Raja Majapahit yang memimpin wilayah Sampang tersebut bernama Ki Ario Lembu Peteng.

Di dalam Babad Madura disebutkan bahwa Ki Ario Lembu Peteng adalah bangsawan yang menurunkan raja-raja kecil di Madura bagian barat. Ki Ario Lembu Peteng yang beragam Budha itu kemudian masuk agama Islam dan wafat di daerah Ampel, Surabaya, sebelum ia sempat meng-Islam-kan putra-putranya. Sebagai pengganti Ki Ario Lembu Peteng, maka diangkatlah putranya yang bernama Ario Menger menjadi Kami Tuwo.

Semasa hidup Ki Ario Lembu Peteng, ia juga memiliki anak yang bernama Ario Mengo. Ario Mengo adalah adik dari Ario Menger. Ario Mengo adalah putra Ki Ario Lembu Peteng yang ditugaskan untuk membabat hutan di sebelah timur Madegan. Oleh karena itu Ario Mengo bersama para pengikutnya menyusuri Selat Madura bagian selatan, yang mereka anggap sebagai satu-satunya jalan yang paling aman dari gangguan binatang buas.

Di suatu tempat, rombongan Ki Ario Mengo melepaskan lelah hingga malam tiba. Suasana malam itu sangat indah karena kebetulan sedang bulan purnama. Setelah ia merenung beberapa saat, timbullah keinginannya untuk menetap di situ. Pilihan Ario Mengo memang sangat tepat karena di sekitar wilayah tersebut terdapat banyak pohon buah-buahan dan sumber air.

Ki Ario Mengo Mendirikan Keraton Lawangan Daya

Ketika hari sudah larut malam, Ki Ario Mengo memerintahkan para pengikutnya naik ke atas pohon agar mereka terhindar dari gangguan binatang buas. Selama di atas pohon, mereka merasa bahwa malam berjalan sangat panjang. Sementara itu, Ki Ario Mengo tertidur lelap, sehingga tak terasa bahwa hari telah pagi. Ia baru terjaga setelah mendengar kicau burung yang bersahut-sahutan. Ia semakin terpikat oleh suasana dan pesona hutan itu sehingga diputuskan untuk mendirikan pedukuhan di situ.

Kemudian para pengikut Ki Ario Mengo diperintahkan menebangi pohon di sekitarnya untuk digunakan mendirikan bangunan dan rumah, sedangkan dahan-dahan yang besar digunakan untuk pagar, dengan posisi pintu menghadap arah utara (daja). Dengan demikian, berdirilah sebuah keraton kecil yang bernama Keraton Lawangan Daja. Pemilihan nama tersebut disebabkan keberadaan pintu (lawang) yang terletak di utara (daja). Karena cara pengucapan yang berbeda antara masyarakat Madura dan Jawa, maka Keraton Lawangan Daja disebut juga dengan Keraton Lawangan Daya.

Keraton Lawangan Daja semakin lama semakin maju. Bahkan kemajuan Keraton Lawangan Daja melebihi keadaan kota kelahiran Ki Ario Mengo. Meski Keraton Lawangan Daja hanya kerajaan kecil, Ki Ario Mengo dapat memimpin rakyatnya ke tingkat kehidupan yang layak dan teratur, sehingga ia dikenal sebagai raja yang adil dan bijaksana. Kepemimpinan Ki Ario Mengo sangat disegani dan dipatuhi oleh semua rakyatnya.

Selain itu, banyak diantara penduduk Keraton Lawangan Daja yang bertempat tinggal di sekitar keraton dan mengabdi kepada pemerintahan Ki Ario Mengo. Demikian pula diantara keluarganya sendiri yang ada di Madegan berdatangan dan menetap di Keraton Lawangan Daja. Akhirnya, bukan hanya Keraton Lawangan Daya yang terkenal di seluruh pelosok pulau Madura, bahkan nama Ki Ario Mengo semakin masyhur pula.(Agus Lempar)..

Sumber :

·         Abdurachman. 1976. Pengantar Sejarah Jawa Timur.

·         Abdurachman. 1971. Sejarah Madura Se-lanyang Pandang.

Pos terkait