NUSA DUA BALI, Maduracorner.com – “Pak dokter, saya mantan pasien Anda”, kataku padanya ketika kami bertemu pertama kalinya setelah sekian lama, kami berdua menginap dalam satu kamar di Nusa Dua, Bali pada 11 April 2015. Percakapan kami berlangsung cukup akrab, sikapnya yang rendah hati membuat saya tidak canggung untuk memutar kembali kisah pengobatan TBC (tuberculosis) yang pernah saya idap. Tidak lama, pak dokter pun mulai sedikit ingat kembali tentang saya. Berikut kisah singkatnya…
Sekitar tahun 2011 lalu, muncul benjolan sebesar biji kelereng di leher kiriku. Kepanikan dan kekhawatiran awalnya sempat merundungku, saya merasa terganggu ketika menoleh. Setelah periksa ke salah satu dokter di Bangkalan, berbekal surat rujukan darinya, saya menjalani pemeriksaan di Poli Onkologi. Dokter mengambil sampel cairan dari dalam benjolan itu untuk uji laboratorium di salah satu rumah sakit ternama milik pemerintah di Surabaya.
Hasilnya, dokter bersangkutan menyatakan bahwa benjolan tersebut adalah TBC kelenjar (umumnya TBC menyerang paru-paru yang ditandai dengan gejala batuk). Alhamdulillah, tidak ada potensi keganasan yang mengarah ke kanker. Saya kemudian menjalani pengobatan TBC selama setengah tahun. Benjolannya masih ada meski sudah enam bulan berlalu, namun sudah tidak mengganggu aktifitas menoleh ke kanan maupun ke kiri.
Hari demi hari berlalu setelah itu, pada satu malam kami dipertemukan kembali di sebuah kamar di satu pulau. Di pulau para dewa, pulau yang sering disebut sebagai surga dunia, pulau yang sering dijuluki pulau sejuta pura. Iya, pulau Bali. Terimakasih yang tak sempat terucap pada pertemuan sebelumnya beberapa tahun silam, coba untuk kulunasi dengan sesempurna mungkin. “Terimakasih banyak pak dokter, anda telah membantu kesembuhan penyakit TBC yang saya derita,” ucapku padanya.
Percakapan kami berlanjut di atas bus perjalanan dari Nusa Dua menuju Kuta, perjalanan menuju tempat makan malam. Dokter onkologi yang sudah bertahun-tahun menggeluti persoalan tumor dan kanker tersebut ternyata menyimpan kegundahan yang menggunung. Buktinya, selama perjalanan menyusuri tol Bali Mandara yang sudah tersohor karena megah dan berada atas laut itu, ia tidak tidak berhenti mencurahkan kegundahan.
Ia mengkritik pelaksanaan seminar kanker yang sama-sama kami hadiri di Nusa Dua Bali. Menurutnya, kanker adalah penyakit yang masih sulit disembuhkan. Pengobatan yang diberikan kepada pasien kanker tidak menjamin kesembuhan, karena kesembuhan datangnya dari Tuhan. Nyawa seorang pasien kanker tidak untuk diperdagangkan dengan ‘menjajakan’ aneka pengobatan terhadap kanker. Ia tidak setuju ketika ada pasien (atau keluarga pasien) kanker yang telah sembuh menceritakan proses pengobatannya dalam suatu seminar di hadapan banyak orang.
Menurutku, ia mengalami ‘sesat pikir’ soal kanker. Kalau seorang dokter onkologi mengalami sesat pikir, terus bagaimana nasib para pasien kanker. Pasien kanker yang sedang mengalami keterpurukan karena divonis kanker akan semakin terpuruk karena mendapatkan ‘pengetahuan yang sesat’ tentang kanker. Kenapa saya sebut sesat pikir?
Berobat dan sembuh adalah dua hal yang relatif berbeda. Berobat masuk ke dalam ranah ‘insani-lahiriah’. Sedangkan sembuh atau kesembuhan masuk dalam ranah ‘ilahiah’, bagaimana Tuhan menentukan siapa saja yang Ia sembuhkan, itu adalah ‘hak prerogatif’ Tuhan. Sedangkan mengetahui gejala kanker serta pengobatan apa yang cocok untuk kanker merupakan hak kita sebagai manusia yang memang diwajibkan untuk ikhtiar.
Kami berdua bertemu di Bali karena sama-sama diundang dalam seminar tentang kanker. Seminar ini mengundang sejumlah pasien kanker dan dokter dari berbagai daerah di Indonesia. Narasumber dalam seminar ini salah satunya adalah Prof. Peng Xiaoshi, seorang dokter bergelar profesor dari Cina.
Profesor Peng (sapaan akrabnya) menjelaskan bahwa setiap manusia memiliki sel kanker di dalam tubuhnya. Namun, tubuh manusia juga memproduksi sel anti-kanker. Sel anti-kanker inilah yang selalu menang melawan kanker sehingga kita tidak menderita sakit kanker. Bagi yang sakit kanker, berarti sel kanker telah menang dalam peperangan tersebut. Ibaratnya, tubuh manusia selalu menjadi ajang perperangan antara setan (sel kanker) dan malaikat (sel anti-kanker) yang tak kunjung usai hingga ajal menjemput.
Profesor yang murah senyum dan masih cukup muda ini juga menambahkan bahwa kanker bisa dibawa oleh virus ke dalam tubuh kita. Maka, pegobatan terhadap kanker dibedakan sesuai dengan penyebab kanker, jenis kanker dan kondisi si pasien.
Tengok saja, kemoterapi dan radioterapi sudah ditemukan oleh ilmuwan kedokteran Barat sejak ratusan tahun lalu. Saat ini, para dokter di Guangzhou mampu mengembangkannya menjadi lebih efektif, efisien dan ‘manusiawi’.
Obat kemoterapi dan sinar radioterapi dimasukkan dalam partikel-partikel kecil sebesar biji beras. Partikel tersebut kemudian dimasukkan ke dalam induk kanker melalui selang yang cukup kecil dengan seminimal mungkin melukai tubuh manusia. Partikel tersebut kemudian bekerja secara lokal-bertarget pada induk kanker tanpa merusak organ tubuh lainnya yang masih sehat. Lambat laun, induk kanker mati dan tidak lagi memproduksi sel kanker.
Pengembangan partikel kemoterapi dan radioterapi oleh dokter di Guangzhou sepertinya relevan jika kita sejajarkan dengan penemuan rumus al-jabar dari Timur Tengah. Al-jabar dikembangkan oleh para pakar di negara-negara Barat setelah keruntuhan kerajaan Islam. Sehingga, kini keilmuan Barat jauh berkembang meninggalkan para pakar dimana asal mula penemu al-jabar ditemukan.
Jika saja, dokter onkologi dari Surabaya yang hadir di seminar tersebut memiliki kerelaan untuk memenerima wawasan baru soal kanker, pastinya ‘sesat pikir’ yang dialami dokter onkologi yang sedang saya ajak bicara di dalam bus tersebut tidak terjadi.
‘Sesat pikir’ ini jelas berakibat fatal, fatal sekali. Banyak contoh bisa kita temui ketika kita berobat ke Guangzhou. Diantaranya, ada dua pasien kanker usus asal Surabaya yang dipotong ususnya setelah didiagnosa menderita kanker usus. Mereka harus tersiksa seumur hidup dengan kantong menempel di perutnya. Kantong itu menjadi ‘dubur darurat’ untuk mengeluarkan BAB (buang air besar) akibat ususnya yang telah dipotong.
Saya tegaskan sekali lagi bahwa untuk mengobati kanker atau sekedar mengetahui apakah kita mengidap kanker atau tidak, jangan sekali-kali menggunakan cara operasi maupun biopsi (operasi kecil untuk mengambil sampel kanker). Sekali tesentuh pisau bedah, jumlah sel kanker akan semakin cepat bertambah. Tempatkanlah metode operasi dalam daftar urutan terakhir untuk mengobati kanker.
Partikel kemoterapi dan radioterapi hanya satu bagian dari enam belas cara mengobati kanker yang dikembangkan di Guangzhou. Bisa jadi cara pengobatan kanker akan terus mengalami pengembangan di masa depan. Munculnya cara baru mengobati kanker adalah suatu keniscayaan bagi siapa saja yang mau berusaha untuk meneliti dan mengembangkan keilmuan di bidang kedokteran.
Tetapi, bagi para dokter yang ‘sesat pikir’ tentu belum mau menerima dengan lapang dada inovasi di bidang kedokteran tersebut. Ibarat katak dalam tempurung. Hadeeeeh…di situlah kadang saya merasa sedih!
Penulis : Buyung Pambudi
By : Jiddan