Oleh
Intan Pratiwi, S.Kom.
Analis Pengelolaan Keuangan APBN-Universitas Trunojoyo Madura
Baru-baru ini Kementerian Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 6/PMK.03/2021 terkait pemberlakukan pemungutan PPN dan PPh untuk penjualan pulsa, kartu perdana, token, dan voucher. Dan kebijakan Pengenaan pajak yang diberlakukan pada 1 Februari 2021ini langsung menuai pro kontra dari sejumlah kalangan. Pasalnya aturan ini dianggap membebani masyarakat. Meskipun kebijakan tersebut hanya bertujuan untuk menyederhanakan pengenaan PPN dan PPh atas pulsa/kartu perdana misalnya hanya sampai batas distributor tingkat II (server), sehingga distributor tingkat pengecer yang menjual kepada konsumen akhir tidak perlu memungut PPN lagi. Namun semua alasan tersebut tetap saja tidak bisa diterima, karena secara logika meski pajak hanya dikenakan pada tingkat distributor tidak akan menutup kemungkinan distributor tingkat II (server) akan menaikkan harga terlebih dahulu sebelum diedarkan ke distributor tingkat pengecer.
Semakin gencarnya pemerintah mengeluarkan peraturan terkait dengan pemungutan pajak di berbagai sektor semakin membuat masyarakat gerah. Jadi wajar apabila masyarakat menganggap pemerintah seperti menghisap darah rakyatnya sendiri. Hampir secara keseluruhan dalam kehidupan masyarakat dikenai pajak, mulai dari Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, Pajak Ekspor, Pajak Perdagangan Internasional serta Bea Masuk dan Cukai.
Faktanya, memang pajak di negeri ini merupakan sumber pendapatan negara terbesar yang awalnya berada pada urutan kedua sebagai sumber pendapatan APBN setelah penerimaan dari sektor migas. Akan tetapi sekarang pajak merupakan primadona sebagai suplai APBN nomor satu, dari seluruh penerimaan negara. Realisasi Penerimaan Pajak per 23 Desember 2020 mencapai Rp. 1.019.56 triliun atau 85,65 persen dari target APBN. Jumlah yang sangat fantastis bukan?.
Bisa dikatakan bahwa sumber pendapatan Negara yang terbesar berasal dari rakyat, karena pajak tersebut berasal dari rakyat. Pemungutan pajak juga berjalan dengan lancar karena ada payung hukumnya berupa peraturan-peraturan. Peraturan sangat berperan dalam memaksakan masyarakat membayar pajak sehingga suplay pajak bagi Negara tidak pernah absen.
Hasil dari pungutan pajak dapat dilihat secara nyata dalam berbagai bentuk fasilitas publik seperti jalan, jembatan, rumah sakit, pembelian alat-alat persenjataan tempur untuk keamaan negara. Bahkan penggunaan uang pajak untuk keperluan kelestarian budaya, posyandu, kelestarian lingkungan hidup, penanggulangan bencana, dan tidak ketinggalan juga dalam aspek penegakan hukum, pendidikan, pemilihan umum, subsidi pangan dan BBM, serta kelancaran pembangunan trasportasi umum lainnya. Dengan kata lain sebagian besar APBN yang dananya bersumber dari pungutan pajak yang dibayar oleh rakyat digunakan untuk membiayai berbagai macam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang hasilnya juga dirasakan oleh rakyat. Jadi, istilahnya dari rakyat untuk rakyat, karena rakyatlah yang menyokong dana demi terselenggaranya pemerintahan dan pembangunan.
Lalu dimanakah peran Negara dalam mengurus dan menghidupi rakyat?. padahal, Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Di sektor kelautan dan perikanan, total garis pantai mencapai 81 ribu km. Total perairan darat seluas 5.500.000 km persegi, sedangkan total perairan laut seluas 5.800.000 km persegi. Potensi maksimum perikanan laut sebesar 6.700.000 sampai 7.700.000 metrik ton sedangkan untuk perikanan darat sebesar 3.600.000 metrik ton dan baru dapat dimanfaatkan sebesar 30%. Di sektor pertambangan, Indonesia memiliki sumber daya mineral yang cukup besar seperti emas, tembaga, perak, nikel, batubara, bauksit dan sebagainya.
Saat ini Indonesia merupakan salah satu produsen emas, tembaga dan batubara terpenting di dunia. Produksi batubara Indonesia yang pada awal tahun 1970- an kurang dari 1.000.000 ton per tahun, pada akhir tahun 1990- an telah mencapai kurang lebih 80.000.000 ton per tahun bahkan sekarang jauh melebihi di atas 100.000.000 ton pertahun . Produksi pertambangan yang lain seperti emas, tembaga, dan nikel juga meningkat dengan tajam. Dengan demikian, pertumbuhan produksi di bidang pertambangan merupakan sektor yang tertinggi dari seluruh industri primer dalam beberapa dekade terakhir.
Namun demikian, mengapa jenis pengelolaan SDA ini tidak bisa menjadi sumber pendapatan utama APBN?.
Belum lagi dari kekayaan minyak dan gas bumi (migas) yang tidak diragukan lagi jumlahnya. Selama ini pengelolaan sektor minyak dan gas bumi (migas) kerap dianggap sebagai sesuatu yang beresiko tinggi, memerlukan modal investasi yang besar dan mensyaratkan kualifikasi yang ketat, akhirnya memunculkan persepsi bahwa hanya perusahaan asing yang mampu melakukannya. Dan pada kenyataannya, asinglah yang mengelola migas di negeri ini.
Kehadiran asing di negeri yang memiliki sumber daya migas yang menjanjikan ini difasilitasi oleh pemerintah melalui Production Sharing Contract (PSC). Production Sharing Contract (PSC) sering disebut kontraktor kerjasama dan pelaksanaan PSC kemudian diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Migas. Dalam pasal 14 UU Migas mengatur tentang jangka waktu kontrak kerjasama yang dapat dilaksanakan paling lama 30 tahun, Badan usaha atau badan pelaksana masih bisa mengajukan perpanjangan waktu kontrak paling lama 20 tahun. dan selama itu pula kekayaan migas negeri ini dikelola dan hasilnya menjadi pihak asing.
Jelas sekali UU Migas 22 tahun 2001 tentang migas ini sangat bertentangan UUD 1945 pasal 33 yang menyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. UU Migas 22 tahun 2001 ini sangat membuka peluang adanya liberalisasi pengelolaan migas dan sangat dipengaruhi oleh pihak asing. Oleh karena itu, pasca putusan Mahkamah Konstitusi yang membubarkan Badan Pelaksana Migas, ditujukan agar pemerintah lebih tegas menunjukkan keberpihakan pada kedaulatan energi bangsa dalam pengelolaan migas.
Hubungan antara negara dan sumber daya alam Migas sepanjang dikonstruksi dalam bentuk kontrak kerjasama antara Badan Pelaksana Migas selaku Badan Hukum Milik Negara sebagai pihak pemerintah atau yang mewakili pemerintah dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap sebagaimana diatur dalam UU Migas, bertentangan dengan prinsip penguasaan negara yang dimaksud oleh konstitusi. Karena itu pemerintah seharusnya segera membuat aturan hukum, untuk mengisi kekosongan hukum terkait pengaturan mengenai kewenangan unit minyak dan gas agar tidak ada kegaduhan di dalam pengelolaan minyak dan gas yang saat ini sedang berjalan. Pemerintah dengan kekuatan yang dimiliki bisa memulainya dengan cara tidak perlu mempertahankan lagi kontrak-kontrak pertambangan minyak dan gas yang akan berakhir dan menegosiasikan kembali kontrak yang sedang berjalan, serta merevisi UU migas untuk disesuaikan dengan UUD 1945 pasal 33.
Apabila pengelolaan Sumber Daya Alam dikuasai dan dikelola dengan baik oleh Negara, maka memungkinkan dapat memberikan kontribusi yang besar terhadap pendapatan Negara. Sehingga pemerintah tidak perlu memungut pajak dari berbagai sektor dan dari berbagai lapisan masayarakat. Bisa saja pajak dipungut sewaktu-waktu ketika Negara dalam kondisi defisit dan bersifat insidentil.