
BANGKALAN, – Maduracorner.com – Pagi itu, Sabtu (26/4/2025), di Dyandra Convention Centre Surabaya, ribuan toga hitam menutupi lautan manusia. Wisuda Universitas Dr. Soetomo (Unitomo) berjalan khidmat. Para orang tua bersorak, kamera berkilat, dan haru mengambang di udara.
Di tengah keramaian itu, seorang pria berseragam polisi berdiri di atas podium. Ia bukan sekadar seorang perwira; ia juga seorang anak Madura yang memanggul beban sejarah panjang tanah kelahirannya. Nama pria itu, Kompol Andi Febrianto Ali, Wakapolres Bangkalan, yang hari itu menyandang gelar Magister Ilmu Hukum.
Namun pidatonya tak berhenti di seputar capaian akademik. Dengan suara mantap, Andi menyuarakan sesuatu yang jauh lebih besar: harapan untuk mengikis carok — tradisi duel berdarah yang telah lama berakar di tanah Madura.
“Carok itu lahir dari keputusasaan,” ujarnya. “Ketika tak ada tempat mengadu, dan harga diri dipertaruhkan, carok jadi pilihan terakhir.”tambah Andi.
Itu bukan sekadar kata-kata. Di balik toga yang ia kenakan, tersimpan pengalaman panjang menyaksikan betapa dendam kecil di desa bisa berakhir dengan pertumpahan darah.
Menabur Damai dari Tengah Lapangan
Keesokan harinya, suasana jauh berbeda. Dari ruangan ber-AC Dyandra, Andi kini menginjak tanah lapang berdebu di Bangkalan. Lapangan SKEP, Kelurahan Bancaran, riuh oleh sorak-sorai pendukung karapan sapi. Suara gemuruh langkah sapi, teriakan joki, dan peluit wasit mengisi udara.
Di sela tugas pengamanan, Andi duduk di bawah tenda kecil. Keringat membasahi pelipisnya, tapi senyum tak lepas dari wajahnya. Di sinilah ia bercerita lebih dalam tentang apa yang baru saja ia suarakan di Surabaya.
“Madura ini keras, tapi juga beradab. Sayangnya, ketika masalah kecil seperti rebutan lahan, warisan, atau batas tanah tidak segera diselesaikan, bisa meledak menjadi carok.” Terangnya.
Dalam riset tesisnya, Andi menemukan pola berulang: percikan kecil yang dibiarkan membesar, hingga akhirnya membakar segalanya. Di tengah rasa frustasi karena tidak adanya jalur penyelesaian yang cepat dan adil, carok muncul sebagai jalan keluar — jalan yang keliru, tapi dianggap bermartabat.
Karena itu, Kompol Andi melalui penelitian tesisnya menawarkan solusi, pembentukan Lembaga Adat Desa (LAD), sebuah forum berbasis kearifan lokal, tempat orang bisa mengadu, bermusyawarah, dan menemukan damai sebelum kekerasan mengambil alih.
Ia mengutip Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 18 Tahun 2018 yang membuka jalan hukum untuk LAD. Di tataran desa, hukum adat yang disepakati bersama bisa berlaku tanpa perlu melalui jalur birokrasi panjang. Bagi Andi, ini adalah harapan baru untuk meredam bara dendam sebelum menjadi kobaran api.
Menghidupkan Komitmen Bersama
Usahanya bukan tanpa rintangan. Mempromosikan perdamaian di tengah budaya harga diri tinggi seperti Madura butuh pendekatan hati-hati. Ia tahu, menghapus carok bukan berarti menghilangkan jati diri, melainkan mengembalikannya kepada nilai sejatinya: adab dan musyawarah.
Pada 12 Desember 2024, Andi menginisiasi Seminar Nasional di Pendopo Agung Bangkalan. Di bawah atap kayu tua dan lampu kuning temaram, akademisi, tokoh agama, budayawan, hingga pejabat pemerintah berkumpul. Seminar itu melahirkan sebuah tonggak sejarah.
Deklarasi Peletakan Senjata Tajam
Di depan umum, warga menyerahkan celurit dan pisau — senjata-senjata yang selama ini menjadi simbol carok — sebagai tanda ikrar untuk menghentikan kekerasan. Wakil Menteri Hukum RI, Prof. Eddy OS Hiariej, bersama Rektor Unitomo, para anggota DPR, hingga budayawan besar D. Zawawi Imron, menjadi saksi momen itu.
“Bukan senjata yang harus kita banggakan,” kata Andi dalam pidatonya waktu itu. “Tapi kemampuan kita menjaga kehormatan tanpa melukai.” Harapanya.
Harapan di Tengah Tradisi
Misi damai Andi kini tengah diuji. Ia tahu, carok tidak akan hilang dalam sehari, seminggu, atau setahun. Ini perjuangan panjang, menembus generasi dan melawan budaya bisu yang kadung mendarah daging.
Namun di tengah lapangan berdebu itu, di tengah karapan sapi yang riuh, Andi percaya pada satu hal: perubahan dimulai dari keberanian bermimpi. Bermimpi bahwa suatu hari nanti, ketika konflik kecil muncul, warga tidak lagi menghunus celurit, tapi membuka pintu rumah tetangga, mengajak bicara, mencari jalan damai.
Baginya, menjaga Madura bukan berarti menghapus kerasnya karakter masyarakat. Tapi mengarahkannya: dari keberanian bertarung, menjadi keberanian memaafkan. Dari harga diri yang ditebus darah, menjadi kehormatan yang dirawat lewat musyawarah.
Dan di situlah Kompol Andi Febrianto terus melangkah perlahan, pasti menabur benih damai di tanah yang dulu hanya mengenal tebusan dengan darah.
“Saya percaya, tanah kelahiran saya bisa lebih damai. Karena Madura, sejatinya, adalah tanah orang-orang besar hati.” Pungkasnya.(red)