Antara Dahlan Iskan, Dasep Ahmadi, dan Agus Suherman

Antara Dahlan Iskan, Dasep Ahmadi, dan Agus Suherman

Bangkalan, Maduracorner.com – Memasuki Ramadhan kali ini bangsa Indonesia disuguhi dengan aneka kasus menarik, penetapan Ir. Dasep Ahmadi, MSc, pengembang mobil listrik nusantara menjadi tersangka korupsi oleh pihak Kejaksaan. Alumni ITB berusia 47 tahun ini, sejak muda dikenal sebagai sosok peneliti, sosok inovator teknologi.

Pengalaman panjang profesionalnya di Daihatsu, membulatkan tekadnya membangun perusahaan teknologi yang melahirkan produk-produk dengan nilai tambah tinggi. Mendirikan PT Sarimas Ahmadi Pratama sebagai produsen peralatan khusus untuk kebutuhan pabrik-pabrik komponen di lingkungan PT Astra Internasional, bahkan dapat meng-ekspor ke negara tetangga.

PT SAP juga berkembang dengan memproduksi produk-produk peralatan pertanian, dan memiliki sebuah master piece produk teknologi tinggi di bidang mesin perkakas, dan memproduksi mesin CNC (computerize numerical control).

Perkembangan selanjutnya Dasep memproduksi Mobil Listrik Nasional (MLN). Semasa Dahlan Iskan menjadi menteri BUMN, dalam mengembangkan teknologi MLN, ia disebut sebagai salah satu putera petir nasional yang akan bahu-membahu membangun kemandirian teknologi di bidang mobil listrik.

Jadi, pengembangan MLN untuk membangun kemandirian industri otomotif telah menjadi simbol semangat kebangkitan teknologi bangsa. Dasep, si inovator teknologi menjadi role model pengabdian seorang insinyur untuk bangsanya, setelah masa keemasan Prof. BJ Habibie berakhir (dengan simbol pesawat N250 Gatot Kaca – IPTN).

Krisis politik dan ekonomi pada 1998 salah satu akibatnya adalah rontoknya BUMN strategis yang menjadi penyangga kemandirian teknologi nasional saat itu (PT PAL, PT DI, PT PINDAD, PT INKA, PT KS, PT BARATA dll). Setelah reformasi, bangsa ini menyerahkan penguasaan dan kemandirian teknologi kepada pasar (dipasrahkan kepada rakyatnya).

Dan lahirlah Dasep sebagai salah satu teknopreneur. Ia telah menerima berbagai penghargaan dari pemerintah maupun non pemerintah, seperti: Rintisan Teknologi, Kementerian Perindustrian (2010), Adhi Cipta Rekayasa, PII (2010), BJ Habibie Technology Award (2009), Teknopreneur Award, IA-ITB (2009), Student Innovation Contest, Depdiknas (1989), Robot Innovation Contest, Kementerian Riset dan Teknologi (1987).

Dasep Ahmadi juga mengembangkan komunitas untuk bersama-sama dengan putera-puteri bangsa ini mewujudkan visi dan misinya dengan menjalankan asosiasi perusahaan teknologi. Dasep adalah ketua Ketua ASIMPI (Asosiasi Perusahaan Mesin Perkakas Indonesia), Ketua GAMMA (Asosiasi Perusahaan Pengerjaan Logam dan Mesin Indonesia).

Sebagai insinyur, Dasep Ahmadi kemungkinan lupa terhadap pentingnya administrasi, keuangan dan khususnya legal formal. Ketika produk-produk yang dikembangkannya berkaitan dengan anggaran pemerintah (seperti BUMN), kemungkinan ada celah administrasi yang dalam pandangan hukum bisa dikategorikan sebagai mengakibatkan kerugian negara.

Di sinilah awal Dasep berurusan dengan kejaksaan dan ditetapkan sebagai tersangka korupsi. Dalam bahasa hukum, apakah Dasep melakukan korupsi, biarlah pengadilan yang membuktikannya. Sangkaan yang berat, bagi seorang idealis inovator teknologi yang selama hidupnya mengabdikan kepakarannya untuk membangun kemandirian, daya saing, martabat, dan kedaulatan bangsanya.

Dasep, sang inovator bangsa Indonesia, telah menjadi martir bagi tumbuhnya inovator-inovator lain di masa datang. Peristiwa yang menimpa Dasep, tidak akan membuat takut para inovator lainnya, tapi akan menjadi pelajaran berharga agar para inovator tidak hanya fokus pada produk dan inovasi teknologinya, tapi juga mau memperhatikan proses bisnis yang terkait dari berbagai aspek.

Dasep akan tetap menjadi salah satu role model semangat membangun kemandirian, daya saing, martabat, dan kedaulatan bangsa di bidang teknologi. Bisa saja, andai Profesor Habibie berada di era sekarang ini, pasti beliau jadi tersangka juga.

Andai Dasep tidak “bersentuhan” dengan Dahlan Iskan, mantan Menteri BUMN yang kini menjadi tersangka kasus Gardu Induk PLN di DKI Jakarta, mungkin saja Dasep masih menjadi “orang bebas” tanpa sangkaan korupsi. Pasalnya, ternyata pembiayaan MLN yang digarapnya itu menggunakan uang CSR Kementerian BUMN.

“Saya bersedia mengganti seluruh pengeluaran sponsorship maupun CSR untuk pengadaan mobil listrik kalau memang proyek tersebut tidak diperbolehkan menggunakan dana sponsorship atau CSR. Saya merasa sedih karena mantan anak buah saya di kementerian BUMN dijadikan tersangka karena mengkoordinasikan CSR/sponsorship untuk pembuatan mobil listrik,” begitu tulis Dahlan.

Menurut Dahlan, mobil listrik tersebut dibuat dengan tujuan untuk dipersembahkan sebagai program green energy pada KTT APEC di Bali. Seingatnya, BUMN memang diminta mendukung suksesnya KTT APEC. Bahwa yang dipercaya mengerjakannya adalah Ir. Dasep Ahmadi, MSc, memang saat itu baru lulusan ITB tersebut yang sudah membuktikan secara nyata mampu membuat mobil listrik.

“Saya belum tahu berapa dana untuk pengembangan mobil listrik tersebut. Tapi kalau uang saya tidak mencukupi, saya yakin bisa minta tolong teman-teman saya yang peduli dengan kemajuan anak bangsa untuk membeli mobil tersebut. Saya sedih masalah ini jadi perkara pidana,” ujar Dahlan. “Saya berharap teman-teman tidak patah semangat.”

Selama ini, lanjutnya, BUMN juga mengalokasikan dana yang besar untuk pengentasan kemiskinan, pendidikan, kesehatan, olahraga dan sebagainya. “Saya juga tidak tahu apakah yang seperti itu juga tidak boleh,” ungkap Dahlan.

Kasus Dahlan Iskan tidak hanya “menyengat” Dasep Ahmadi saja. DR. Agus Suherman, yang jadi saat itu menjabat sebagai staf di bagian CSR Kementerian BUMN membuatnya berhubungan dengan program-program pemberdayaan di segala bidang. Menurut Dahlan, Agus tidak punya wewenang memutuskan atau memerintahkan apa pun.

Agus hanya seorang staf pelaksana. “Gus, saya minta maaf kok nasib Anda jadi begini,” ujar Dahlan begitu mendapat SMS, dirinya baru saja ditetapkan sebagai tersangka mobil listrik BUMN oleh pihak Kejaksaan Agung. Agus Suherman adalah anak muda. Umur 30 tahun Agus sudah meraih gelar doktor. Ia alumni Universitas Diponegoro Semarang.

Latar belakangnya sebagai doktor perikanan, integritas, dan antusiasnya yang tinggi, serta usianya yang begitu muda membuat Dahlan menilai dia akan mampu diberi tugas berat: menjadi Direktur Utama Perusahaan Umum Perikanan Indonesia. Umurnya 36 tahun saat itu.

Misi utamanya: membenahi perusahaan perikanan yang keadaannya sangat memprihatinkan. Agar bisa menjadi perusahaan perikanan yang maju di negara maritim ini. Prestasinya luar biasa. Perusahaan perikanan itu tahun lalu berubah total. Ratingnya AAA (tertinggi dalam nilai kesehatan perusahaan). Labanya naik 500%. Program-programnya spektakuler.

Tambak-tambak perusahaan itu di Karawang hidup lagi. Kawasan perikanan di Muara Baru menjadi bergairah. Kini dia jadi tersangka. Dia harus mundur dari jabatan itu. “Saya akan mundur, Pak. Tidak etis seorang dirut dalam status tersangka,” katanya. “Saya akan kembali ke Semarang, kembali menjadi dosen biasa,” tambahnya.

“Saya tertegun. Lama. Maka saya bertekad untuk dibolehkan mengganti semua pengeluaran proyek mobil listrik yang dananya berasal dari beberapa BUMN tersebut. Saya hanya berharap masa depan anak muda yang begitu cemerlang itu tidak cures,” tulis Dahlan.

“Kalau uang saya tidak cukup saya akan berusaha minta bantuan kepada orang-orang yang peduli kemajuan teknologi untuk membeli mobil-mobil tersebut,” lanjut Dahlan. Agus dan Dasep memang bukan Dahlan yang berlatar belakang wartawan. Agus, seorang insinyur perikanan, sedangkan Dasep insinyur mesin. Namun, keduanya adalah anak bangsa yang peduli kemajuan.

Mereka akhirnya terseret dalam kasus korupsi hanya karena ada mantan menteri yang bersemangat untuk ikut pula memajukan bangsa Indonesia, yang tidak mau tertinggal dari bangsa lainnya di dunia. Sehingga, beragam peraturan yang dianggap menghambat kinerjanya ia terabas saja saat jadi Direktur Utama PT PLN.

Memang, seperti kata Dahlan, ada baiknya orang tahu ini. Proyek-proyek gardu induk PLN yang dibiayai uang negara (APBN) itu ditangani oleh satu organisasi yang disebut P2K (Pejabat Pembuat Komitmen). P2K itu didampingi oleh bendahara, tim pemeriksa barang, tim penerima barang, dan tim pengadaan.

Menurut Dahlan, seluruh pejabat di situ pegawai PLN, tapi yang mengangkat mereka menjadi P2K adalah menteri ESDM. Mengapa? Karena Pengguna Anggarannya (PA) adalah menteri ESDM. Dalam hal ini, Dirut PLN (waktu itu Dahlan), sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA).

Mengapa Menteri ESDM yang mengangkat pejabat pelaksana proyek itu, bukan KPA/Dirut PLN yang mengangkatnya? Kepresnya berbunyi begitu. Yakni Kepres 54/2010. Wewenang P2K itu luar biasa besar. Merekalah yang berwenang melakukan lelang/tender.

Mereka-lah yang menentukan pemenang tender. Mereka-lah yang membuat dan menandatangani kontrak. Mereka-lah yang melaksanakan pekerjaan. Dan mereka pula yang melakukan pembayaran. Untuk melakukan semua itu, P2K tidak perlu meminta persetujuan KPA/Dirut PLN. Ketentuannya memang begitu.

“Jadi kalau saya tidak mencampuri lelang, siapa pesertanya, siapa pemenangnya, dan bagaimana pengadaan barangnya, memang karena mereka tidak perlu minta persetujuan KPA/Dirut PLN,” tulis Dahlan Iskan dalam blognya Gardu Dahlan. Demikian juga saat mereka membayar. Tidak perlu minta persetujuan KPA/Dirut PLN. Ketentuannya memang begitu.

Dan mereka melaksanakan ketentuan itu. Apalagi ia hanya 22 bulan di PLN. Dengan demikian, ia juga sudah tidak di PLN kala kontrak-kontrak ditandatangani. “Saya juga sudah tidak di PLN ketika pembayaran-pembayaran dilakukan,” lanjut Dahlan.

P2K itu setiap bulan sekali melakukan rapat koordinasi dengan kementerian ESDM. Ia tentu harus hadir. Tapi kebetulan ia belum pernah ikut hadir. Ini karena sudah menjadi kebiasaan sejak lama bahwa dalam rapat koordinasi seperti itu cukup dihadiri pejabat setingkat di bawah direksi.

Dahlan berterima kasih ketika direksi PLN menjelaskan semua itu kepadanya. Tentu ia tetap merasa bersalah kalau terjadi apa-apa di P2K dan jajarannya. Seperti juga Dahlan akan merasa bersalah kalau anaknya nakal. Tapi, yang Dahlan lupakan adalah apa yang dialami Dasep dan Agus bukanlah semata-mata karena kesalahan mereka berdua.

Apakah Dahlan Iskan, Dasep Ahmadi, dan Agus Suherman benar-benar melakukan tindak korupsi? Menurut advokat senior Soemarso, SH, menuduh seseorang korupsi atau tidak harus dibuktikan dulu, apakah ada unsur melanggar hukum dan merugikan negara. “Keduanya ini harus satu paket, tidak boleh salah satunya saja,” katanya.

Khusus kaitannya dengan masalah korupsi, apakah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang itu sebagai melanggar hukum. Dan apakah juga merugikan keuangan negara. Karena itu sangat prinsip. Jadi, meskipun dia melanggar hukum tapi tidak merugikan negara, itu tidak bisa dikatakan korupsi. “Apakah yang dituduhkan terhadap Dahlan Iskan ini sudah memenuhi kedua unsur itu,” ujarnya.

Sekarang kita kaji kasus urusan mobil listrik. Apakah ini melawan atau melanggar hukum ketika membuatnya. Itu yang harus dikaji, kalau merugikan negara, uangnya dari mana itu, apakah uangnya dari negara (APBN) atau sponsor. Kalau dari sponsor ya itu urusan sponsor, jadi sponsor yang harus bertanggung jawab.

Sepanjang tidak merugikan negara ya tidak masalah, bukan tindak pidana korupsi dia. Soal uang sponsor dari mana itu tidak bisa dikaitkan sebagai tindak pidana korupsi. Karena itu urusan sponsor. Apakah sponsor yang mengeluarkan uang itu telah merugikan negara? Apakah dipersalahkan kalau itu sebagai bentuk kerjasama BUMN dengan pihak tertentu?

Terkait PLN, apapun masalahnya kalau timing-nya ketika Dahlan Iskan menjabat, dia mengajukan program itu. Setelah itu dia kan sudah tidak menjabat. Jadi, “Dahlan Iskan belum tuntas. Kalau belum tuntas, apakah bisa dikatakan sebagai perbuatan yang merugikan negara? Wong ketika proyek tersebut berjalan dia sudah tidak menjabat lagi.”

Meskipun dia telah menandatangani KPA, apakah itu sudah tuntas, karena ketika proyek berjalan, dia sudah tidak menjabat Dirut PLN, sehingga dia tidak punya tanggung jawab lagi. Pengganti Dahlan Iskan-lah (Dirut PLN baru) yang seharusnya bertanggung jawab sebagai KPA. Kriminalisasi terhadap Dahlan, Dasep, dan Agus, jelas akan “mematikan kreativitas” anak bangsa!

Penulis : Mochamad Toha  

Sumber : KOMPASIANA

By : Jiddan

Pos terkait