Bulan Tertusuk Lalang

Beberapa pilihan puisi D. Zawawi Imron dalam Bulan Tertusuk Lalang. By : An

Bulan Tertusuk Lalang

Maduracorner.com.Bangkalan – 

Bulan Tertusuk Lalang

bulan rebah
angin lelah di atas kandang

cicit-cicit kelelawar
menghimbau di ubun bukit
di mana kelak kujemput anak cucuku
menuntun sapi berpasang-pasang

angin termangu di pohon asam
bulan tertusuk lalang

tapi malam yang penuh belas kasihan
menerima semesta bayang-bayang
dengan mesra menidurkannya
dalam ranjang-ranjang nyanyian

1978

Nyanyian Tanah Garam

angin yang diluluhkan bauan wangi
barangkali tak akan mampu
menghitung kerikil-kerikil sepi
perih ya, perih!
adakah duri di semak rindu?

aduh, paman!
kudaki punuk pundak sapimu
dengan secawan nira di tangan
untuk mengisi ruas nyawaku
wahai, bulan betah mengasuh kemarau

dari ekor bintang yang semalam gemetar
bisa diduga, siapa yang harus dilecut
agar bangkit kejantanan
umbul-umbul berlukis wayang
sudah tegak di sudut ladang

dan sebagai anak dunia
lagu lebah kuresapkan
dan sebagai anak madura
kugali kubur sebelum berperang

1978

Senandung Nelayan

angin yang kini letih
bersujud di pelupuk ibu
laut! apakah pada debur ombakmu
terangkum sunyi ajalku?

oi, buih-buih zaman saling memburu
kali ini doaku lumpuh
gagal mengusap tujuh penjuru
pada siapa ‘kan kulepas napas cemburu?

jika sebutir airmata adalah permata
tolong simpan di jantung telukmu!

dari bisik ke bisik perahu beringsut maju
jika nanti bulan datang menyingkap teka-tekimu
tak sia-sia kujilat luka purba
tempat senyum menetas
jadi iman dan layar

1976

Sungai Kecil

sungai kecil, sungai kecil! dimanakah engkau telah kulihat?
antara cirebon dan purwokerto ataukah hanya dalam mimpi?
di atasmu batu-batu kecil sekeras rinduku dan di tepimu daun-
daun bergoyang menaburkan sesuatu yang kuminta dalam
doaku
sungai kecil, sungai kecil! terangkanlah kepadaku, di manakah
negeri asalmu?
di atasmu akan kupasang jembatan bambu agar para petani
mudah melintasimu dan akan kubersihkan lubukmu agar
para perampok yang mandi merasakan sejuk airmu
sungai kecil, sungai kecil! mengalirlah terus ke rongga jantungku
dan kalau kau payah, istirahatlah ke dalam tidurku! kau yang
jelita kutembangkan buat kasihku

1980

Ketemu Juga Akhirnya

kucari sosok tubuhmu
pada bias sukma di langit
meski langit tak mungkin secantik kenangan

nyatanya kau termangu di tikung sungai
merenungi percakapan daging dan tulang

ketemu juga akhirnya
bayang-bayang yang akan kekal
terkatung pada ranting penyesalan

kalau besok kubangun bendungan di sungai hijau
maka air harus mengalir
menyusul roh-roh yang belum pulang

1979

Kolam

kutunjukkan padamu sebuah kolam
hai, jangan tergesa engkau menyelam!
di situ sedang mekar setangkai kata
yang para pendeta tak tahu maknanya

dari manakah seekor capung yang biru itu?
ia datang tanpa salam dan pergi tanpa pamitan
tapi ekornya
jelas menuding pusat keheningan

ketika langit jadi gulita
senandung malam makin mendasar
dari kolam itu tumbuh keikhlasan
mengajarkan sujud yang paling tunjam

1979

Nagasari

membuka kulit nagasari
isinya bukan pisang madu
tapi mayat anak gembala
yang berseruling setiap senja

membuang kulit nagasari
seorang nakhoda memungutnya
dan merobeknya jadi dua
separuh buat peta
separuh buat bendera kapalnya

1978

Sapi Hitam

siapa tak sayang padanya?
sapi hitam bulunya hitam matanya hitam tanduknya hitam
kukunya hitam dagingnya hitam darahnya hitam hatinya
hitam
jangan sembelih ia jangan usik ia. biarkan ia bergerak
seperti arwah silakan ia datang dalam kenangan dan
mencari sepi ke ujung hati
satu saat kau akan merasa bahwa ia milikmu juga
jangan menjerit kalau ia luka dan jangan tangisi kalau ia
mati sebab matinya matimu pula
di ubun malam ia minta sediakan rumput padamu layanilah
agar kau tak punya hutang!

1979

Di Bukit Wahyu

Tengah hari di bukit wahyu kubaca Puisi-Mu. Aku tak tahu manakah yang lebih biru, langitkah atau hatiku?
“Kun!” perintah-Mu. Maka terjadilah alam, rahmat dan sorga. Bahkan di hidung anjing Kaubedakan sejuta bau.
Dalam jiwaku kini hinggap sehelai daun yang gugur.
Selanjutnya senandung, lalu matahari mundur ke ufuk timur, waktu pun kembali pagi. Di mata embun membias rentetan riwa-yat, mengeja-ngeja desir darahku. ada selubung lepas dariku, angin pun bangkit dari paruh kepodang di pucuk pohon kenanga.

1979

Kerapan

1
saronen itu ditiup orang
darah langit jatuh di padang, hatimu yang ditapai menjadi
sarapan siang
biarkan maut menghimbau, karena jejakmu telah diangkut
orang ke sampan

sampai kapan ya, ujung lalang itu menyentuh awan?
ah, harum nangkamu menerbangkanku ke bintang
tapi ekorku panjang disentak anak di bumi
hingga aku turun kembali

2
tanduk yang dibungkus beludru itu jangan dibuka, nanti matahari
pecah olehnya
mendung, wahai mendung!
jangan curahkan tangismu
sebelum daun jati sempurna ranggasnya
maka daun-daun siwalan berayun karena angin tak henti bersiul
dan kalau putus nadimu, jangan khawatir
denyutmu akan terus hidup di laut

3
sepasang sapi dengan lari yang kencang membawaku ke garis
kemenangan
arya wiraraja! perlukan aku menang
aku meloncat dan terjun di lapangan
aku tertidur dan mimpiku aneh,

kuterima piala
berupa sebuah tengkorak
yang dari dalam
berdentang sebuah lonceng

4
sapi! barangkali engkaulah anak yang lahir tanpa tangis
suaramu jauh malam menderaskan kibaran panji
larimu kencang melangkahi rindu sehingga topan senang
mengecup dahimu
jangan mungkir, bulan telah tidur dalam hatimu
bisikmu lirih menipiskan pisau yang akan memotong lehermu
bila kau tak sanggup berpacu lagi
dari hati tuanmu kini terdengar semerbak bumbu

5
soronen itu masih saja ditiup orang
embun terangkat, kaki-kaki mengalir
dari saujana ke saujana
tuhan!
tanah lapang itu tak seberapa jauh

1978
Saronen = serunai untuk mengiringi kerapan sapi di Madura

Tentang D. Zawawi Imron
D. Zawawi Imron lahir di desa Batang-batang, Kabupaten Sumenep, Madura. Setamat Sekolah Dasar ia nyantri di pesantren. Tulisannya pernah dimuat di al. Suara Karya, Berita Buana, Sinar Harapan, Zaman, Horison, dsb. Kumpulan puisinya: Semerbak Mayang (1977), Madura. Akulah Lautmu (1978). Zawawi Imron juga membukukan cerita lisan Madura al. Campaka (1979), Ni Peri Tunjung Wulan (1980) dan Bangsacara Ragapadmi (1980).

Catatan Lain
Benar, saya bersin ketika membolak-balik buku ini, sebab saking berdebunya di rak Hajri. Hehe. Melihat gayanya, buku ini nampak lebih tua dari usianya. Di bagian belakang buku masih tertempel barcode yang menampilkan harga ini buku, Rp.3000,- perak. Begitu membalik cover depan, ada tertulis nama seseorang, mungkin “Soeminto 20 Peb ‘99”. Mungkinkah ini buku yang dipinjam Hajri tapi nggak balik-balikin? Hehe.
Dalam kata pengantar oleh penerbit, hanya disebutkan bahwa penyair berusaha mengangkat hal-hal yang tampaknya sederhana dengan bahasa sendiri. Tampak upaya penyair untuk mengungkapkan diri dan masalah-masalah kemanusiaannya secara orisinil. Di bagian akhir disebutkan bahwa kumpulan puisi ini mengajak kita berkomunikasi dengan dirinya dan sekaligus dengan diri kita sendiri.
Terbagi atas 3 (tiga) bagian, yaitu Nyanyian dalam Jurang (1975-1977/ 16 puisi), Bulan Tertusuk Lalang (1978/ 19 puisi) dan Gunungan (1979-1980/ 22 puisi).

Pos terkait