Bangkalan, Maduracorner.com – “Mon ta’ bengal acarok je’ ngako oreng Madureh (kalau takut duel satu lawan satu jangan ngaku orang madura), masih ada lagi ungkapan Oreng lake’ mate acarok, Oreng bine’ mate arembi’ (laki-laki mati karena carok, permpuan mati karena persalinan), atau ango’an poteya tolang etembeng poteya mata (lebih baik mati daripada menanggung malu). Carok sebagai manifestasi dan realitas sosial seolah telah diterima sebagai kesepakatan umum.
Lebih dari itu, pelaku carok yang berhasil menewaskan lawan tidak disebut pembunuh, melainkan Blater (Jagoan), terutama jika dilakukan secara ksatria berhadapan satu-satu dan sama-sama bersenjata, Bukan menikam musuh dari belakang (Madura : Nyelep). Di zaman sebelum kemerdekaan, carok banyak dilakukan secara ksatria. Namun semenjak dekade 1980, carok lebih banyak dilakukan secara Nyelep (dari belakang) atau massal.
Di Madura, seorang lelaki tako’an (penakut) akan di ledek sebagai manusia yang tidak memiliki empedu. Kaum perempuan pun biasanya menyindir Tako’an ungkapan. ”Sayang sekali aku perempuan, andai memiliki Zakar sebesar cabai rawit saja, aku pasti melakukan carok saja.” Di Pamekasan (Madura Timur). Tako’an dijuluki odi’ ka colo’, Sementara di Bangkalan dan Sampang (Madura Barat) di juluki olle petta. Makna kedua julukan itu sama : orang banyak bicara, suka mengumpat, dan memaki, tetapi pengecut
Carok berkembang menjadi arena reproduksi kekerasan, yang mencatuskan spiral kekerasan baru (carok turunan). Ia diturunkan dari generasi ke generasi melalui sosialisai atau kegiatan ritual. Darah yang belepotan di celurit yang habis dipakai untuk carok Misalnya, akan dijilati pemiliknya bila memenangi pertarungan. Ini manifestasi ungkapan Lokana daging bisa ejei’, Lokana ateh tadhe’ tambanah kajabbah ngero dhere ( Luka badan masih bisa di jahit, tapi sakit hati tiada terapinya kecuali minum darah).
Jadi apa yang disebut-sebut carok sebagaimana dilansir di media, tampaknya belum bisa dipahami seutuhnya oleh para pemberita. Pihak aparat hukumpun tidak pernah menyebut carok dalam aturan hukumnya. Jadi bentuk perkelahian antara dua atau beberapa pihak yang menyambabkan luka atau tewas, merupakan bentuk kriminal. Sedang carok tidak terdapat unsur kriminal pada jamannya, karena semua pihak bersepakat bahwa carok bentuk pertarungan yang dibentuk dalam pemahaman budaya.
Peristiwa carok sudah selesai dan tuntas. Carok telah menjadi legenda dan tidak akan muncul lagi. Namun demikian, tampaknya stigma carok masih saja dimunculkan kembali melalui pemberitaan media. Ini yang menyakitkan bagi orang Madura, yang sangat rentan memunculkan pihak (orang luar Madura) lain, menjustifikasi bahwa kekerasan, kebrutalan, pembunuhan dan makna negatif lainnya di Madura masih saja berlangsung dan berkembang.
Ironis memang, banyak pihak mengikis habis stigma carok untuk mengangkat Madura sebagai wilayah yang bermartabat, namun sisi lain ada pihak yang mengungkit kembali sisi masa lalu Madura menjadi sesuatu yang baru. (tulisan lain: Masih Saja Eksploitasi Carok Dimunculkan)
Penulis: Syaf Anton Wr
By : Jiiddan