Hilangnya Tanah Negara di Pesisir Banyusangka Bangkalan

 HILANGNYA TN PESISIR BANYUSANGKA
Bangkalan, maduracorner.com – Sejak tahun 2014, pesisir utara Madura, dilirik pemerintah provinsi untuk dijadikan zona pengembangan pembangunan strategis. Terutama untuk pembangunan pembangkit listrik dan pelabuhan peti kemas. Tak terkecuali, kawasan pesisir utara Bangkalan.     Para investor baik luar maupun dari dalam Madura yang mengetahui hal itu, berlomba-lomba menanam modal, terutama dengan menguasai lahan yang nantinya bakal menjadi lahan terdampak proyek. Tak jarang, penguasaan lahan tersebut dilakukan dengan cara-cara yang diduga tidak benar.
 
 
Di Bangkalan, kawasan pesisir utara yang dilirik megaroyek, adalah Kecamatan Klampis, Sepulu, dan Kecamatan Tanjung Bumi. Salah satunya adalah Desa Banyusangka di Kecamatan Tanjung Bumi.
   Warga setempat mengungkapkan bahwa saat ini, diketahui kalau perangkat desa setempat telah menguasai lahan seluas 34 hektare di bibir pantai Banyusangka, dengan cara-cara yang tidak benar.
    Mohammad Hafif, tokoh masyarakat setempat menyatakan, lahan itu semula adalah lahan tidur dan statusnya adalah tanah GG atau laha milik negara. Namun, entah bagaimana, sekarang tiba-tiba status tanah itu telah bersertifikat hak milik.
    ’’Warga mengetahui kalau tanah-tanah GG itu dijual oleh perangkat Desa banyusangka, kepada pengusaha di Surabaya. Lalu, sebagian disertifikat sendiri oleh perangkat desa, dipecah menjadi 15 sertifkkat dengan luas bervariasi,’’ ungkap Hafif.
    Agar tak tampak sebagai lahan tidur, ,pengusaha Surabaya itu membangun tambak-tambak di pesisir pantai. Namun, sambung Hafif, tambak itu tidak berproduksi atau hanya dibiarkan saja. Sedangkan sisa lahan lainnya, disertifikat hak milik, atas nama keluarga perangkat Desa Banyusangka. ’’Warga menduga, pencaplokan tanah-tanah negara itu dilakukan untuk dijual lagi, saat di Desa Banyusangka dimulai proyek-proyek besar. Kita mendengar, kalau di Banyusangka akan dibangun PLTU dan pelabuhan,’’ kata Hafif, sambil menunjukkan peta desa dan copy buku letter C desa, yang menyebutkan status tanah GG tersebut.
     Warga, kata Hafif, sudah melaporkan dugaan pencaplokan tanah negera itu ke Kejari Bangkalan. Juga, dugaan kasus-kasus korupsi yang sangat yata terjadi di Desa Banyusangka, dan dilakukan oleh Kepala Desa Setempat. ’’Tapi, laporan yang kami layangkan pada 2016 tersebut, tidak jelas kelanjutannya. Warga yang menanyakan hal itu ke Kejari Bangkalan, selalu di ping pong.
     ’’Kita datang ke Kasie Pidsus, dibilang kasusnya belum sampai ke mejanya. Kita tanya ke Kasie Intel dibilang kasusnya masih terus diselidiki. Pokoknya, selalu begitu, setiap kali kita tanyakan,’’ tukas Hafif. Karena itulah, arga mulai curiga jika Kejari Bangkalan telah main mata dengan perangkat Desa Banyusangka terkait laporan kasus tersebut.
    Warga tak patah arang, dan menyurati Kejati jatim hingga ke Kejaksaan Agung. ’’Pelanggaran dan dugaan korupsi perampokan tanah negara itu sangat nyata dan kasat mata. Harusnya, bisa cepat ditindaklanjuti, seperti yang kasus penjualan tanah kas desa di Kangean Sumenep yang ditangani Kejati Jatim,’’ kata Hafif.
     Bukti-bukti yang disodorkan warga dinilai sudah lengkap. Saksi? Banyak warga yang mengetahui riwayat tanah itu siap bersaksi. ’’Tinggal itikad dari kejaksaan untuk serius menangani kasus perampasan tanah negara seluas 34 hektare ini,’’ tegas Hafif.
    Bila kejaksaan serius, menurut Hafif tak sulit untuk membuktikan penyelewengan tanah negara itu. Jarena buku letter C nya jelas, dan sertifikat atas nama keluarga perangkat desa dengan lokasi di tanah negara itu, juga ada dan masih lengkap. ’’Riwayat tanahnya jelas, letter C-nya jelas, dan sertifikat nya ada. Tinggal kejaksaan serius atau tidak menindaklanjuti laporan warga. Entah kenapa, sampai sekarang kejaksaan hanya mendiamkan saja, meski mengetahui adanya dugaan korupsi besar-besaran di Desa Banyusangka,’’ seindir Hafif.
     Menurut Hafif, sejak beberapa tahun silam, banyak para invenstor dari Surabaya dan juga pemilik modal dari Bangkalan yang mengincar lahan-lahan di sepanjang pensisir utara Bangkalan. Mulai dari Kecamatan Klampis hingga Tanjungbumi. Lahan-lahan warga, tambak yang sudah mati dan tidak produktif, dibeli. ’’Katanya, di utara Bangkalan ini akan ada proyek pelabuhan peti kemas, pembangkit listrik, dan pelabuhan rakyat serta pelabuhan niaga. Proyek itu akan membutuhkan lahan sangtat luas, dan nantinya lahan yang sudah dibeli itu akan dibebaskan oleh negara dengan nilai ganti rugi yang tinggi,’’ ulas Hafif.
    Makanya, menurut Hafif, tak heran jika lahan di pesisir pantai itu sekarang menjadi rebutan. Sebelumnya, tak ada yang berminat untuk memiliki lahan di pesisir laut utara tersebut. ’’Dijual murah pun tidak ada yang mau. Tapi itu dulu. Sekarang, banyak yang hendak membeli lahan-lahan tidur di pinggir laut itu. Mereka mencari lahan melalui kepala desa. Akibatnya, terjadi dugaan penyelewengan dengan terjadinya jual beli lahan yang jelas-jelas statusnya tanah negara dan tanah desa,’’ urai Hafif. (ris)
 
 
Mangkrak di Meja Intel Kejaksaan
Tak hanya soal tanah negara, warga Banyusangka juga melaporkan dugaan korupsi dana desa sebesar Rp 225 juta di Desa Banyusangka. Yakni revitalisasi jalan desa yang selama ini selalu becek di musim hujan dan berdebu di musim kemarau, dibangun menjadi jalan aspal. Namun, kenyataannya, jalan itu hanya diurug dengan tanah dan kerikil, bukan diaspal seperti dalam rancangan proyek.
    ’’Dananya juga bukan dari dari Dana Desa sebesar Rp 225 juta yang dianggarkan. Tapi, sumbangan dari para nelayan pemilik rumpon di Desa Banusangka, sebesar Rp 1 juta per pemilik rumpon,’’ ungkap Hafif. Alhasil, jalan itu tetap becek dan berdebu, serta uang dana desa Rp 225 juta raib.
     Tapi, sambung dia, pelaporan itu mandeg di Kejari Bangkalan. Juni 2016 lalu, warga sudah menanyakan kelanjutan kasus tersebut. Tapi, lagi-lagi hanya jawaban yang diterima mengecewakan warga. ’’Sama saja, kita tetap di ping pong dan tak jelas kelanjutannya,’’ kata Hafif, didampingi Fauzi, tokok masyarakat Desa Banyusangka yang lain.
    Laporan warga itu sendiri, diterima oleh sttaf Intel Kejari bangkalan bernama Mohammad Andra. Namun, pihak Pidsus Kejari Bangkalan menyatakan bahwa belum ada laporan yang terkait dugaan korupsi di Desa Banyusangka yang naik ke meja Pidus. Artinya, kasus itu masih ada di eja Intel.
     Padahal, sampai saat ini jalan yang dimaksud, bisa dilihat kasat mata kalau hanya dibuat dengan urugan tanah dan kerikil. Rencana Anggaran Proyek (RAP) juga jelas menyebutkan jalan itu harusnya jalan aspal. ’’Jalan dengan tanah urug itu, kita taksir hanya menghabiskan anggaran Rp 10 juta saja. Itu pun, dibiayai dari sumbangan warga. Sedangkan yang dilaporkan, jalan tanah itu menghabiskan anggaran Rp 225 juta. Hanya melihat saja, semua pasti tahu kalau jalan tanah itu takkan mungkin menghabiskan dana Rp 225 juta,’’ sergah Hafif.
     Kepala Desa Banyusangka, M Syukur, kepada wartawan pernah mengatakan jika kasus itu sudah tidak masalah. Jalan desa yang dilaporkan warga, menurut Sykur sudah selesai dan tidak ada masalah. ’’Laporan warga itu berbau politis. Tidak ada pekerjaan di Desa Banyusangka yang tidak sesuai. Semuanya sudah disurvey dan sudah selesai,’’ tukas Syukur, seperti dikutip dari media cetak lokal di Bangkalan.(ris)
 
BANYUSANGKA
Banyusangka berada dalam Kecamatan Tanjung Bumi, dibawah naungan pemerintahan admisnitratif Kabupaten Bangkalan. Jaraknya 50 kilometer, ke arah utara Kota Bangkalan. Terletak di daerah pesisir, mayoritas warganya bermata pencaharian sebagai nelayan. Tak heran jika Desa Banyusangka adalah salah satu penghasil ikan laut di Bangkalan. Banyusangka memiliki luas 1,2 kilometer persegi, dengan penduduk sebanyak 3.242 jiwa.    
   Nama Banyusangka berawal dari sebuah perahu dagang yang mendarat di bibir pantai desa tersebut, karena kehabisan air minum. Dalam keadaan putus asa dan dahaga, awak perahu menemukan mata air di bibir pantai. Semula, mereka mengira jika air di pantai itu pasti asin dan tidak bisa diminum. Hingga seorang awak perahu, mengambil air tersebut, dan mencicipinya. Dia terperanjat, karena mata air di pantai itu, adalah air tawar. Dia pun memangggil awak perahu lain untuk minum. Mereka kemudian menamai tempat tersebut dengan Banyu Sangka, atau air yang tak disangka adanya.
     Warga setempat ternyata juga tak menyangka jika mata air di bibir pantai desa mereka selama ini, adalah air tawar. Inilah asal nama Desa Banyusangka, yang dipercaya oleh warga setempat, hingga saat ini.(*)
By : Jiddan

Pos terkait