Kardi

Bangkalan,  maduracorner.com – “Ngala’ karebbhâ dhibi’”(kerap disingkat kardhi), merupakan ungkapan yang disandangkan pada seseorang yang melakukan perbuatan tidak disukai orang lain,  karena perbuatan ini tidak bisa (mau) menghargai pihak lain dan dianggap selain tidak sopan, melanggar etika, juga termasuk sifat egois 
“Kardhi” (maunya sendiri), “menangnga dhibi’” (menangnya sendiri), “mara rèng akento’” / “akento’ sametthona“ (seperti orang berkentut / ngentut seenaknya) “mara elmona tagghuk” (seperti ilmu nabrak)  dikategorikan pribahasa bagi orang melakukan perbuatan semena-mena tanpa memperhitungkan – kerugian – pihak lain.
Sifat-sifat macam ini cenderung tidak kompromis, merasa paling pintar atau sok pitar (ter-mapenter), dan bahkan cenderung membenarkan diri sendiri dengan menyalahkan orang lain. Sifat ini selain “pengko” (mbandel) juga tidak mau diatur sesuai aturan yang ada, “ta’ nyerrep bujha accem” (tidak menyerap asam garam). Jadi yang penting bagi dia “endâ’ odi’ kadhibi’” (mau hidup kehendak sendiri),dan  yang dia miliki tidak mau direcoki, tapi kerap merecoki hak orang lain.
Cara bicarapun “tas-kates” (ceplas ceplos) tanpa mempertimbangkan akibat dari kata-kata atau ucapannya. Pada sisi yang lain, sengaja  atau tanpa sengaja orang ini akan “metta’  buri’ è tengnga lorong”, (menunjukkan dubur (kejelekan) nya sendiri di tempat umum) yaitu membuka aibnya sendiri. Celakanya, bila diketahui dan disebarkan oleh “mat kabhâr” (tukang kabar), celakalah orang tersebut.
Selain itu, sifat ini kerap mengada-ada, dan tidak taat pada realitas yang ada, masa bodoh dengan pihak lain, yang penting “tabu’ dhibi’ berdhâh” (perutnya sendiri paling kenyang), karena memang orang macam ini selalu “ngangghuy mata buta kopèng tengel” (memakai mata buta telinga tuli), akibatnya, suatu ketika nanti akan terjadi “kerrès alompa’ pamorra” (keris melampaui pamornya), karena pada dasarnya dia “kerras ta’ akerres” (hilang ke”sakti”annya). 
Dalam pribahasa Indonesia disebut “Belum bertaji hendak berkokok”, atau “Belum beranak sudah ditimang”. Namun dia tetap berprinsip “Biarkan anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu”
Watak ini memang “ta’ èkennèng ghibâ ka semo” (tidak bisa dibawa untuk bergaul), sebab justru yang membawanya akan dipermalukan sendiri. Namun sebaliknya bagi orang yang “èkennèng ghiba ka semo”  diyakini akan mampu membawa diri dengan baik, sehingga tidak canggung bergaul dengan siapapun, “tao abijâghâ” (tahu kebijakan), “tao dughâ kèra” (tahu menduga-duga) dan “tao temma” (tahu akibatnya). 
Untuk itu marilah kita “apolong bân orèng ngobbhâr dhupa nyopprè melo ro’omma” ( mari kita berkumpul dengan orang yang membakar dupa, agar kebagian harumnya)

Penulis : Syaf Anton

Bersambung ……

Pos terkait