Kisah Gajah dan Orang Buta

Bali, maduracorner.com – Perawakannya cenderung kurus. Tingginya lebih pendek dariku. Sekadar catatan, tinggiku kurang satu sentimeter untuk bisa lolos seleksi masuk TNI  AD. Tutur katanya santun, teduh tapi mengandung semangat yang melimpah ruah. Nama panggilannya Pak Dedi (42th), pria yang sehari-hari menekuni seni lukis ini menuturkan kisahnya selama menjalani hidup sebagai penderita kanker limfona, sejenis kanker darah. Yaitu, sel darah putih yang seharusnya menjaga daya tahan tubuh, menjadi abnormal dengan membelah lebih cepat dari sel biasa atau hidup lebih lama dari biasanya sehingga menumpuk di tubuh. Biasanya menimbulkan efek berupa benjolan/pembengkakan.

Lehernya membengkak (mirip sakit gondok yang bentuknya memanjang) hingga tidak bisa menoleh. Telentang pun tak bisa, makan dan minum harus dilakukan dengan cara duduk atau selonjor di atas tempat tidur. Rasa gatal menyerang hampir di sekujur tubuhnya. Bukan gatal biasa, gatal yang sangat.

Pengobatan herbal yang ia jalani tidak membuahkan hasil. Sementara, bengkak di lehernya tidak menunjukkan tanda-tanda akan berkurang.

Cukup! Saya rasa cukup sebegitu saja gambaran derita Dedi. Tulisan ini bukan fokus pada soal rasa sakitnya, tapi pada karya apa yang telah ia hasilkan selama sakit dan setelah sembuh?

Saat sakit, Pak Dedi menghasilkan sekitar 20 lukisan. Sebagai pengalih perhatian, goresan di atas kanvas sekaligus menjadi pelipur lara dari rasa sakit dan gatal yang menyerang bertubi-tubi. Melukis seperti meminum anggur dari cawan. Membuat ia terlena, tapi tidak mabuk.

Lalu, pertanyaannya, apakah ini disebut derita? Apakah ini cobaan?

Jawabnya, tergantung dari sudut mana kita melihatnya. Derita, ya benar, ia menderita. Cobaan? barangkali seperti itu. Tapi, justru saat sakit itulah Dedi mampu menghasilkan puluhan karya yang belum pernah dihasilkannya saat sehat.

Misal, karya-karya lagu patah hati ciptaan Anang Hermansyah, melejit ketika cerai dengan Krisdayanti. Lagu-lagu Iwan Fals seolah-olah menjadi lagu wajib bagi gerakan mahasiswa saat orde baru berkuasa, saat jadwal manggungnya sering dilarang oleh ABRI (TNI-Polri) karena dianggap makar.

Selain puluhan lukisan, Pak Dedi juga mendapatkan cinta yang berlimpah dari istirnya, Atik yang usianya lebih muda tujuh tahun. Istrinya bertugas mengurus tiga buah hati agar tetap bisa sekolah. Sementara ia berjuang melawan kanker saat berobat ke Guangzhou, Tiongkok.

Saat ini, Dedi dan Atik seperti sepasang muda-mudi yang jatuh cinta. Tak bisa pisah, kemana-mana selalu berdua. Atik selalu membawakan makanan kesukaannya. Tentu saja menu makanan yang tidak dilarang oleh dokter. Co cuwittt…

Ternyata, sepasang kekasih yang hadir hari itu ada tiga. Pak Dedi dan Atik, Pak Purba dengan istri, Pak Jimhur dengan istri. Bahkan, hari itu Bu Jimhur tak henti-hentinya meneteskan air mata ketika Pak Jimhur maju ke podium untuk menceritakan kembali kisah selama melawan kanker.

Hari itu sejumlah profesor kedokteran hadir di aula salah satu hotel di kota Denpasar, Bali. Tanggal 13 Agustus 216. Dua profesor dari Guangzhou, satu profesor asli Bali.  

Profesor asli Bali, profesor I Ketut Sukardika, mantan rektor Universitas Udayana memaparkan pengobatan dengan cara stem cellsStem celldengan akhiran (s), berbeda dengan dua profesor dari Guangzhou yang tidak menggunakan (s), hanya stem cell. Menurutnya, akhiran (s) menandakan bahwa ada beberapa jenis sel punca/induk dalam tubuh kita. Saya tidak paham dengan istilah-istilah kedokteran. Tapi, Prof Sukardika menjelaskan stem cellsdengan menggunakan emoticon,saya jadi sedikit paham, itu pun sedikit sekali, benar-benar sedikit.

Emoticon yang dipakai untuk menggambarkan sel induk/sel punca (nama lain stem cells) berbentuk bulatan mirip wajah manusia dengan memakai topi wisuda. Gambar wajah yang memakai topi wisuda menjelaskan bahwa sistem pengobatan dengan menggunakan sel punca/sel induk merupakan langkah pengobatan yang cukup fenomenal saat ini. Sel ini dinilai bisa mengobati sedikitnya 70 penyakit yang diderita manusia. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai obat dari segela penyakit.

Sel punca/sel induk bekerja sebagai sekumpulan pasukan yang siap melawan sel jahat (baca: sel kanker). Ada yang bertugas sebagai ‘Brimob’ yang siap menyerang, ‘Satpol PP’ yang siap merazia sel jahat, ‘penembak jitu’ yang siap ‘mengeksekusi’ sel jahat.

Meski sudah pensiun dari PNS (pegawai negeri sipil), Prof Sukardika dengan rendah hati menyatakan keinginannya untuk belajar lebih jauh soal pengobatan kanker dan stem cells kepada dua orang profesor dari Guangzhou.Sebuah sikap yang patut jadi teladan. Bahkan, ia bercita-cita menjadikan Bali sebagi pulau pusat kajian dan pengobatan stem cells.Bali the island of stem cells!

Ingin tahu lebih jauh soal stem cells?silahkan tanya langsung ke beliau.

Saya hanya ingin menceritakan perihal pertemuanku dengannya. Selesai acara saya mengampirinya sembari membawa buku Cinta di Kaki Bukit Baiyun. Senyum ramah muncul di sudut bibir tuanya ketika saya mengajaknya untuk ber-swafoto (selfie). Ah, kalimat terimakasih pun ia ucapkan. Sama-sama Prof!

Lalu, apa kaitannya cerita tadi dengan kisah gajah dan orang buta?

Seperti kisah yang sudah sering kita dengar. Alkisah, ada tiga orang buta yang disuruh memegang gajah. Kemudian ditanya satu per satu tengah bagaimana bentuk gajah. Orang buta pertama menjawab, gajah itu lebar dan tipis. Ia memegang kuping gajah. Orang buta kedua menjawab, gajah itu kecil dan panjang. Ia memegang ekor gajah. Orang buta terakhir menjawab, gajah itu tinggi lancip dan keras. Ia memegang gading gajah.

Kita juga buta. Kita tak pernah benar-benar tahu masa depan seperti apa yang akan kita lalui. Maka, saat melalui kehidupan seperti yang dilalui Pak Dedi, Pak Purba, Pak Jimhur dan istriku (alm.) kita anggap saja sebagai anugerah, bukan derita, bukan pula cobaan.

*Penulis buku dan penyunting dimaduracorner.com

 By : Jiddan

Pos terkait