Kobhung, Bangunan Tradisional Masyarakat Madura

Merupakan sentral dari taneyan yang terletak di sebelah barat I By : Nor Hasankobung

Maduracorner.com.Bangkalan – Dalam tatanan bangunan Madura, Kobhung menempati posisi penting. Bangunan ini menjadi pusat taneyan. Hampir semua bangunan keluarga di Madura memiliki Kobhung. Inilah yang unik di Madura. Letaknya rata-rata di sebelah Barat, selain menandakan arah kiblat juga gampang mengawasi keamanan lingkungan keluarga. Diantara fungsi Kobhung, selain sebagai tempat peristirahatan dan berkumpulnya keluarga dan kerabat, juga sebagai tempat menerima tamu dan tempat beribadah keluarga. Yang terpenting – dari sekian banyak fungsi Kobhung– adalah sebagai pewaris nilai-nilai tradisi luhur masyarakat Madura. Nilai luhur yang selalu ditekankan berupa kesopanan, kehormatan, dan agama. Dalam tulisan ini, Kobhung diasumsikan mampu membentuk generasi Madura yang kokoh pada tradisi, memiliki jiwa luhur, hormat dan sopan, serta rasa memiliki yang kuat dan tanggung jawab terhadap tanah air.

 Pendahuluan

Kalau kita berjalan di daerah pedesaan Madura, kita akan menemukan bangunan rumah yang berkelompok. Antar kelompok rumah tersebut biasanya terdiri dari satu atau dua rumah tinggal, langgar – di Pamekasan bangunan langgar disebut pula Kobhung 1)- dan kandang. Tatanan bangunan tersebut biasanya disebut taneyan atau halaman yang dikelilingi rumah dan bangunan lain.

Di pedesaan Madura, bangunan ini (Kobhung atau langgar) hampir dapat dipastikan ada pada setiap kelompok dan sampai sekarang tetap eksis menjalankan fungsinya. Begitu pentingnya bangunan ini sehingga ada anggapan dalam masyarakat Madura bahwa taneyan tanpa Kobhung atau langgar dianggap kurang lengkap, atau dengan istilah lain camplang alias ta’ ghenna’.

Dengan banyaknya bangunan langgar atau Kobhung, Hamka menyimpulkan bahwa bagi masyarakat Madura, langgar tersebut merupakan suatu adat yang utama di samping tradisi-tradisi lain yang belum terbongkar oleh tradisi-tradisi modern pengaruh Barat, yang di daerah lain sudah banyak yang luntur. Misalnya tidak memakai kopiah atau peci jika sembahyang di masjid akan mendapatkan teguran keras atau bahkan dilempari batu.2) Hamka ingin menyebutkan bahwa masyarakat Madura adalah masyarakat religius (muslim) yang sekaligus unik, karena memang bangunanbangunan semacam itu tidak ditemukan di daerah lain. Tampaknya Hamka tidak membedakan antara langgar dan Kobhung, ia cenderung menyamakan fungsi keduanya.

Padahal terdapat perbedaan signifikan antara langgar dan Kobhung. Kobhung –orang Pamekasan menyebutnya, atau langghar kene’ di daerah Madura lainnya- merupakan tempat peristirahatan keluarga, tempat menerima dan penginapan tamu, tempat ibadah keluarga, dan kadang juga tempat berkumpulnya pemuda. Hampir dipastikan bahwa setiap rumah di Madura –baik itu muslim yang taat ataupun tidak—memiliki langghar kene’ atau Kobhung. Sementara langgar adalah sebutan yang dikhususkan sebagai lembaga non formal tempat mengaji Al-Qur’an dan ilmu keislaman klasik

lainnya. Bangunan ini ada di rumah kiai atau guru ngaji.

Bagi Masyarakat Madura tempo dulu3), Kobhung memiliki arti penting dalam kehidupannya, tidak hanya berfungsi sebagai tempat peristirahatan dan berkumpul keluarga, menerima tamu, dan tempat ibadah, tetapi juga tempat pewarisan nilai-nilai luhur masyarakat Madura dan membentuk generasi Madura yang kokoh pada tradisi, memiliki jiwa luhur, hormat dan sopan, serta rasa memiliki yang kuat dan tanggung jawab terhadap tanah air.

Sekarang bangunan ini mengalami pergeseran fungsi (shifting function), yaitu lebih berfungsi sebagai tempat istirahat dan berkumpulnya para pemuda.

Kobhung dalam Perspektif

Berbeda dengan surau, sejarah langgar dan Kobhung tidak banyak diketahui. Namun demikian, sejarah langgar tersebut dapat ditelusuri dari sejarah surau itu sendiri, mengingat fungsi keduanya sama. Secara linguistik surau berarti “tempat” atau “tempat ibadah”. Jadi suarau adalah sebuah bangunan kecil yang aslinya dibangun untuk menyembah nenek moyang. Oleh karena itu bangunan ini pada awalnya didirikan di atas tempat yang paling tinggi atau setidaknya lebih tinggi dari bangunan lain. Bangunan semacam ini banyak ditemukan di desa, sehingga ia berkaitan dengan kebudayaan desa meskipun dalam perkembangannya surau juga banyak ditemukan di kota 4)

Meminjam istilah Gazalba, surau atau langgar yang mula-mula merupakan unsur kebudayaan asli, setelah Islam masuk maka surau tersebut diklaim menjadi bangunan Islam,5) yang kemudian fungsinya bukan lagi hanya sebagai tempat peristirahatan, berkumpul keluarga dan bermusyawarah, tetapi juga sebagai lembaga pendidikan non formal yang mengajarkan ilmu-ilmu agama dan tempat mengaji.

Bertolak dari pendapat Gazalba tersebut, maka Langgar dan Kobhung sangat dimungkinkan sudah ada sebelum orang Madura mengenal Islam,6) karena pada realitasnya hampir dipastikan semua rumah di Madura terdapat Kobhung.7) Dengan kata lain, Kobhung merupakan kebutuhan masyarakat Madura, karena di samping berfungsi sebagai tempat beribadah, beristirahat, dan menerima tamu Kobhung juga dibutuhkan pada saat anggota keluarga Madura meninggal –kata orang Madura ada kifayah untuk menshalatkannya.

Dilihat dari sisi letaknya, Kobhung dalam tatanan bangunan Madura menduduki posisi penting, ia merupakan sentral dari taneyan yang terletak di sebelah barat dengan menghadap ke Timur, diikuti bangunan rumah di samping utara menghadap ke selatan dan dapur di sebelah selatan berhadapan dengan rumah. Disamping dapur –di sebelah kiri atau kanan— biasanya terdapat kandang sapi atau kambing8. Dari Kobhung inilah seluruh halaman rumah dapat diawasi. Bagi orang Madura taneyan itu dikatakan lengkap jika memiliki Kobhung. Itulah sebabnya mengapa kemudian masyarakat Madura berusaha – istilah Madura ja ngaja  membangun Kobhung.

Kobhung juga merupakan tempat pemisah antar anggota keluarga. Langgar (Kobhung) atau pemisah yang lain (seperti tanaman belukar, dinding kayu) menjadi pertanda (tandeh) bahwa suatu keluarga telah memiliki taneyan sendiri.

Jika dilihat dari aspek arsitekturnya, langgar (Kobhung) berbentuk bangunan berkolong dengan kontruksi kayu jati.9) Atapnya berbentuk kampung dengan penutup genteng. Atap emperan di depannya terdapat lantai kolong yang lebih rendah dari lantai utamanya, kesan demokratis di dalamnya tampak10) karena bangunan ini terbuka. Kobhung (langgar) memberikan gambaran khas bagi masyarakat Madura yang memiliki sifat terbuka dan gampang beradaptasi dengan orang lain dan masyarakat lingkungan sekitarnya.

Biasanya orang-orang yang tinggal di langghar (Kobhung) adalah bapak dan anak laki-laki yang cukup umur. Ini menggambarkan bahwa seorang bapak merupakan kepala keluarga yang harus bertanggung jawab atas keluarga, menjadi penjaga keamanan baik keamanan anggota keluarga maupun keamanan lingkungan sekitar. Sementara anak laki-laki merupakan pewaris bapak yang akan menggantikan posisi bapak dan sebagai calon kepala keluarga yang tugasnya kelak sama dengan bapak.

Kobhung: Tempat Pewarisan Nilai

Fungsi langgar (Kobhung) selain tersebut di atas justru yang paling urgen adalah sebagai pewaris, pelestari, dan penerus nilainilai lama Madura. Nilai-nilai dimaksud sebagaimana tersirat dalam “Babhurughan Becce’” (Nasehat terpuji) yang masih relevan dan harus diperhatikan sebagai jatidiri Madura, seperti:

Ghaghaman (Sandjhata otaba sekebbha manossa) Sekebbha oreng anabarna: “Kerres, tombhak, peddhang, djambija, badiq, lantjoradjam ban salaenna” Kep-sekep se ella kasebboet e atas djarejakabbhi tadaq se bhagoessa ngongkole so kep-sekep se esebbhoetaghi e baba reya:

Tello parkara areja kodhoe e djaga: djila, adhat, kalakowan.
Tello parkara areja kodhoe ekaandhiq: ate sattja (esto), ate sottje, djodjoer.
Tello parkara reja kodhoe e kabhadjhiqi: mangghaqan, nespa, taq andiq panarema.
Tello parkara reja kodhoe e pejara (eomesse): bakto badja, pesse, kabarasan.
Tello parkara areja kodhoe e hormati (e adjhiqi): omor, oewet (ondhang naghara), aghama.11)

(Senjata (Senjata atau pedoman berperilaku manusia) Senjata manusia bermacam-macam: “keris, tombak, pedang, jambiya, badik, celurit, dan lainlain.

Senjata-senjata yang telah disebut diatas, tidak ada yang mengungguli pedoman berperilaku yang akan disebut dibawah ini:

Tiga perkara yang harus dijaga: lidah, adat, tingkah laku,
Tiga perkara yang harus dimiliki: hati tulus, hati suci, dan sikap jujur,
Tiga perkara yang harus dibenci: sifat tega, rendah diri, tidak pernah puas,
Tiga perkara yang harus dipelihara (diperhatikan): waktu, uang, dan kesehatan,
Tiga perkara yang harus dihargai: umur, undang-undang negara, agama, )

Pewarisan nilai melalui langgar atau Kobhung tersebut setidaknya mengarah pada sifat dan karakter manusia Madura yang meliputi etika kesopanan, hormat, dan agama.

____________________________________________________________

1)    Terdapat beberapa istilah yang dikenal oleh masyarakat Madura khusunya Pamekasan, antara lain masjid, langgar (surau sebutan Minangkabau, meunasah bagi orang Aceh), mushalla, dan kobung. Bangunan-bangunan tersebut memiliki kesamaan sekaligus perbedaan-perbedaan dalam fungsinya. Kobung pada dasarnya berfungsi sebagai tempat menerima tamu, berkumpul keluarga, bermusyawarah, tempat tidur pemuda yang belum kawin atau orang tua yang sudah udzur, sekaligus tempat pewaris nilai-nilai (tradisi) luhur Madura. Sementara  langgar merupakan tempat mendidik anak-anak Madura belajar ngaji al-Qur’an dan kitab-kitab klasik. Langgar lebih berfungsi sebagai lembaga pendidikan Islam non formal. Biasanya langgar terdapat di rumah-rumah kiai atau guru ngaji kemudian berkembang menjadi pesantren.
2)    Hamka, Dari Perbendaharaan Lama (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), hlm., 15
3)    Istilah tempo dulu merujuk kepada pemahaman masyarakat Madura Konah (Kuno, klasik). Salah satu distingsi antara masyarakat Madura Konah dengan kalangan masyarakat Madura kontemporer (ngodadhan/kawula muda) adalah keterkaitannya kepada tradisi. Kalangan tua memegang erat dan fanatik pada tradisi, sementara kalangan muda –terutama era hasil didikan Orde Baru—kurang memperhatikan atau bahkan abai terhadap tradisi. Periksa Edi Susanto, “Revitalisasi Nilai Luhur Tradisi Lokal Madura”, Karsa Vol. XII, No. 2, Oktober 2007, hlm., 97.
4)    Azyumardi Azra, Surau Pendidikan Islam Tradisional Dalam Transisi Dan Modern, (Jakarta: Logos, 2003), hlm., 47
5)    Sidi Gazalba, Mesjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam (Jakarta: Pustaka Al Husna, 1994), hlm., 314
6)    Belum ditemukan catatan tertulis mengenai sejarah langgar (kobung) masa pra Islam, namun pada masa Islam catatan tentang langgar (kobung) banyak diketemukan, di Pamekasan misalnya Langgar Gajam didirikan pada tahun 1680 oleh Kiai Sidik Abdul Halim di kampung Gajam Desa Jamburingin Proppo, lihat Kutwa, Pamekasan Dalam Sejarah (Pamekasan: Pemda Pamekasan, 2004), hlm., 68-69. Sebelumnya telah berdiri pondok pesantren di Pamekasan, –dimungkinkan sebagai pesantren tertua di Pamekasan– adalah pesantren BhareLeke (belum diketahui tahun berdirinya) dan Pesantren Sumber Anyar yang berdiri sekitar tahun 1515, periksa Moh. Kosim, Pondok Pesantren di Pamekasan Pertumbuhan dan Perkembangan (Pamekasan: P3M STAIN Pamekasan, 2002). Sekalipun sederhana pesantren tersebut dimungkinkan memiliki langgar sebagai sentra kegiatan. Bandingkan dengan Nor Hasan, Pondok Pesantren Sumber Anyar Larangan Tokol Tlanakan Pamekasan Madura (Studi tentang Pengaruh Pondok Terhadap Masyarakat Sekitarnya (Skripsi) (Surabaya: Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel, 1991) Di Pondok Pesantren Sumber Anyar  terdapat satu langgar yang sampai sekarang terkenal dengan sebutan langghar raja
7)    Istilah Kuntowijoyo Surau, karena di Madura polapemukimannya berbeda dengan di Jawa yang memiliki desa terpusat dengan sawah di sekelilingnya. Sementara di Madura, desa terdiri dari satuan kampong Mejih, yaitu bangunan rumah dalam satu pekarangan yang terdiri dari empat atau lima keluarga yang masih saudara (taneyan lanjang). Di luar kampong Mejih itulah masyarakat membangun tegal dan galengan air (somor) sebagai penahan air di musim hujan. Lihat Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura (Jogyakarta: Mata Bangsa, 2002), hlm., 588-589
8)    Untuk orang Madura tempo dulu memelihara sapi atau kambing merupakan simbol status sosial. Semakin banyak sapi atau kamping yang dipelihara, menunjukkan semakin kaya (oreng sogi) dan status sosial meningkat. Sementara memelihara kambing adalah sebagai itba’ Rasul (?). Hal ini sekaligus merupakan hipotesis bahwa orang Madurasungguh tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai keislaman.
9)    Kayu yang digunakan bangunan ini disesuaikan dengan kemampuan si empunya, bisa terbuat dari kayu jati atau kayu yang lain bahkan dari bambu.
10) Zein M. Wiyoprawiro, Arsitektur Tradisional Madura Sumenep (Surabaya: Laboratorium Arsitektur Tradisional FTSP ITS, 1986), hlm., 91.
11) Dikutip dari makalah Edi Setiawan, Menegakkan Kembali Citra Madura Antara Citra, Realita dan Tantangan, makalah disampaikan pada acara Kongres Kebudayaan Madura, Songenep 9-11 Maret 2007.

Judul asli : Kobhung, Bangunan Tradisional Pewaris Nilai  Masyarakat Madura Tempo Dulu, sumber: KARSA, Jurnal Budaya dan Sosial Keislaman, Vol. XIII No. 1 April 2008, http://karsa.stainpamekasan.ac.id

Tulisan diatas menyalin dari :  Lontar Madura

Pos terkait