Lari Mengejar Bis Kota (Kisah Penderita Kanker Bagian 4)

Buyung

GUANGZHOU, Maduracorner.com – Hari jumat, pertengahan Maret 2015, kami bertiga berlari mengejar bis kota untuk kembali ke rumah sakit. Saya, Pak Robi, ‘Mas’ Priyo (lebih tepat dipanggil ‘pak’ karena usianya 15 tahun lebih tua dari saya). Wajahnya memang kelihatan jauh lebih muda dibanding usianya, tanpa kumis dan brewok membuat usianya yang sudah menginjak 47 tahun jadi tidak kentara. Bandingkan dengan wajah striker kesebelasan Chelsea, Diego Costa yang baru berusia 26 tahun namun terlihat jauh lebih tua karena wajahnya dihiasi banyak bulu.

Udara dingin berpadu dengan kuatnya hembusan angin tak menghalangi semangat kedua bapak-bapak itu berlari mengejar bis kota di Guangzhou mendahuluiku yang sudahngos-ngosan. Sensasi naik bis di Guangzhou menawarkan rayuan yang sulit untuk ditolak, bapak-bapak sekalipun. Bagaimana tidak, meski tidak baru, bis kota di Guangzhou relatif tertata rapi dan teratur. Bis kota menjadi transportasi favorit karena murah dan nyaman. Posisi tempat duduk yang relatif lebih luas, terdapat tempat kosong untuk difabel, dan bebas dari asongan menjadi pelengkap yang semakin sayang untuk dilewatkan.

Itulah kenapa, kami bertiga rela berlari-larian untuk mengejar bis kota untuk kembali ke rumah sakit setelah sholat jumat di masjid Huaisheng, masjid tertua di Guangzhou bahkan di Cina. Sebelum bercerita mengenai nyamannya bis kota di Guangzhou, marilah sejenak menyimak cerita sebelum kami berlarian mengejar bis kota.

Kami tiba di depan pintu masuk masjid Huaisheng pukul 12 siang (sholat jumat baru dilaksanakan pukul satu siang), saya masih ragu bahwa bangunan di dalamnya adalah masjid. Tulisan Cina di atas pintu masuk justru lebih mengingatkanku pada pintu masuk bangunan klenteng Eng An Bio di Bangkalan, Madura. Selain tulisan Cina, terdapat kertas putih di pagar masjid bertuliskan larangan memberi uang kepada pengemis atau orang-orang yang berpura-pura mengemis dalam tulisan Cina disertai terjemahan bahasa Inggris. Masuk ke bagian beranda hingga pelataran masjid, sentuhan tradisi Cina masih sangat kental terlihat pada bangunan masjid. Barulah ketika menengadah ke salah satu atap di komplek bangunan masjid nampak kubah dengan lambang bulan sabit di pucuknya.

72864_10202359471440817_1725281070_n

Konon, masjid Huaisheng didirikan oleh paman nabi Muhammad SAW yang juga salah satu penyebar Islam di Cina, Saad Bin Abi Waqqas pada abad ke tujuh Masehi. Nama Huaisheng berarti Rindu Rasulullah. Selain dinamai masjid Huaisheng, masjid ini juga dinamai masjid mercusuar atau menara api karena di komplek masjid terdapat bangunan setinggi 36,3 meter berbentuk silinder dengan kubah khas Arab di pucuknya. Bangunan ini digunakan untuk menyerukan adzan sekaligus sebagai penunjuk arah bagi kapal yang berlayar di sungai Mutiara yang letaknya tidak jauh dari Masjid.

1608486_10202353545532673_247373247_n

Setelah sholat sunah tahiyatul masjid, adzan berkumandang menandai dimulainya sholat jumat. Khotib mulai berkhotbah, pada awal pembuka khotbah tidak beda dengan yang dibaca khotib saat sholat Jumat di Bangkalan, Madura. Barulah ketika masuk pada materi khotbah, khotib menggunakan bahasa Mandarin dengan sesekali menyematkan ayat suci Al-Qur’an untuk menguatkan materi khotbahnya. Bilal pada sholat jumat di masjid ini melakukan dua kali adzan.

1601305_10202359472160835_731636898_n

Khotibnya bermata sipit, dengan hidung dan warna kulit sama dengan warga Guangzhou umumnya. Tetapi, jamaahnya justru beragam mulai dari berkulit legam, sawo matang hingga kulit putih Timur Tengah. Bahkan ada sejumlah remaja yang saling berbicara menggunakan bahasa Jawa. Ternyata mereka adalah siswa setingkat SMA yang belajar di Guangzhou, ada satu siswa yang berasal dari Jepara (tonggo dewe iki = tetangga sendiri ini) sapaku padanya.

156393_10202359473200861_600340498_n

Di luar masjid, seusai sholat Jumat, hidung para jamaah disambut dengan bau sate kambing yang sedang dibakar di atas tungku. Perut lapar disertai udara dingin membuat keinginan untuk membeli sate kambing hangat menjadi berlipat. Satu tusuk sate dihargai 10 Yuan atau setara dua puluh ribu rupiah (kurs 1 Yuan = Rp.2000). Kok mahal? memang, tapi jangan dulu bayangkan tusuk satenya seperti tusuk sate yang biasa kita temui di Madura. Tusuk satenya berupa besi pipih tahan karat sama panjangnya dengan penggaris waktu sekolah dasar dengan lebar sekitar 3 sentimeter. Lumayan, tubuh jadi sedikit hangat setelah menyantap satu tusuk sate kambing.

Tubuh bertambah hangat ketika kami berlari mengejar bis kota. Oh iya, tarif bis kota di Guangzhou jauh-dekat sebesar 2 Yuan (sekitar empat ribu rupiah). Bedakan dengan naik taksi dari jarak yang sama, kita harus mengeluarkan biaya sekitar 30 Yuan (sekitar enam puluh ribu rupiah). Uang 2 Yuan dimasukkan ke dalam kotak yang sudah tersedia di dekat sopir bis kota tanpa disediakan kembalian karena tidak ada kondektur bis. Bagi warga lokal, mereka tinggal menempelkan kartu ke mesin yang juga berada di dekat sopir (e-ticket).

Layaknya anak remaja yang berhasil ‘nggandol’ truk atau mobil pikap saat pulang sekolah, kami berbincang di dalam bis dengan ekpresi wajah semringah. Begitu nyamannya kami bertiga saat naik bis kota, seolah-olah mengingatkanku pada perkataan bahwa ‘lelaki tidak pernah dewasa, selalu jadi anak-anak’. Horeee asyik!

Lalu, bagaimana proses pengobatan yang dijalani oleh pasien kanker di Rumah Sakit Modern Guangzhou? Akan diulas pada tulisan berikutnya.

Penulis : Buyung Pambudi

By : Jiddan

Pos terkait