Pati, maduracorner.com – Saya ingat betul waktu masih remaja dulu pernah ikut menyaksikan pembunuhan terhadap tiga ekor ular berukuran cukup besar di rumah kelahiranku, dukuh Rames, desa Sukoharjo kecamatan Wedarijaksa, kabupaten Pati, Jawa Tengah. Satu ekor ular pertama dibunuh karena memakan ikan-ikan lele yang ada di tiga kolam sekitar rumah. Ular yang dibunuh adalah ular sawah, kami menyebutnya ulo kadud (kadud-Jawa = karung goni-Indonesia), dinamai seperti itu karena ular tersebut digambarkan mirip dengan karung goni, yakni berukuran besar dan berwarna coklat.
Pembunuhan terhadap ular yang kedua terjadi ketika ada ular kobra hitam berukuran cukup besar mengeluarkan suara mendesis yang naik ke atap rumah pada malam hari. Dengan bantuan tetangga, ular kobra tersebut ditembak mati dengan senapan angin.
Pembunuhan terhadap ular yang ketiga terjadi ketika ada ular kembang masuk ke dalam rumah pada siang hari. Ular tersebut ukurannya cukup besar dengan perut yang nampak menggelembung setelah menyantap seekor tikus. Bapakku membunuh ular tersebut dengan sebatang kayu lalu membuangnya ke area persawahan berjarak sekitar 50 meter dari rumah.
Waktu usiaku masih anak-anak dan remaja, sawah merupakan pusat ekonomi di desaku. Saya masih ingat sebelum kuliah saya sempat bekerja menjadi kuli bersih-bersih daun tebu kering sehabis tebang/panen tebu ke salah satu juragan di desaku. Sawah yang subur ditunjang pengairan yang teratur dari waduk di pegunungan Muria membuat pertanian di desaku sangat baik. Tetapi, seperti petani-petani di tempat lain, hasil melimpah dari sawah tidak bisa menjamin kesejahteraan bagi petani. Panen yang melimpah ternyata tidak bisa menutupi biaya selama pembenihan, perawatan hingga biaya membayar kuli saat panen. Harga gabah dan tebu selalu anjlok saat musim panen/tebang tiba.
Istilah tebang, biasa digunakan petani di desaku untuk penyebutan panen pada lahan persawahan yang ditanami tebu. Panen dilakukan dengan menebang tebu. Selain terkenal sebagai penghasil kacang (dua pabrik kacang raksasa, kacang Garuda dan kacang Dua Kelinci berpusat di Pati), di kabupaten Pati juga terdapat dua pabrik tebu legendaris yang dibangun pada masa kolonial.
Perlahan tapi pasti, para petani harus menjual petak demi petak sawah warisan leluhurnya untuk menyambung hidup atau sekedar menutup hutang-hutang yang semakin menggunung. Sementara itu, juragan desa semakin makmur dengan bertambahnya pundi-pundi aset berupa lahan sawah yang dijual para petani miskin tersebut.
Setelah lulus madrasah Aliyah (setingkat SMA), saya kuliah di Surabaya lalu merantau ke Madura karena tuntutan tugas sebagai seorang jurnalis. Belasan tahun kemudian saya mudik ke Pati untuk sungkem ke Bapak.
Tahun 2010, saat mudik lebaran, salah satu pamanku bercerita tentang tanah di sawah miliknya yang semakin mengeras dan tidak subur lagi. Penggunaan pupuk kimia berlebihan dan pestisida kimia untuk membunuh hama menjadi dua penyebab utama. Aliran irigasi dari bendungan juga tidak selancar dulu, karena debit air di waduk sudah menyusut seiring penebangan brutal yang membabat habis hutan jati di sebelah barat desa.
Pengairan pun harus dilakukan dengan pengeboran ke dalam tanah. Pengeboran tanah untuk pengairan jelas berdampak negatif. Bukti sederhananya adalah sumur tradisional yang biasa kupakai untuk mandi sejak kecil, berubah menjadi kering kerontang. Kini, ayahku pun terpaksa ikut mengebor tanah untuk mendapatkan air kebutuhan sehari-hari.
Karena kesuburan tanah terus berkurang, petani pada tahun itu mulai menggunakan pupuk organik, mengurangi penggunaan pupuk kimia dan pestisida. Untuk menghemat biaya, petani di desaku juga menggunakan kotoran sapi, kambing dan bahkan kotoran manusia untuk menyuburkan kembali tanah sawah.
Lima tahun berselang, Minggu (19/7/2015) saya mudik lagi bersama istri, anakku. Kami ikut rombongan keluarga kakakku yang tinggal di Sidoarjo. Selain sungkem ke Bapak, saya juga menyempatkan diri untuk badan (lebaran) ke rumah paman-paman dari saudara almarhumah ibuku. Almarhumah ibu merupakan delapan bersaudara dengan rincian dua perempuan dan enam laki-laki. Semuanya mendapatkan warisan tanah untuk ditinggali dan beberapa petak sawah sebagai mata pencaharian dari kakek-nenekku.
Pak de (paman tertua) bercerita tentang masalah yang sedang dihadapinya saat ini. Hampir semua petani di desaku mengeluhkan hama padi dan tebu yang sering menyerang, terutama saat mendekati musim panen/tebang. Hama tersebut adalah hama tikus sawah yang ukurannya cukup besar.
Tikus mengerat batang padi dan tebu di bagian bawah. Akibatnya, banyak tanaman padi dan tebu yang roboh dan mati. Padahal, tanaman padi dan tebu tersebut sudah mendekati masa panen/tebang. Dari cerita pak de, tikus sepertinya hanya iseng dengan mengerat batang padi maupun tebu. Bagaimana tidak iseng, kalau tikus memang benar-benar lapar, kenapa tidak memakan satu batang tebu hingga habis agar bisa kenyang? Kelakar pak de.
Berbagai upaya dilakukan petani untuk membasmi hama tikus iseng tersebut. Mulai dari membeli jebakan tikur yang harga satu jebakan tikus termurah 25 ribu rupiah. Satu petak sawah biasanya membutuhkan lebih dari 6 jebakan. Atau dengan cara memasang seng di sekeliling sawah agar tikus tidak masuk. Satu meter seng, petani harus mengeluarkan biaya 50 ribu rupiah.
Jika ditotal secara kasar, petani harus mengeluarkan biaya lebih dari 300 ribu rupiah hanya untuk mengatasi hama tikus. Biaya tersebut jelas kembali menambah beban petani yang baru bisa bernapas sejenak setelah tanah sawah sudah mulai subur dengan pemberian pupuk alami beberapa tahun terakhir.
Di sela-sela cerita pak de, saya jadi ingat pada peristiwa pembunuhan tiga ekor ular berukuran besar yang terjadi saat usia remajaku dulu. Ular-ular masuk ke pekarangan rumah diantaranya karena habitat alaminya sudah tidak nyaman lagi. Ular-ular tersebut akhirnya keluar dari sarangnya dan masuk ke area pemukiman. Warga yang parno dengan keberadaan ular-ular tersebut akhirnya membunuhi ular-ular tanpa peduli akibatnya di masa yang akan datang. Ular sebagai musuh alami tikus semakin hari semakin berkurang. Berkurangnya jumlah pemangsa tikus, jumlah tikus pun bertambah pesat. Kerugian petani yang disebabkan oleh hama tikus bisa mencapai jutaan rupiah dalam satu petak sawah.
Jika kita digigit ular, setidaknya kita harus mengeluarkan biaya sekitar 600 ribu rupiah untuk membeli serum anti-bisa ular. Itu kalau kita tidak memiliki kartu asuransi semisal kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat atau Jamkesmas yang disediakan pemerintah saat ini. Kita bisa berobat gratis ketika digigit ular berbisa. Biaya 600 ribu tersebut saya ketahui ketika anak dari wartawan JTV Madura yang ditugaskan di Bangkalan digigit ular berbisa saat pulang ngaji. Ketika di RSUD Bangkalan, ia harus menebus obat anti-bisa ular seharga 600 ribu rupiah di apotek.
Membunuh ular ternyata jumlah kerugiannya jauh lebih besar dibandingkan dengan kerugian yang ditimbulkan akibat gigitan ular berbisa. Ayo, mulai sekarang jangan membunuh ular! Ketika anda berpapasan dengan ular berbisa, hindari saja atau pindahkan ke habitat aslinya.
Penulis : Buyung Pambudi