Bangkalan, maduracorner.com – Madura, aku lah darahmu… Dalam judul puisi yang dilontarkan budayawan D. Zawawi Imron. Lontaran itu membuat generasi muda Madura terus mempunyai semangat hidup. Madura bukan hanya sebatas nama, tapi madura sudah menjadi bagian dari jiwa dan raga.
Madura dulu, Madura sekarang dan Madura yang akan datang tentu akan tetap sama. Sama pulaunya, sama garamnya, sama kerapan sapinya, sama sotonya, dan sama satenya. Di masa yang akan datang yang sudah pasti berganti: dari yang tua ke yang muda.
Tapi, kalau sistem politik di Madura sepertinya akan tetap sama. Sama tetap ada dalam “tangan” kiyai dan blater. Dalam bukunya Abdur Rozaki yang berjudul “Manabur Karisma” kiyai dan blater sama-sama mempunyai kekuatan, baik di politik maupun di dalam civil socity. Sehingga ketergantungan dalam politik masih akan kuat terhadap dua tokoh sentral tersebut.
Kiyai dan blater di Madura masih disegani. Selain itu, kiyai dan blater juga memiliki sumber kekuasaan. Sebab, kiyai dianggap memiliki kewibawaan dan simber ekonomi yang kuat.
Sementara blater, sebagai sosok yang yang disegani oleh masyarakat karena keberaniannya. bagi masyarakat madura bagian timut bukan disebut blater tapi “bejingan”. Mungkin masyatakat Madura bagian masih kurang kenal dengan sebutan blater. Tapi bagi para ilmuan menggunakan kata blater untuk menceminkan seseorang yang “hebat” dengan hal sering memenangkan carok.
Hegemoni (gramsci) dalam politik di Madura masih tetap dikuasai dua kelompok besar masyakat tersebut. Memang dua kelompok tersebut mempunyai dimensi yang berbeda, punya metode yang berbeda dalam berpolitik.
Misalnya, bupati, kepala desa dan anggota legislatif di Madura dikuasai oleh dua kelompok besar tersebut. Dari 4 bupati di Madura diusung oleh para kiyai. Bangkalan diusung oleh para kiyai terutama bani kholil pada saat pencalonan. Sampang yang bupatinya kiyai maka sudah pasti diusung oleh para kiyai. Bupati Pamekasan miskipun bukan keturunan kiyai tapi langsung didukung para kiyai. Apalagi Bupati Sumenep, kiyai yang juga mendapat dukungan para kiyai.
Sementara itu, ditataran kepala desa, mayoritas dikuasai tokoh blater. Sedangkan saat ini mayoritas anggota legislatif mendapat dukungan dari dua kelompok (kiyai dan blater). Dengan demikian, jika ingin menjadi bupati, kepala desa dan wakil rakyat maka dua tokoh tersebut harus mendukungnya. Sehingga Madura ini berada di genggaman para kiyai dan blater.
Memang Madura bukan milik kiyai dan blater, tapi Madura kini “dikuasai” dua kelompok masyarakat tersebut. Kemungkinan di masa yang akan datang hegemoni politik itu masih akan berlangsung. Sebab, kedua kelompok tersebut semakin mengakar di masyarakat.
Madura memang bukan milik kelompok, tapi Madura mempunyai kelompok di dalam masyarakat. Solidaritas antar kelompok masih sangat kuat bahkan semakin mengakar. Sehingga sangat sulit untuk menghilangkan kekuatan dua kelompok tersebut. Tapi semuanya, bisa jadi “mungkin” berubah. Fenomina tentu juga akan bergantung pada seleksi alam.
Madura adalah kita, sementara kita adalah Madura.
Penulis : Sairil Munir
By Jiddan