Proses penjamasan pusaka Kraton Sumenep yang digelar di Desa Aeng Tong-tong.
SUMENEP, MADURACORNER.COM- Desa Aeng Tong-tong, Kecamatan Saronggi, Kabupaten Sumenep dikenal dengan “Kampung Keris”. Pasalnya, para empu keris banyak dilahirkan di desa yang terdiri dari Dusun Duko, Gendis, dan Endenah tersebut.
Pada 2012 Badan Khusus PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan (UNESCO) mengakui jumlah empu di Sumenep terbanyak di Asia Tenggara.
Jumlahnya mencapai 524 orang. Dari jumlah itu, 80 persen tinggal di Desa Aeng Tong-tong. Sisanya tersebar di Desa Pore, Talang, Palongan dan Aeng Bejeh. Setahun setelah pengakuan itu, pemerintah Sumenep mendata ulang jumlah empu.
Jumlahnya mencapai 648, lebih banyak dari hitungan UNESCO. Tak heran, ketika perayaan hari jadi Sumenep, 31 Desember 2013, Bupati Sumenep, KH Busyro Karim mendeklarasikan Sumenep sebagai kota keris.
Abdus Siddik (37) salah satu empu keris di Desa Aeng Tong-tong menuturkan, setelah ditetapkan sebagai kota keris banyak wisatawan yang berkunjung. Bahkan, turis asing juga datang hanya untuk melihat proses pembuatan keris.
“Dua politikus yang juga kolektor keris, pernah berkunjung kesini. Pak Hasto (Sekjen PDI Perjuangan) dan Fadli Zon (Wakil Ketua DPR),” kata Siddik.
Meski mayoritas warga Dusun Duko pandai membuat keris, namun saat ini tidak ada empu yang punya keahlian lengkap. Keahlian lengkap itu, pernah dimiliki seorang empu bernama Murka’ yang meninggal 2015. Karena keahliannya itu pada 2013, pemerintah memberi penghargaan “Maestro Seni Tradisional” kepada Murka’.
Sayang, setelah meninggal, tak banyak keris karya empu Murka’ yang tersisa di rumahnya. Satu-satunya yang tersisa hanya keris berpamor singo barong, ukuran jumbo dan beratnya hampir tiga kilogram. Ada juga mata trisula dan empat buah keris kecil.
“Ada kenalan bilang di salah satu museum di Jakarta, ada keris karya bapak saya,” imbuh Larip Efendi (42), putra kedua empu Murka’.
Murka’, kata Larip, mulai belajar membuat keris sejak 1963 saat berusia 20 tahun. Keris yang dibuat juga bukan sembarangan. Karena sebelum membuat ia biasanya melakukan tirakat. Pembuatan satu keris juga memakan waktu yang cukup lama, antara 8 bulan sampai 1 tahun.
“Keris buatan bapak tidak untuk komersiil,” ujarnya.
Di kampung Duko kebanyakan bekerja sendiri-sendiri. Ada yang disamping rumah, tapi kebanyakan memanfaatkan teras rumah atau dapur. Para empu juga tidak eksklusif, mereka senang berbagi ilmu jika ada yang ingin belajar.
Salah satu empu yang disepuhkan di Desa Aeng Tong-tong Moh Anwar (75) menjelaskan, sejarah keris di Sumenep, tidak lepas dari sosok empu Kelleng yang hidup pada awal-awal Keraton Sumenep. Kelleng konon punya kesaktian luar biasa.
Saat akan membuat keris ia harus menjalani ritual puasa 123 hari. Puasa dilakukan untuk mencari wangsit dan bahan keris.
“Ia akan meneteskan air ke pasir setiap 40 hari hingga pasir itu menjadi logam,” kata Anwar.
Singkat cerita, keahlian empu Kelleng kemudian diwariskan kepada Joko Tole. Joko merupakan anak angkat Kelleng. Menurut cerita, Joko sebenarnya anak keturunan raja. Namun sejak lahir ia dibuang ke hutan.
Ketika dibuang itu, Joko ditemukan oleh Kelleng dan langsung diangkat menjadi anak sekaligus murid. Semua ilmu yang dimiliki Kelleng diwariskan ke Joko. Joko pun dikenal sangat terampil dan ahli membuat keris.
Sejak itu, Sumenep banyak melahirkan empu-empu hingga kini meski mereka tak sesakti Kelleng. (*)
Sumber : Beritagar.id
Editor : Heriyanto Ahmad