Guangzhou, Maduracorner.com – Kita kalah ‘senjata’, kita kalah pengalaman, kita kalah pelayanan, kita kalah di hampir semua hal terkait dunia kesehatan. Cina jauh meninggalkan negara kita. Tetapi, bukankah dengan Singapura dan Malaysia saja kita kalah? Jawabannya bisa iya, bisa tidak. Kita kalah dari segi marketing dan pelayanan kesehatan di kedua negara tetangga itu. Tetapi, dari banyak segi lainnya kita tidak kalah. Bahkan, saat ini banyak warga Indonesia yang cenderung untuk meninggalkan Singapura dan Malaysia sebagai kiblat pengobatan. Masih ingat kisah Paul dan Arif yang sudah belasan kali berobat ke Singapura dan Malaysia? Nyatanya, mereka mendapati kekecewaan mendalam setelah berobat ke negara tetangga kita itu. Sempat terbersit andai-andai, ‘ah, andai saja Olga tidak ikut-ikutan berobat ke Singapura’.
Operasi/bedah, kemoterapi konvensional dan terapi radiasi sinar sepertinya masih menjadi cara utama di Singapura dan Malaysia. Belum lagi ditambah perlakuan rasial yang juga sering diterima pasien dari Indonesia ketika berobat ke sana. Sudahlah, tinggalkan saja Singapura dan Malaysia. Toh, tumor ganas maupun kanker justru akan semakin ganas bertubi-tubi setelah dilukai dengan pisau bedah. Camkan! Jangan sekali-sekali melakukan operasi (biopsi sekalipun) untuk mengobati kanker atau tumor ganas.
Di Guangzhou, proses pengobatan pasien kanker memiliki beberapa kelebihan utama dibanding di negara (tetangga) kita. Secara garis besar ada empat hal penting yang menjadi keunggulan pengobatan di Guangzhou. Pertama, pengalaman puluhan tahun menangani pasien kanker. Banyak dokter yang sudah menjadi profesor di bidang kanker. Mereka, para profresor itu terus mewariskan ilmu pengobatan kanker kepada generasi berikutnya. Ketika kita naik bus kota berkeliling Guangzhou, kita dengan mudah menemui beberapa perguruan tinggi yang memang menjadikan kanker sebagai salah satu bidang keilmuan. Di Guangzhou terdapat perguruan tinggi ternama yang fakultas kedokterannya sangat diakui dunia, yakni Universitas Sun Yat-sen.
Salah satu lulusannya adalah dokter Lin Jing. Dokter perempuan berperawakan sederhana yang selalu mengenakan kacamata ini berperan besar dalam proses pengobatan kanker istriku. Dialah dokter penanggungjawab yang rutin memantau perkembangan kondisi istriku. Awal bertemu dengannya, jujur saja aku pesimis. Masak istriku yang kondisinya sangat kritis hanya ditangani oleh dokter yang bukan profesor. Bukan dokter dengan kepala botak, beruban dan berjenggot putih layaknya maha guru dalam cerita film-film kung fu yang kugandrungi sejak kecil itu. Ternyata, aku salah. Dokter Lin Jing adalah sosok yang tekun, profesional dan ahli di bidangnya. Ditambah lagi, rendah hati dan murah tersenyum. Mungkin, sosoknya bisa saya gambarkan seperti sosok dewi Kwan Im pada cerita kera sakti Sun Go Kong.
Sepulang kerja, dokter Lin Jing tidak segan jalan kaki naik bus kota untuk pulang ke rumahnya. Ha, masak dokter senior pulang kerja jalan kaki naik bus kota? Itu pemandangan langka sekali di Indonesia. Oiya, dokter di Cina tidak boleh membuka praktek di rumah/klinik (tidak seperti dokter di Indonesia yang lebih mengutamakan kerja di tempat praktek pribadinya daripada di rumah sakit dimana ia bekerja). Sehingga, para dokter Cina benar-benar berkonsentrasi pada pengobatan pasien yang ada di rumah sakit.
Kedua, banyaknya pilihan ‘senjata’ untuk membunuh sel kanker. Sederhananya, kalau di Indonesia (mungkin juga di Singapura dan Malaysia), hanya ada tiga cara membunuh sel kanker. Yakni, kemoterapi, operasi dan terapi radiasi sinar. Setidaknya, hanya tiga cara tersebut yang ditawarkan oleh dokter di salah satu rumah sakit di Surabaya setelah hasil pemeriksaan menyatakan bahwa tumor di indung telur istriku termasuk tumor ganas. Tetapi, di Guangzhou terdapat sedikitnya 16 cara membunuh kanker.
Berikut lima diantaranya: 1. Len Tung (cryotherapy), membunuh sel kanker dengan cara membekukan lalu memanaskan gumpalan sel kanker hingga hancur. 2. Jeru(kemoterapi lokal, yakni memasukkan obat kemo melalui saluran pembuluh darah di paha). 3. Penanaman biji partikel (radiasi sinar dengan menggunakan benda sebesar biji beras yang disemprotkan ke pusat kanker). 4. Imunologi. 5. Terapi sistem hipertemia panas. Perlu dicatat, cara apapun yang digunakan proses pengobatannya ‘sangat manusiawi’ berbeda dengan kesan pengobatan kemoterapi yang ada di Indonesia (bahkan Malaysia dan Singapura sekalipun).
Selain pengobatan ala barat, pengobatan ala Cina juga ikut andil besar dalam pengobatan kanker. Contohnya, istriku tiap hari harus mendapatkan tranfusi 1,5 liter cairan berwarna putih susu. Awalnya kukira itu susu untuk mengatasi kekurangan gizi. Ternyata, cairan tersebut adalah cairan saripati lele putih.
Ketiga, etos kerja mulai dari perawat, petugas laboratorium, dokter bahkan manajer rumah sakit. Mereka bahu-membahu membangun citra rumah sakit sesuai dengan bidangnya. Saya, tidak pernah membayangkan ada dokter bersama manajer rumah sakit jauh-jauh dari Cina bersedia mengunjungi rumah kami di Madura sembari membawa oleh-oleh tahun baru Imlek.
Sebagai penanggungjawab, dokter Lin Jing juga harus rutin menjadi ‘dokter jaga’ pada malam hari bergantian dengan dokter lainnya. Etos kerja yang tinggi ditunjukkan dokter Lin Jing serta dokter-dokter lain. Tiap pukul tujuh pagi, profesor, dokter, koordinator suster, petugas laboratorium memulai aktifitasnya dengan mengikuti rapat di dalam ruang dokter. Masing-masing melaporkan kondisi pasien satu-persatu, serta membahas kemungkinan metode pengobatan apa yang cocok untuk si pasien.
Dari hasil rapat, didapatilah data lengkap mengenai kondisi pasien serta metode pengobatan seperti apa yang efektif untuk si pasien. Sebagian besar pasien kanker pernah menerima jeru disamping cara pengobatan lain selama menjalani proses pengobatan di Guangzhou.
Keempat, pengobatan di rumah sakit Modern Guangzhou sudah menjadi sejenis bisnis satu paket. Sekali seminggu, biasanya hari Rabu, pasien beserta penunggunya diijinkan berwisata ria. Baik itu ke taman bunga, gunung, danau hingga pusat-pusat perbelanjaan di Guangzhou. Ratusan juta, hingga milyaran rupiah terkucur deras selama pengobatan, ditambah lagi iming-iming wisata belanja di mal sebagai penawar dahaga konsumerisme. Sungguh bisnis yang mengeruk kantong kita sangat dalam.
Di tahun 2013 saja, rumah sakit Modern Guangzhou sudah membuka 10 kantor perwakilan di 7 negara yang ada di Asia, termasuk tiga perwakilan di Indonesia (Medan, Jakarta dan Surabaya). Bahkan sayapnya terus mengembang hingga Afrika dan Timur Tengah. Maklum, motonya saja begini ‘berdiri di Cina, bergerak dalam Asia Tenggara dan memandang ke seluruh dunia’.
Alhamdulillah…Setelah tiga kali jeru, dua kali kemoterapi langsung ke pusat kanker, dan beberapa kali ‘kemoterapi hijau’ lewat infus, guratan senyum selalu menempel erat-erat di bibir kami. Bahkan, kami ditunjuk menjadi duta anti kanker setelah dinobatkan sebagai salah satu ‘pasien pemberani tahun 2015’. Tugasnya adalah menyuntikkan semangat kepada keluarga dan pasien kanker di seluruh penjuru tanah air sembari menyebarkan pesan bahwa kanker bisa diobati.
Tetapi, di akhir tulisan ini, tanya di dalam dada terus mendidih, Indonesia kapan bisa? Pasti bisa! Entah kapan, wallahu a’lam.
Penulis : Buyung Pambudi
By : Jiddan