Bangkalan, Maduracorner.com – Pada halaman Forum Madura, muncul pertanyaan yang cukup menggelitik; 1) Mengapa wanita Madura bila membawa sesuatu (barang bawaan) diletakkan di atas kepala? dan 2). Kebiasaan orang Madura, naik kendaran pick up di jalan. Kedua hal tersebut tentu mempunyai alasan tersendiri yang kemudian terkait erat dengan nilai kearifan lokal Madura.
Kearifan lokal Madura merupakan pola yang yang dibangun oleh lingkungan, kebiasaan, tradisi, budaya, dan bahkan mengandung nilai-nilai filsafat didalamnya. Dan pada gilirannya kearifan lokal Madura menjadi kesepakatan dan bahkan aturan tidak tertulis yang memungkinkan warga setempat “wajib” melakukannya.
Dalam kehidupan sehari-hari para orang tua kerap berpesan kepada anak-anaknya, misal: mon ngakan jha’ toju’ etengnga labang, jubha’ (bila makan-makan jangan duduk diambang pintu, itu jelek). Dari pesan tersebut, secara logika tentu tidak punya akibat bila makan-makan diambang pintu, namun pesan ini sebenarnya memiliki makna secara implisit, yang dapat dipahami bahwa sebenarnya berakibat buruk datau jelek. Sebab makan-makan doambang pintu pastinya selain tidak etis, juga mempengaruhi dan mengganggu orang yang akan melintas dipintu tersebut.
Berkaitan dengan wanita Madura ketika membawa barang bawaan diletakkan diatas kepala (songghuy, nyongghuy) ini merupakan salah bentuk penghargaan kepada pihak lain, baik orang maupun benda. Dengan kata lain, sesuatu yang berada diluar dirinya diletakkan pada posisi lebih tinggi dari dirinya. Posisi ini bukan dalam pengertian rendah diri dari yang lain, tapi dipahami sebagai rendah hati.
Jadi fungsi nyongghuy bukan sekedar sebagai media “angkat”, namun secara implisit dinilai sebagai perhormatan atau penghargaan kepada pihak (benda, barang bawaan) lain yang telah memberi nilai kehidupan bagi dirinya maupun orang lain. Benda atau barang, tidak serta merta sebagai benda mati semata. Sebab dari benda mati itulah mampu dan dapat memberi hidup bagai pembawanya.
Abhantal omba’ asapo’ angen, alako berra’ apello koneng (berbantal omba’ berselimut angin, bekerja berat berpeluh kuning), menyelesaikan pakon (perintah: pekerjaan), baru pakan (makan: hasil) merupakan etos yang dibangun oleh orang Madura. Sehingga tak heran bila orang (wanita) Madura memiliki ketangguhan luar biasa dalam mensiasati dan menjalankan kehidupannya, dengan cara praktis dan pekerja keras.
Parengkas atau kerja cepat dan praktis dapat dipahamai ketika wanita Madura (tradisional) berbaju kebaya. Model kebaya simpel, dengan panjang setengah lengan, sedang kain (samper) dililit sebatas bawah lutut (betis). Hal ini menandakan agar dalam bergerak tengkas (leluasa dalam melangkah/bersijingkat).
Berkaitan dengan etos kerja, dalam falsafah Madura disebutkan, Sapa atane bakal atana’, Sapa adagang bakal adaging (Siapa rajin bertani akan menanak nasi. Siapa berdagang akan berdaging (tubuhnya padat dan sehat). Darisinilah tantangan yang harus dihadapi wanita Madura.
Dalam menjalankan kehidupan yang harmonis antar sesama merupakan penekanan yang paling fondamental, karena kebersamaan merupakan mutiara dalam merangkai kesinambungan hidup. Kehidupan bersama ini diwujudkan dalam bentuk Tanean Lanjhang, yaitu wujud pemukiman yang didalamnya terdapat nilai kearifan lokal yang tinggi, yaitu kebersamaan dengan perangkat etika dan estika yang kemudian menjadi hunian bermartabat (baca: Tanean Lanjeng Nilai Kekerabatan Masyarakat Madura)
Tentang Kehidupan sehari-hari juga tersirat dalam rampa’ naong beringin korong, (digambarkan suatu tempat berpayung dan teduh) serta ghu’tegghu’ sabbhu’ (pegangan sabuk: senasib sependeritaan) atau song-osong lombhung (gotong royong), kembhang sarombuk (musyawarah mufakat), rojhung pajhagha (kerjasama) merupakan solidaritas sosial antar warga. Nilai kebersamaan inilah yang menjadikan sesuatu yang berat dan mustahil dapat diselesaikan sesuai dengan keinginannya.
Dari kearifan lokal diatas sudah jelas, bahwa kebersamaan dalam segala hal merupakan satu bentuk yang tak terpisahkan, meski harus beratap panas dan dingin, meski dalam posisi duduk yang tidak mengenakkan dan berhimpitan, ketika bersama-sama naik mobil pick up, namun nilai kebersamaan menjadi tujuan dalam sebuah perjalanan untuk mencapai tujuan.
Penulis : Syaf Anton Wr
Foto; Agus Gepeng
Tulisan diatas menyalin dari www.lontarmadura.com
By : JIddan