Perjanjian Kredit Bank dengan Asuransi Jiwa

Stempel Jimhur SarosBangkalan. maduracorner.com – 

  1. A.   Perjanjian Pada Umumnya
    1. 1.                  Pengertian Perjanjian

Dalam judul Bab Kedua Buku III KUH.Perdata tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan dari “Kontrak atau persetujuan”, maka jelaslah bahwa “persetujuan” sama artinya dengan “kontrak” bilamana dimaksudkan “akta”. Di Indonesia masih ada perkataan lain yang banyak dipergunakan yang sama artinya dengan “persetujuan” atau “kontrak” ialah “perjanjian”. Jadi ada tiga perkataan yang sama artinya ialah persetujuan, kontrak dan perjanjian.[1]

Sekalipun dalam KUHPerdata menggunakan istilah “persetujuan”, namun R.Subekti dalam bukunya menyatakan :[2]

“Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu. Dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya. Perkataan kontrak lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan tertulis.”

Pasal 1313 KUH.Perdata memberikan definisi tentang persetujuan yang berbunyi sebagai berikut :

“Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”

Rumusan pasal 1313 KUH.Perdata tersebut tidak lengkap dan juga sangat luas. Perkataan perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum, serta menambahkan perkataan “atau saling mengikatkan dirinya” dalam pasal 1313 KUH.Perdata. Sehingga perumusan menjadi: Persetujuan adalah suatu perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. [3]

Mengenai definisi perjanjian, R.Subekti mengatakan:[4]

“Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”.

Buku III KUH.Perdata mengatur perihal hubungan-hubungan antara orang dengan orang (hak-hak perseorangan) meskipun mungkin yang menjadi objek juga suatu benda.

Untuk dapat memahami pengertian perikatan dan perjanjian, terlebih dahulu harus mengetahui adanya perbedaan penggunaan istilah “Verbintenis” dan “Overeekomst”.

Kata “Verbintenis” dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan tiga istilah,yaitu: Perikatan, Perhutangan, dan Perjanjian. Untuk “Overeekomst” dipakai dua istilah, yaitu: Perjanjian dan persetujuan.

Verbintenis berasal dari kata kerja Verbinden yang artinya mengikat, jadi di sini menunjukan adanya ikatan dan hubungan, yaitu suatu ikatan antara pihak yang satu dengan pihak yang lain di mana masing-masing terikat pada hak dan kewajibanya. Sedangkan Overeekomst berasal dari kata kerja Overeenkomen yang artinya setuju atau sepakat, jadi mengandung kata sepakat sesuai dengan asas konsensualisme, yaitu pada dasarnya, perjanjian dan perikatan timbul karenanya sudah dilahirkan pada detik tercapainya kesepakatan. Untuk hal ini penulis cenderung menggunakan kata perjanjian yang sama artinya dengan persetujuan terjemahan dari istilah Overeenkomst.[5]

Sekalipun dalam KUHPerdata mempergunakan judul “Tentang perikatan-perikatan”, tetapi tidak ada satu pasalpun yang menjelaskan apa sebenarnya yang dimaksud dengan perikatan.

Mengenai definisi perikatan menurut pendapat para sarjana, diantaranya adalah:

  1. R.M. Suryodingrat [6]

“ perikatan adalah ikatan dalam bidang hukum harta benda antara dua orang atau lebih dimana satu pihak berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban hukum untuk melaksanakannya.

  1. Pitlo [7]

“Perikatan adalah suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditor) dan pihak lain berkewajiban (debitor) atas sesuatu prestasi.“

  1. R.Subekti[8]

“Perikatan adalah suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang yang member hak padayang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan   memenuhi tuntutan itu.”

Menurut Pasal 1233 KUH.Perdata, suatu perikatan dapat lahir dari suatu  (perjanjian) atau dari undang-undang. Dan perikatan yang lahir dari undang-undang diperinci lagi, yaitu perikatan yang lahir dari undang-undang saja dan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan orang konkrit atau suatu peristiwa. Dimana yang terlahir ini dibagi-bagi, yaitu perbuatan menurut hukum dan perbuatan melawan hukum.

Adanya dua pihak dalam perikatan maupun perjanjian merupakan subjek-subjek dalam perikatan dan perjanjian. Kreditor atau siberhutang adalah pihak yang berhak menuntut sesuatu sedangkan debitur atau siberhutang adalah pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan itu. Hubungan antara dua pihak tadi adalah merupakan perhubungan hukum, bilamana tuntutan itu tidak dipenuhi dapat dituntut di muka hukum.

Dari perjanjian itu akan timbul hubungan hukum antara dua pihak yang dinamakan perikatan, sehingga dapat dikatakan bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Dengan demikian dapat disimpulkan perbedaan perikatan dengan perjanjian yaitu perikatan adalah suatu pengertian yang abstrak, sedangkan perjanjian adalah suatu hal yang konkrit.

  1. 2.      Syarat Sah Perjanjian

Untuk syahnya perjanjian diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata yaitu :

  1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
  2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian.
  3. Mengenai suatu hal tertentu.
  4. Causa yang halal.

Sepakat atau dinamakan juga perizinan, bahwa kedua belah pihak. Dalam suatu perjanjian harus mempunyai kehendak yang bebas untuk mengikatkan diri pada yang lain. Kehendak ini dapat dinyatakan dengan tegas atau secara diam-diam. Kehendak yang bebas ini dianggap tidak ada jika perjanjian itu terjadi karena paksaan (dwang), kehilafan (dwaling), atau penipuan (bedrog)

Bagi orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum, yaitu bahwa setiap orang dewasa dan sehat pikirannya. Beberapa golongan orang oleh undang-undang dinyatakan “tidak cakap” untuk melakukan sendiri perbuatan-perbuatan hukum. Mereka itu ialah orang dibawah umur, orang dibawah pengawasan (curatele) dan wanita yang bersuami (pasal 1130 KUH.Perdata).

Yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian haruslah suatu hal tertentu atau suatu barang yang cukup jelas atau tertentu, artinya apa yang diperjanjikan hak dan kewajiban kedua belah pihak jika terjadi suatu perselisihan jelas. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan.

Causa adalah tujuan dari perjanjian, yaitu apa yang dikehendaki oleh kedua belah pihak dengan mengadakan perjanjian itu. Dengan kata lain, causa berarti isi perjanjian itu sendiri. Suatu perjanjian tidak memakai causa atau dengan causa yang palsu tidak mempunyai kekuatan. Causa yang bertentangan dengan undang-undang, ketertiban atau kesusilaan adalah tidak diperbolehkan.

Dari keempat syarat syahnya suatu perjanjian tersebut diatas, harus benar-benar dipenuhi dan dipatuhi di dalam membuat suatu perjanjian. Apabila syarat kesatu dan kedua (syarat subjektif ) tidak dipenuhi maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan, artinya salah satu pihak dapat meminta pada hakim agar perjanjian itu dibatalkan. Sedangkan apabila syarat ketiga dan keempat (syarat objektif) tidak dipenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum artinya sejak semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian.

  1. 3.    Asas-asas perjanjian

Yang dimaksud dengan asas adalah latar belakang dari suatu peraturan yang kongkrit. Beberapa asas perjanjian sebagaimana yang diatur dalam KUHPerdata adalah sebagai berikut :[9]

  1. Hukum kontrak bersifat hukum mengatur

Sebagaimana diketahui bahwa hukum dapat dibagi ke dalam dua bagian yaitu :

1)        Hukum memaksa (dwingend recht, mandatory law), dan

2)        Hukum mengatur (aanvullen recht, optinal law).

Hukum tentang kontrak pada prinsipnya tergolong ke dalam hukum mengatur. Artinya, hukum tersebut baru berlaku sepanjang para pihak tidak mengaturnya lain. Jika para pihak dalam kontrak mengaturnya secara lain dari yang diatur dalam hukum kontrak, maka yang berlaku  adalah apa yang diatur sendiri oleh para pihak tersebut.

  1. Asas kebebasan berkontrak

Salah satu asas dalam hukum kontrak adalah: asas kebebasan berkontrak (freedom of contract). Artinya para pihak bebas membuat kontrak dan mengatur sendiri isi kontrak tersebut, sepanjang memenuhi ketentuan sebagai berikut :

1)    Memenuhi syarat sebagai suatu kontrak, dan

2)    Tidak dilarang oleh undang-undang, dan

3)    Sesuai dengan kebiasaan yang berlaku, dan

4)    Sepanjang kontrak tersebut dilaksanakan dengan itikad baik.

Asas kebebasan berkontrak ini merupakan refleksi dari sistem terbuka (open system) dari hukum kontrak tersebut.

  1. Asas pacta sun servanda

Asas pacta sun servanda (janji itu mengikat) ini mengajarkan bahwa suatu kontrak yang dibuat secara sah mempunyai ikatan hukum yang penuh. KUHPerdata kita juga menganut prinsip ini dengan melukiskan bahwa suatu kontrak berlaku seperti undang-undang bagi para pihak ( pasal 1338 KUH Perdata ).

  1. Asas konsensual dari suatu kontrak

Hukum kontrak kita juga menganut asas konsensual. Maksud dari asas konsensual ini adalah bahwa suatu kontrak sudah sah dan mengikat ketika tercapai kata sepakat, tentunya selama syarat-syarat sahnya kontrak lainnya sudah dipenuhi. Jadi, dengan adanya kata sepakat, kontrak tersebut pada prinsipnya sudah mengikat dan sudah mempunyai akibat hukum, sehingga mulai saat itu juga sudah timbul hak dan kewajiban diantara para pihak. Dengan demikian, pada prinsipnya syarat tertulis tidak di wajibkan untuk suatu kontrak. Kontrak lisan pun sebenarnya sah-sah saja menurut hukum.

Akan tetapi terhadap beberapa jenis kontrak disyaratkan harus dibuat dalam bentuk tertulis, atau bahkan harus dibuat oleh atau dihadapan pejabat tertentu, sehingga disebut dengan kontrak formal. Ini adalah merupakan perkecualian dari prinsip umum tentang asas konsensual tersebut.

Contoh dari kontrak yang harus dibuat secara tertulis ( perkecualian dari asas konsensual ) adalah :

1)      Kontrak perdamaian.

2)      Kontrak pertanggungan.

3)      Kontrak penghibahan.

  1. Asas Obligator dari suatu kontrak

Menurut hukum kontrak kita, suatu kontrak bersifat obligator. Maksudnya adalah setelah sahnya suatu kontrak, maka kontrak tersebut sudah mengikat, tetapi baru sebatas menimbulkan hak dan kewajiban di antara para pihak. Tetapi pada taraf tersebut hak milik belum berpindah ke pihak lain. Untuk dapat memindahkan hak milik, diperlukan kontrak lain yang disebut dengan kontrak kebendaan (zakelijke overeenkomst). Perjanjian kebendaan inilah yang sering disebut dengan “penyerahan” ( levering ).

  1. B.   Perjanjian kredit
    1.  Pengertian Kredit

Istilah “kredit” berasal dari bahasa yunani “credere” yang berarti “kepercayaan”.Pengertian kredit menurut Pasal 1 angka 12 Undang-Undang nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan adalah sebagai berikut :

“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan  dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan, atau pembagian hasil keuntungan.

Pengertian kredit di atas pada Undang-Undang nomor 10 Tahun 1998, sebagaimana tertuang dalam pasal 1 angka 11 mengalami sedikit perubahan, selengkapnya adalah sebagai berikut :

“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga.”

Dari kedua pengertian tersebut terlihat adanya suatu perbedaan mengenai kontra prestasi yang akan diterima, semula kontra prestasi dari kredit tersebut dapat berupa bunga, imbalan, atau hasil keuntungan, sedangkan pada ketentuan yang baru kontra prestasi hanya berupa bunga. Latar belakang perubahan tersebut mengingat kontra prestasi berupa imbalan hasil keuntungan merupakan kontra prestasi yang khusus terdapat dalm pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang berbeda sekali penghitungannya dengan kontra prestasi berupa bunga.[10]

Apabila Pasal 1 Ayat 12 Undang-Undang Perbankan Nomor 7 Tahun 1992 diperbandingkan dengan Pasal 1 Ayat 11 Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998, maka didalamnya terkandung “ Kewajiban untuk mengembalikan pinjaman” . Dari segi yang lebih luas lagi, suatu kewajiban untuk memenuhi perikatan.

Dari kewajiban ini, menurut Mariam Darus Badrulzaman, dapat dijabarkan bahwa kredit hanya dapat diberikan pada mereka yang “dipercaya mampu” mengembalikan kredit itu di belakang hari.[11]

Intisari dari kredit, yaitu unsur kepercayaan, sedangkan unsur yang lainnya bersifat sebagai suatu yang berguna dalam rangka pertimbangan yang menyeluruh dalam mendapatkan atau memperoleh keyakinan dan kepercayaan untuk terjadinya suatu hubungan atau perikatan hukum dalam bidang perkreditan tersebut.

Dalam kegiatan kredit dapat disimpulkan adanya unsur-unsur :[12]

  1. Kepercayaan

Yaitu keyakinan dari si pemberi kredit bahwa prestasi yang diberikannya, baik dalam bentuk uang, barang, atau jasa, akan benar-benar diterimanya kembali dalam jangka waktu tertentu di masa yang akan datang.

  1. Tenggang waktu

Yaitu suatu masa yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontra prestasi yang akan diterima pada masa yang akan datang. Dalam unsure waktu ini, terkandung pengertian nilai agio dari uang, yaitu uang yang ada sekarang lebih tinggi nilainya dari uang yang akan diterima pada masa yang akan datang.

  1. Degree of risk

Yaitu tingkat resiko yang akan dihadapi sebagai akibat dari adanya jangka waktu yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontra prestasi yang akan diterima kemudian hari. Semakin lama kredit diberikan, semakin tinggi pula tingkat rIsikonya karena sejauh-jauh kemampuan manusia untuk menerobos hari depan itu, maka masih selalu terdapat unsur ketidaktentuan yang tidak dapat diperhitungkan. Inilah yang menyebabkan timbulnya unsur rIsiko. Dengan adanya unsur rIsiko inilah maka timbulah jaminan dalam pemberian kredit.

  1. Prestasi

Prestasi atau objek kredit itu tidak saja diberikan dalam bentuk uang, tetapi juga dapat berbentuk barang atau jasa. Namun, karena kehidupan ekonomi modern sekarang ini didasarkan pada uang, maka transaksi-transaksi kredit yang menyangkut uanglah yang sering kita jumpai dalam praktik perkreditan.

  1. 2.    Pengertian Perjanjian Kredit

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang perbankan. sama-sama tidak mengenal istilah “ perjanjian kredit “.

Istilah perjanjian kredit ditemukan dalam pedoman kebijaksanaan Di Bidang Perkreditan ( Instruksi Predisium Kabinet Nomor 15/EK/10 ) yang ditujukan kepada masyarakat bank. Di Instruksikan bahwa dalam memberikan kredit untuk apapun, bank-bank wajib mempergunakan “ akad perjanjian kredit “.[13]

Di dalam praktik bank, akad “ perjanjian kredit “ ini diberi nama yang agak berbeda antara bank yang  satu dengan bank yang lainnya, namun demikian perbedaan tersebut tidak prinsipal.

Mengenai istilah kredit ini, Mariam Darus Badrulzaman lebih cenderung untuk menamakanya “perjanjian kredit bank “. Menurut beliau, istilah “bank“ diletakan disini untuk membedakannya dengan perjanjian pinjaman uang yang pemberi pinjamannya bukan bank.[14]

Mengenai perjanjian kredit ini terdapat pendapat kalangan hukum yang pada dasarnya dikelompokan ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok yang berpendapat bahwa perjanjian kredit tunduk pada aturan-aturan hukum perjanjian yang diatur dalam Bab XIII Buku III KUHPerdata  mengenai pinjaman mengganti, didalam Bab mana diatur tentang pinjaman uang. Sedangkan kelompok lainnya berpendapat bahwa perjanjian kredit merupakan perjanjian tersendiri dan karenanya mempunyai aturan-aturan tersendiri yang berlainan dengan perjanjian pinjam uang yang diatur dalam Bab XIII Buku III KUHPerdata tersebut.

Di dalam buku karyanya, Marhainis Abdul Hay, mengatakan sebagai berikut : [15]

“Apabila kita lihat tentang kredit itu, maka kelihatan hukum yang berlaku ialah Buku III KUHPerdata tentang hukum perikatan yaitu perjanjian khusus pinjam mengganti”

Dari pendapat tersebut jelas bahwa menurut Marhainis Abdul Hay, perjanjian kredit tunduk pada aturan-aturan hukum mengenai perjanjian pinjam mengganti yang diatur dalam Bab XIII Buku III KUH.Perdata dalam hal mana diatur perjanjian pinjam uang.

Kemudian R.Subekti mengatakan sebagai berikut :[16]

“Dalam bentuk apapun juga pemberian kredit itu diadakan, dalam semuanya itu pada hakekatnya yang terjadi adalah perjanjian pinjam meminjam sebagaimana diatur dalam pasal 1754 s/d pasal 1769 KUH.Perdata.”

Pernyataan tersebut sama dengan pernyataan Marhainis Abdul Hay, karena Pasal 1754 s/d Pasal 1769 merupakan pasal-pasal di bawah Bab XIII Buku III KUHPerdata yang mengatur tentang pinjam mengganti.

Jadi menurut kedua ahli hukum tersebut, perjanjian kredit pada hakekatnya merupakan perjanjian pinjam uang yang sepenuhnya diatur dan tunduk pada Bab XIII Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Mariam Darus Badrulzaman termasuk kelompok ahli hukum yang berpendapat bahwa perjanjian kredit merupakan perjanjian tersendiri dan karenanya mempunyai aturan-aturan tersendiri yang berlainan dengan perjanjian pinjam uang yang diatur dalm Bab XIII Buku III KUHPerdata.

Menurut Mariam Darus Badrulzaman, perjanjian kredit bank adalah berlainan dengan perjanjian pinjam uang yang di atur dalam Bab XIII Buku III KUHPerdata. Menurutnya, salah satu unsur pokok yang memisahkan perjanjian kredit bank dengan perjanjian pinjam uang dalam KUHPerdata ialah bahwa perjanjian kredit bank merupakan perjanjian bernama yang berakar pada Undang-Undang Perbankan.[17]

Selanjutnya Mariam Darus Abdulzaman mengatakan bahwa perjanjian kredit bank dalam aspek konsensuil dan riil sebagai perjanjian bernama Nasional, berdasarkan UUP 1967, memiliki identitas sendiri dengan sifat-sifat umum sebagai berikut : [18]

  1. Merupakan perjanjian pendahuluan ( ovoorvereenkomst ) dari perjanjian penyerahan uang.
  2. Perjanjian kredit bersifat konsensual, obligator.
  3. Perjanjian penyerahan uangnya bersifat riil.
  4. Perjanjian kredit termasuk dalam jenis perjanjian standard.
  5. Perjanjian kredit banyak dicampuri pemerintah.
  6. Perjanjian kredit harus mengandung perjanjian jaminan.
  7. Perjanjian kredit dalam aspek riil adalah perjanjian sepihak.
  8. Perjanjian kredit dalam aspek konsensual adalah perjanjian timbal balik.

Sifat-sifat umum perjanjian kredit tersebut diatas tidak dimiliki oleh perjanjian pinjam uang yang diatur dalam Bab XIII Buku III KUHPerdata, hal tersebut menunjukan bahwa perjanjian kredit berbeda dengan perjanjian pinjam uang yang diatur dalam KUHPerdata.

Disamping itu, yang juga membedakan perjanjiaan kredit dengan perjanjian pinjam uang yang diatur dalam KUHPerdata adalah antara lain:[19]

  1. Jika ditinjau dari segi tujuannya.

Perjanjian kredit mempunyai tujuan tertentu yang tidak dimiliki oleh perjanjian pinjam uang.

Di dalam perjanjian kredit, pihak penerima kredit dari bank tidak dapat mempergunakan kredit itu sesuka hatinya. Penggunaan kredit terikat pada program pemerintah di dalam pembangunan. Sedangkan pada perjanjian pinjam uang peminjam berhak mempergunakan pinjamannya dengan bebas, ( disimpulkan dari ketentuan pasal 1753 KUH.Perdata), hal tereebut merupakan konsekwensi dari paham liberalism.

  1. Jika ditinjau dari segi pemberi kredit.

Berlainan dengan pemberi pinjaman yang diatur dalam Bab XIII Buku III KUHPerdata, pemberi kredit di dalam Undang-Undang tentang perbankan No. 7/1992 yang disimpulkan dari Pasal 1 Ayat 1 dalam hubungannya dengan Pasal 1 Ayat 12, pemberi kredit adalah bank, sedangkan dalam UUP No. 10 Tahun 1998 disimpulkan Pasal 1 Ayat 1 dalam hubunganya dengan Pasal `1 Ayat 11.

  1. Jika ditinjau dari segi dari kriteria penerimanya

Dalam perjanjian kredit, penerima kredit harus memenuhi criteria tertentu. Tidak sebagaimana di dalam Bab XIII Buku III KUH.Perdata dimana tidak dirumuskan siapa pemberi pinjaman, sehingga dapat diartikan siapapun dapat menerima atau menjadi penerima pinjaman ( peminjam ), di dalam pasal 8 Undang-Undang tentang perbankan No.7 Tahun 1992 ditentukan bahwa jaminan pemberian kredit dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan wajib dipunyai oleh bank. Di dalam penjelasan pasal 8 UUP No, 7/1992 tersebut dijelaskan bahwa untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum member kredit, bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha dari debitor.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, jelaslah bahwa perjanjian kredit berbeda dengan perjanjian pinjaman uang yang diatur dalam Bab XIII Buku III KUH.Perdata.

Dalam praktiknya perjanjian kredit sering kali mengakomodasi hal-hal seperti diatas sehingga semuanya dibakukan dan akhirnya terbentuklah perjanjian baku untuk perjanjian kredit tersebut. Dengan bentuk perjanjian yang baku tersebut tidaklah menjadi suatu pengingkaran atas asas kebebasan berkontrak sepanjang tetap ditegakkannya asas-asas umum perjanjian, seperti syarat-syarat yang wajar dengan menjunjung keadilan dan adanya keseimbangan para pihak dengan menghilangkan suatu penekanan kepada pihak lainya karena kekuatan yang dimiliki oleh salah satu pihak. Dengan demikian, rumusan perjanjian baku tersebut harus terhindar dari kandungan unsur-unsur yang akan mengakibatkan kecurangan yang sangat berlebihan dan terjadinya suatu pemaksaan karena adanya ketidakseimbangan kekuatan paa pihak, juga harus dihindarkan pula syarat perjanjian yang hanya menguntungkan sepihak, atau resiko yang hanya dibebankan kepada sepihak pula, serta pembatasan hak dalam menggunakan upaya hukum.

Perjanjian kredit mempunyai beberapa fungsi, diantaranya :[20]

  1. Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok. Artinya, perjanjian kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidak batalnya perjanjian lain yang mengikutinya, misalnya, perjanjian pengikatan jaminan.
  2. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan hak dan kewajiban di antara kreditur dan debitur.
  3. Perjanjian kredit berfungsi sebagi alat untuk melakukan monitoring kredit.
  1. 3.    Syarat Pemberian Kredit

Dalam setiap perjanjian kredit ada beberapa klausul yang selalu dan perlu dicantumkan diantaranya :[21]

  1. Syarat-Syarat penarikan kredit pertama kali atau (Predisbursement Clause)

Klausul ini menyangkut :

  • Pembayaran provisi, premi asuransi kredit, dan asuransi barang jaminan, serta biaya pengikatan jaminan secara tunai.
  • Penyerahan barang jaminan, dan dokumennya serta pelaksanaan pengikatan barang jaminan tersebut.
  • Pelaksanaan penutupan asuransi barang jaminan, dan asuransi kredit dengan tujuan untuk memperkecikrisiko yang terjadi di luar kesalahan debitur maupun kreditur.
  1. Klausul mengenai maksimum kredit (Amount Clause). Syarat ini mempunyai arti penting dalam beberapa hal, yaitu :
  • Merupakan objek dari perjanjian kredit sehingga perubahan kesepakatan mengenai materi ini menimbulkan konsekuensi diperlukannya pembuatan perjanjian kredit baru ( sesuai dengan pasal 1381 butir 3 dan pasal 1413 KUH.Perdata-Novasi Objektif ).
  • Merupakan batas kewajiban pihak debitur yang berupa penyediaan dana selama tenggang waktu perjanjian kredit, yang berarti pula batas hak debitur untuk melakukan penarikan pinjaman.
  • Merupakan penetapan besarnya nilai agunan yang harus diserahkan, dasar perhitungan penetapan besarnya provisi atau commitmen fee.
  • Merupakan batas dikenakannya denda kelebihan tarik (overdraft ).
  1. Klausul mengenai Jangka Waktu Kredit. Syarat ini penting dalam beberapa hal yaitu :
  • Merupakan batas waktu bagi bank, kapan keharusan menyediakan dana sebesar maksimum kredit berakhir dan sesudah dilewatinya jangka waktu ini sehingga menimbulkan hak tagih/pengembalian kredit dari nasabah.
  • Merupakan batas waktu kapan bank boleh melakukan teguran-teguran kepada debitur jika tidak memenuhi kewajiban tepat pada waktunya.
  • Merupakan suatu masa yang tepat bagi bank untuk melakukan review atau analisis kembali apakah fasilitas kredit tersebut perlu diperpanjang atau perlu segera ditagih kembali.
  1. Klausul mengenai bunga pinjaman ( Interest Clause ).

Syarat ini di atur secara tegas dalam perjanjian kredit dengan maksud untuk :

  • Memberikan kepastian mengenai hak bank untuk memungut bunga pinjaman dengan jumlah yang sudah disepakati bersama karena bunga merupakan penghasilan bank yang, baik secara langsung maupun tidak langsung akan diperhitungkan dengan biaya dana untuk penyediaan fasilitas kredit tersebut.
  • Pengesahan pemungutan bunga di atas 6% per tahun. Dengan mendasarkan pada pedoman keterangan Pasal 1765 dan pasal 1767 KUH.Perdata yang memungkinkan pemungutan bunga pinjaman dia atas 6% per tahun asalkan diperjanjikan secara tertulis.
  1. Klausul Mengenai Barang Agunan kredit

Syarat ini bertujuan agar pihak debitur tidak melakukan penarikan atau penggantian barang jaminan secara sepihak, tetapi harus ada kesepakatan dengan pihak bank.

  1. Klausul Asuransi ( Insurance Clause )

Klausul ini bertujuan untuk pengalihan resiko yang mungkin terjadi, baik atas barang agunan maupun atas kreditnya sendiri. Adapun materinya perlu memuat mengenai maskapai asuransi yang ditunjuk, premi asuransinya, keharusan polis asuransi untuk disimpan di bank, dan sebagainya.

  1. Klausul Mengenai Tindakan yang dilarang Oleh Bank ( Negative Clause).

Klausul ini terdiri atas berbagai macam hal yang mempunyai akibat yuridis dan ekonomi bagi pengamanan kepentingan bank sebagai tujuan utama. Adapun contoh tindakan yang tidak diperkenankan dilakukan debitor. Diantaranya :

  • Larangan meminta kredit kepada pihak lain tanpa seizin bank.
  • Larangan mengubah bentuk hukum perusahaan debitor tanpa seizing bank.
  • Larangan membubarkan perusahaan tanpa seizing bank.
  1. Tigger Clause atau Opeisbaar Clause

Klausul ini mengatur hak bank untuk mengakhiri perjanjian kredit secara sepihak waalupun jangka waktu perjanjian kredit tersebut belum berakhir.

  1. Klausul Mengenai denda ( Penalty Clause )

Syarat ini dimaksudkan untuk mempertegas hak-hak bank untuk melakukan pungutan, baik mengenai besarnya maupun kondisinya.

  1. Expence Clause

Klausul ini mengatur mengenai beban biaya dan ongkos yang timbul sebagai akibat pemberian kredit, yang biasanya dibebankan kepada nasabah dan meliputi, antara lain, biaya pengikatan jaminan, pembuatan akta-akta perjanjian kredit, pengakuan utang, dan penagihan kredit.

  1. Debet Authorization Clause

Pendebetan rekening pinjaman debitor haruslah dengan izin debitor.

  1. Representation and Warranties

Klausul ini sering juga disebut dengan istilah materiil adverse change clause. Maksudnya ialah : bahwa pihak debitor menjanjikan dan menjamin bahwa semua data dan informasi yang diberikan kepada bank adalah benar dan tidak diputarbalikan.

  1. Klausul Ketaatan pada ketentuan Bank.

Klausul ini dimaksudkan untuk menjaga kemungkinan jika terdapat hal-hal yang tidak diperjanjikan secara khusus, tetapt di pandang perlu, maka sudah dianggap telah diperjanjikan secara umum. Misalnya mengenai masalah tempat dan waktu melakukan pencairan dan penyetoran kredit, penggunaan formulir,format surat, konfirmasi atau pemberitahuan saldo rekening bulanan.

  1. Miscellaneous atau Boiler Plate Provision

Pasal-pasal tambahan.

  1. Dispute Settlement ( Alternatif Dispute Resolution )

Klausul mengenai metode penyelesaian perselisihan antara kreditur dan debitor. ( jika terjadi ).

  1. Pasal Tertutup

Pasal penutup memuat eksemplar perjanjian kredit yang maksudnya mengadakan pengaturan mengenai jumlah alat bukti dan tanggal mulai berlakunya perjanjian kredit serta tanggal penandatanganan perjanjian kredit.

Klausul-klausul tersebut di atas pada dasarnya tidak terlepas dari unsur-unsur kepatuhan serta asas umum hukum perjanjian, yaitu itikad baik. Dengan demikian , debitor ataupun pihak kreditor yang bersikap tidak jujur atau tidak beritikad baik, maka tidak perlu diberi perlindungan.

  1. 4.    Jaminan Dalam Perjanjian Kredit

Secara umum jaminan kredit diartikan sebagai penyerahan kekayaan atau pernyataan kesanggupan seseorang untuk  menanggung pembayaran kembali suatu utang.[22]

Kegunaan jaminan adalah untuk : [23]

  1. Memberikan hak dan kekuasaan kepada bank untuk mendapatkan  pelunasan dari hasil penjualan barang-barang jaminan tersebut, apabila nasabah cidera janji.
  2. Menjamin agar nasabah berperan serta dalam transaksi untuk membiayai usahanya, sehingga kemungkinan untuk meninggalkan usaha atau proyeknya dengan merugikan diri sendiri atau perusahaanya dapat dicegah atau diperkecil terjadinya.
  3. Memberi dorongan kepada debitor (tertagih) untuk memenuhi perjanjian kredit.

Kredit yang diberiakan oleh bank mengandung resiko sehingga bank dituntut kemampuan dan efektivitasnya dalam mengelola resiko kredit dan meminimalkan potensi kerugian sehingga bank wajib memerhatikan asas-asas perkreditan yang sehat, diantaranya :[24]

  1. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit tanpa surat perjanjian tertulis.
    1. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit pada usaha yang sejak semula telah diperhitungkan kurang sehat dan akan membawa kerugian.
    2. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit untuk pembelian saham dan modal kerja dalam ramgka kegiatan jual beli saham, atau
      1. Memberikan kredit melampaui batas maksimum pemberian kredit ( legal lending limit ).

Dengan mengingat hal-hal tersebut, maka dalam memberikan kreditnya bank wajib melakukan analisis terhadap kemampuan debitor untuk membayar kembali kewajibanya. Setelah kredit diberikan, bank perlu melakukan pemantauan terhadap penggunaan kredit serta kemampuan dan kepatuhan debitor daalm memenuhi kewajibannya. Selain itu, bank juga dituntut untuk melakukan peninjauan, penilaian, dan pengikatan terhadap agunan yang disodorkan oleh debitor sehingga agunan yang diterima dapat memenuhi persyaratan ketentuan yang berlaku.

Hal-hal diatas haruslah ditaati karena telah dijadikan asas dari Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, yang selengkapnya berbunyi :

(1)         Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitor untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.

(2)         Bank umum wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

Dari ketentuan tersebut di atas yang paling penting, yaitu bahwa bank dalam menyalurkan dana untuk kredit harus didasarkan pada adanya suatu jaminan dalam pemberian kredit menurut pasal 2 ayat (1) Surat keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 23/69/KEP/DIR tanggal 28 Februari 1991 tentang jaminan Pemberian kredit, yaitu keyakinan bank atas kesanggupan debitor untuk melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan.  Sedangkan guna memperoleh keyakinan tersebut maka bank sebelum memberikan kreditnya harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari debitor.[25]

Hal-hal yang berkaitan dengan debitor yang dapat menggambarkan bahwa debitor tersebut sebagai debitor yang bankable dapat dilihat dari beberapa segi. Praktik perbankan dalam mendapatkan keyakinan bahwa debitornya mempunyai klasifikasi bankable setelah melalui penganalisaan dan penelitian.

Adapun acuan dalam rangka penganalisaan dan penelitian tersebut, yaitu meliputi : [26]

  1. 5C yaitu :
    1. Character ( sifat-sifat si calon debitor, seperti kejujuran, perilaku, dan ketaatanya ). Guna mendapatkan data-data mengenai karakter debitor tersebut maka bank dapat melakukanya dengan cara mengumpulkan informasi dari referensi bank lainnya.
    2. Capital ( permodalan ), hal yang menjadi perhatian dari segi permodalan ini, yaitu tentang besar dan struktur modal termasuk kinerja hasil dari modal itu sendiri dari perusahaan apabila debitornya merupakan perusahaan dan segi pendapatannya apabila debitornya merupakan perorangan.
    3. Capacity ( kemampuan ), perhatian yang diberikan terhadap kemampuan diberikan terhadap kemapuan debitor, yaitu menyangkut kepemimpinan dan kinerjanya dalam perusahaan.
    4. Collateral ( agunan ), yaitu kemampuan si calon debitor memberikan agunan yang baik serta memiliki nilai baik secara hukum ataupun secara ekonomi.
    5. Condition Of Economy ( kondisi perekonomian ), yaitu segi kondisi yang sangat cepat berubah. Adapun yang menjadi perhatianya meliputi kebijakan pemerintah, politik, sosial budaya, dan segi lainnya yang dapat memengaruhi kondisi ekonomi itu sendiri.
    6. 4P yaitu :
      1. Personality atau kepribadian debitor merupakan segi-segi yang subjektif, tetapi menjadi suatu yang penting dalam penentuan pemberian kredit sehingga perlu dikumpulkan data-data mengenai calon debitor tersebut.
      2. Purpose atau tujuan, yang menjadi sorotan dari segi ini, yaitu menyangkut tujuan penggunaan dari kredit tersebut apakah untuk digunakan pada kegiatan yang bersifat konsumtif atau produktif atau dipakai untuk kegiatan yang bersifat atau mengandung unsur spekulatif.
      3. Prospect atau masa depan dari kegiatan yang mendapatkan pembiayaan kredit tersebut. Adapun unsur-unsur yang dapat menjadi penilaian mengenai prospek tersebut, diantaranya, bidang usaha, pengelolaan bidang usaha, kebijakan pemerintah, dan sebagainya.
      4. Payment atau cara pembayarannya. Hal yang menjadi perhatian untuk itu, misalnya, mengenai kelancaran aliran dana (cash flow).
    7. 3R yaitu :
      1. Returni atau balikan, maksudnya adalah hasil yang akan dicapai dari kegiatan yang mendapatkan pembiayaan tersebut
      2. Repayment atau perhitungan pengembalian dana dari kegiatan yang mendapatkan pembiayaan atau kredit.
      3. Risk bearing ability, yaitu perhitungan besarnya kemampuan debitur dalam menghadapi resiko yang tidak terduga.
      4. 5.      Hapusnya Perjanjian Kredit

Dari ketentuan Pasal 4 perjanjian kredit modal PK 1 BNI 1946, dapat disimpulkan bahwa didalam perjanjian kredit, bank memiliki kewajiban pokok yaitu menyediakan kredit dengan tujuan kredit dan jangka waktu perjanjian.

Di dalam Pasal 28 perjanjian kredit BNI 1946 model PK 1 disebutkan sebagai berikut :[27]

Menyimpang dari apa yang ditentukan dalam perjanjian ini, bank berhak secara sepihak dan sewaktu-waktu tanpa terlebih dahulu memberitahukan atau menegur penerima kredit, untuk tidak mengizinkan atau menolak penarikan atau penggunaan kredit lebih lanjut oleh penerima kredit dan mengakhiri jangka waktu kredit ini antara lain jika :

  1. Penerima kredit tidak atau belum mempergunakan kredit ini setelah lewat 3 (tiga) bulan sejak berlakunya perjanjian kredit;
  2. Bunga tidak dibayar pada waktu dan dengan cara sebagaimana yang telah ditentukan, dalam hal ini lewatnya waktu saja dengan tidak perlu diberikan teguran-teguran terlebih dahulu oleh Bank kepada Penerima Kredit telah memberikan bukti yang cukup bahwa penerima kredit telah melalaikan kewajibannya;
  3. Penerima kredit semata-mata menurut pertimbangan bank, tidak atau belum cukup memenuhi ketentuan atau kewajibannya menurut ketentuan ini.
  4. Pengurus perusahaan meninggal dunia, perusahaan pailit, diletakkan sita atas barang-barang yang menjadi jaminan kredit, atau karena hal-hal lain semata-mata menurut pertimbangan bank, penerima kredit dikuatirkan tidak dapat membayar kembali kreditnya.

BBD dalam perjanjian kredit model KR/05 H, Pasal 2a dan BDN dalam perjanjian kredit model Bel 4 B/2-74 Pasal 5 mengemukakan bahwa bank sewaktu-waktu berwenang mengakhiri perjanjian kredit tanpa memperhatikan tenggang waktu tertentu.

  1. C.   Asuransi Jiwa Kredit

1. Pengertian asuransi jiwa

Menurut Man S. Sastrawidjaja, asuransi jiwa dapat diartikan sebagai :[28]

“suatu perjanjian asuransi yang berkewajiban penanggung untuk membayar sejumlah uang kepada tertanggung didasarkan kepada meninggal atau hidupnya seseorang.”

Molengraaff mengajukan dua macam definisi asuransi jiwa atau pertanggungan jiwa :[29]

  1. “Pertanggungan jiwa dalam arti luas meliputi semua perjanjian tentang pembayaran sejumlah uang pokok (capital) atau bunga, yang didasarkan atas kemungkinan hidup atau matinya seseorang, dan oleh karena itu pembayaran uang pokok atau pembayaran uang premi atau kedua-duanya bagi segala jenis (pertanggungan jiwa) digantungkan pada hidup atau matinya satu atau beberapa orang tertentu.
  2. Dalam arti sempit, pertanggungan jiwa adalah perjanjian tentang pembayaran uang pokok (capital), satu jumlah sekaligus,pada waktu hidup atau matinya orang yang ditunjuk.”

Apabila dihubungkan dengan penggolongan asuransi secara yuridis sebagaimana yang dibuat oleh Molengraaff, asuransi jiwa dapat dapat dimasukkan kedalam golongan asuransi jumlah (sommen verzekering). Adapun yang dimaksud dengan asuransi jumlah adalah suatu perjanjian asuransi yang pada umumnya objeknya tidak dapat dinilai dengan uang dan kewajiban penanggung untuk membayar sejumlah uang kepada tertanggung tidak didasarkan kepada kerugian yang diderita, dan uang asuransi tersebut diperjanjikan oleh kedua belah pihak.  [30]

Menurut Purwosutjipto, definisi dari asuransi jiwa atau pertanggungan jiwa adalah : [31]

“Perjanjian timbal balik antara ‘penutup’ (pengambil) asuransi dengan penanggung, dengan mana penutup asuransi mengikatkan diri selama jalannya pertanggungan untuk membayar uang premi kepada penanggung, sedangkan penanggung, sebagai akibat langsung dari meninggalnya orang yang jiwanya dipertanggungkan atau atau telah lampaunya suatu jangka waktu yang telah diperjanjikan, mengikatkan diri untuk membayar sejumlah uang tertentu kepada orang yang ditunjuk oleh penutup asuransi sebagai penikmatnya.”

Menurut Emmy Pangaribuan, Asuransi jiwa atau pertanggungan jiwa merupakan pertanggungan yang tidak sesungguhnya. Artinya, pengertian asuransi jiwa atau pertanggungan jiwa bukan dimaksud seperti yang disebutkan dalam Pasal 264 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Jelas bahwa asuransi jiwa atau pertanggungan jiwa berbeda dengan asuransi lainnya. Perbedaan ini adalah, bahwa dalam asuransi kerugian atau pertanggungan kerugian si asurador menggantikan kerugian tertentu yang diderita oleh si terjamin, sedangkan dalam asuransi sejumlah uang (pertanggungan jumlah) si penjamin berjanji memberi uang yang jumlahnya sudah ditentukan sebelumnya, dengan tidak disandarkan pada suatu kerugian tertentu.[32]

Adapun pengertian asuransi jiwa atau pertanggungan jiwa menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Peransuransian sudah terangkum dalam Pasal 1 (satu) butir 1 (satu), yaitu :

“Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada ketiga yang mungkin akan dideritan tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.”

Dari pengertian yang diberikan oleh Undang-Undang diatas, dapat dikatakan bahwa jiwa dapat dijadikan obyek asuransi. Hal ini juga dipertegas dalam butir-butir selanjutnya. Dapat diambil kesimpulan, bahwa asuransi jiwa atau pertanggungan jiwa adalah perjanjian antara dua (2) pihak atau lebih. Tertanggung atau penutup (pengambil) asuransi mengikatkan diri selama jangka waktu pertanggungan untukmembayar uang premi kepada penanggung. Sedangkan penanggung mengikatkan dirinya untuk membayar sejumlah uang tertentu yang telah ditentukan sebelumnya, apabila orang yang jiwanya dipertanggungkan meninggal atau telah lampaunya suatu jangka waktu yang telah diperjanjikan, kepada orang yang ditunjuk oleh penutup asuransi.

Perjanjian asuransi atau pertanggungan merupakan suatu perjanjian yang mempunyai sifat yang khusus dan unik, sehingga perjanjian ini mempunyai karakteristik tertentu yang sangat khas dibandingkan dengan jenis perjanjian lain. Perjanjian asuransi atau pertanggungan, secara khusus diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Perjanjian ini diklafikasikan sebagai suatu perjanjian khusus dan yang tunduk pada ketentuan-ketentuan khusus pula.

Secara umum, sahnya suatu perjanjian diatur dan harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang diatur oleh pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Dalam suatu perjanjian asuransi jiwa atau pertanggungan jiwa, yang berkepentingan dapat mengadakan pertanggungan tanpa sepengetahuan atau persetujuan orang yang jiwanya dipertanggungkan. Selanjutnya, asuransi jiwa atau pertanggungan jiwa akan gugur apabila tertanggung sudah meningggal pada saat pertanggungan itu ditutup, kecuali telah diperjanjikan lain. Demikian pula dalam hal ini tertanggung bunuh diri atau dihukum mati.

2. Jenis-Jenis Asuransi Jiwa

Dalam asuransi jiwa atau pertanggungan jiwa ada bermacam-macam Bentuk dan isinya. Hal ini mendorong para sarjana untuk mengelompokkan jenis-jenis-jenis asuransi jiwa atau pertanggungan jiwa tersebut.

H.M.N. Purwosutjipto, mengelompokkan asuransi jiwa atau pertanggungan jiwa tersebut, sebagai berikut :[33]

  1. Bentuk-bentuk asuransi jiwa yang saling bertentangan, antara lain :
  • Asuransi hidup dan asuransi mati.
  • Asuransi biasa dan asuransi rakyat.
  • Asuransi perorangan dan asuransi kumpulan.
  1. Perbedaan-perbedaan asuransi jiwa menurut unsur-unsurnya :
  • Pure Endowement
  • Anuitasmyang terdiri dari :

–        Anuitas pasti (Annuity Certain)

–        Anuitas jiwa (Life Annuity)

  • Asuransi jangka waktu (Term Insurance) yang terdiri dari :

–        Asuransi ekawarsa

–        Asuransi seumur hidup

  • Asuransi jangka waktu dengan santunan menurun (Decreasing Term Insurance)
  • Asuransi jangka waktu dengan santunan meningkat (Increasing Term Insurance)
  1. Bentuk-bentuk asuransi gabungan yang ada di Indonesia, antara lain :
  • Asuransi dwiguna
  • Asuransi pensiun
  • Asuransi jiwa kredit

Sedangkan A.Abbas Salim, menggolongkan asuransi jiwa atau pertanggungan jiwa dalam tiga golongan, yaitu :[34]

1. Asuransi Jiwa Biasa (Ordinary life Insurance), terdiri atas :

a. Asuransi Eka waktu (Term Life Insurance)

b. Asuransi Jiwa Seumur hidup (Whole Life Insurance)

c. Asuransi Dwiguna (Endowment Life Insurance)

d. Anuitas (Annuity)

2. Asuransi Jiwa Secara Kolektif (Group Life Insurance)

3. Asuransi Rakyat (Industrial Life Insurance)

Adapun yang dimaksud dengan asuransi hidup adalah asuransi Asuransi jiwa yang uang pertanggungannya baru dibayarkan, bila badan tertanggung masih hidup pada akhir masa pertanggungan. Jika badan tertanggung meninggal dunia sebelum akhir masa pertanggungannya, maka uang pertanggungannya tidak dibayarkan, misalnya Pure Endowment atau asuransi pensiun. Sedangkan asuransi mati adalah asuransi jiwa yang uang pertanggungannya dibayarkan jika badan tertanggung meninggal dalam jangka waktu masa pertanggungan. Dalam praktek, asuransi hidup dan mati digabung menjadi satu, misalnya dalam asuransi Dwiguna.

Asuransi biasa adalah asuransi jiwa yang ditujukan bagi masyarakat golongan menengah keatas. Pada dasarnya premi dihitung dan dibayar setiap tahun atau diangsur setiap semester, triwulan atau bulanan ataupun dapat dibayar sekaligus untuk beberapa tahun sebagai premi tunggal. Asuransi rakyat adalah asuransi jiwa bagi rakyat berpenghasilan rendah, misalnya buruh, karyawan atau pengusaha kecil.

Asuransi perorangan adalah asuransi jiwa, dimana satu polis diperuntukkan bagi satu atau beberapa orang tertanggung, dan bila terjadi klaim, kontraknya berakhir. Untuk asuransi kumpulan, tiap satu polis menutup sekelompok badan tertanggung dengan jumlah minimum yang ditetapkan. Polis tersebut disebut induk atau polis pokok dan para badan tertanggung sebagai peserta. Dalam hal adanya klaim atas seorang peserta, polis induk tetao masih berlaku.

Asuransi ekaguna (pure endowment) adalah sejenis asuransi jiwa yang uang pertanggungannya dibayarkan, jika badan tertanggung pada akhir masa pertanggungannya masih hidup. Tetapi bila pada waktu si badan tertanggung itu sudah mati, maka uang pertanggungan tidak dibayarkan.

Anuitas prinsipnya berbeda dengan asuransi biasa. Anuitas bertujuan untuk membentuk ‘dana’ agar bias digunakan pada waktu hari tuanya. Hal yang penting disini adalah cara bagaimana mengumpulkan dana-dana, sedangkan pada asuransi tujuannya untuk memperkecil resiko.

Anuitas pasti adalah suatu deretan pembayaran secara berkala selama jangka waktu tertentu, misalnya pembayaran dana beasiswa. Anuitas jiwa adalah suatu deretan pembayaran secara berkala selama jangka waktu tetentu atau selama hidup, yang pembayaranya dilaksanakan jika badan tertanggung masih hidup, misalnya pembayaran premi asuransi jiwa atau pembayaran pensiun.

Asuransi jangka waktu adalah asuransi jiwa yang uang pertanggungannya dibayarkan kepada yang ditunjuk, jika tertanggung meninggal dalam masa pertanggungan. Uang pertanggungan tidak dibayarkan bila badan tertanggungmasih hidup pada akhir masa pertanggungan. Bentuk pertanggungan ini jangka waktu tertentu.

Asuransi ekawarsa adalah asuransi jangka waktu yang masa pertanggunganya satu tahun. Jika masa pertanggungan satu tahun sudah berakhir, dapat diperbahurui lagi dengan cara membayar premi untuk masa pertanggungan satu tahun berikutnya, dengan penyesuaian umur. Asuransi seumur hidup adalah asuransi jiwa jangka waktu yang masa pertanggungannya tidak terbatas, dalam arti, seumur hidup. Biasanya pembayaran premi setiap tahun sama besarnya.

Asuransi jangka waktu dengan santunan menurun adalah asuransi jiwa jangka waktu yang uang pertanggungannya menurun. Uang pertanggungan pada saat permulaan disebut awal. Mengenai asuransi jiwa jenis ini ada beberapa bentuk variasinya, yaitu :

  1. Asuransi jiwa kredit

Asurasi jenis ini terjadi dari asuransi dari asuransi jangka waktu dengan santunan menurun yang dikaitkan dengan pinjaman (kredit). Jika badan tertanggung dalam masa pertanggungan meninggal dunia, maka penanggung melunasi secara tunai sisa pinjaman yang belum dibayar.

  1. Asuransi Santunan Penghasilan Keluarga

Asuransi ini adalah asuransi jangka waktu dengan santunan menurun, yang uang pertanggungannya dibayarkan setiap bulan sejak tertanggung meninggal dunia sampai akhir masa pertanggungan.

Asuransi jangka waktu dengan santunan meningkat adalah Asuransi jiwa jangka waktu yang uang pertanggungannya meningkat.

Sedangkan menurut Emmy Pangaribuan, pertanggungan jiwa sebenarnya tidak dapat dimasukkan kedalam pengertian/hakekat “pertanggungan” sehingga dia digolongkan ke dalam suatu pertanggungan yang sifatnya tidak sebenarnya atau tidak sesungguhnya merupakan pertanggungan. Pendapat tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa :[35]

  1. Unsur peristiwa tak tentu dalam pertanggungan jiwa adalah kematian. Akan tetapi kematian itu adalah suatu peristiwa yang telah dapat ditentukan akan terjadi, sebab semua orang pasti mati, ini adalah suatu kenyataan yang tidak dapat disangkal lagi. Hanya saatnya kematian itulah yang belum dapat dipastikan. Sedangkan unsur peristiwa tidak tentu di dalam pertanggungan kerugian pada umumnya adalah suatu peristiwa yang menurut pengalaman ,manusia tidak dapat diharapkan akan terjadinya. Pada pertanggungan jiwa, kematian itu adalah suatu peristiwa yang diharapkan pada setiap orang akan terjadi, hanya waktunya yang tidak dapat dsipastikan. Oleh karena itu, pengertian peristiwa yang tidak tertentu seperti yang disebutkan dalam Pasal 246 KUHD itu, di dalam pertanggungan jiwa hanyalah terdapat dalam arti “apabila penanggung mengikatkan dirinya untuk membayar, kalau peristiwa kematian itu terjadidalam waktu yang lebih pendek daripada waktu hidup yang mungkin terpanjang dari tertanggung”.
  2. Unsur kepentingan dalam suatu pertanggungan merupakan suatu syarat yang harus ada bagi tiap-tiap tertanggung. Dan kepentingan itu harus dapat dinilai dengan uang. Dalam pertanggungan jiwa unsur kepentingan itu tidak dapat dinilai dengan uang. Jadi tidak sesuai dengan Pasal 268 KUHD.

Jadi menurut Emmy Pangaribuan, pertanggungan jiwa merupakan pertanggungan yang tidak sesungguhnya artinya pengertian asuransi jiwa atau pertanggungan jiwa bukan dimaksudkan seperti yang disebutkan dalam Pasal 246 KUHD.

Adapun menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang usaha Perasuransian, pengertian asuransi jiwa atau pertanggungan jiwa sudah terangkum dalam Pasal 1 ayat 1. Hal tersebut terlihat dari kata-kata “Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dimana penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggalnya atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan”.

Dari pengertian yang diberikan oleh Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992  tentang usaha perasuransian tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa jiwa dapat dijadikan objek asuransi. Hal ini juga dipertegas pada ayat selanjutnya dari pasal tersebut : “Obyek asuransi adalah benda dan jasa, jiwa dan raga, kesehatan manusia, tanggung jawab hukum, serta semua kepentingan lainnya yang dapat hilang, rusak, rugi dan atau berkurang nilainya”

3. Fungsi Asuransi Jiwa

Asuransi jiwa memiliki fungsi antara lain : [36]

  1. Ialah mengadakan  jaminan bagi masyarakat yaitu mengambil alih semua beban resiko dari tiap-tiap individu. Bilamana ditanggung sendiri akan terlalu berat, maka lebih baik dipindahkan kepada perusahaan asuransi jiwa. Untuk mengambil alih resiko dari masing-masing itu oleh perusahaan  asuransi ditempuh suatu pembayaran yang relatif rendah (pembayaran premi).
  2. Perusahaan asuransi mempunyai tugas lain bila dilihat dari sudut pembayaran (economic development) yaitu sebagai suatu lembaga yang mengumpulkan dana dan dana tersebut dapat diinvestasikan dengan lapangan pembangunan  ekonomi seperti : industri, perkebunan dll.  Dengan demikian adanya asuransi bisa untuk membayar perekonomian nasional.
  3. Dari sudut employment (pekerjaan) perusahaan asuransi memberi bantuan kepada publik, yaitu memberi kesempatan bekerja pada buruh/pegawai untuk memperoleh income guna berlangsungnya hidup mereka.
  1. 4.  Asuransi Jiwa Kredit

Asuransi jiwa kredit merupakan suatu macam asuransi jiwa, dimana yang dipertanggunngkan adalah jiwa pihak debitur/peminjam dari pihak tertanggung, dan pihak penanggung memberi santunan sebesar sisa hutang yang belum dilunasi sesuai dengan jadwal pelunasan, jika debitur tertanggung meninggal dalam masa asuransi.

Dari pengertian asuransi jiwa kredit tersebut dapat dijabarkan bahwa dalam asuransi jiwa kredit terdapat cirri-ciri sebagai berikut :[37]

  1. Asuransi jiwa kredit pada dasarnya adalah asuransi jiwa, obyek yang dipertanggungkan adalah jiwa pengambil kredit yang jumlah pertanggungannya dibatasi sebesar nilai pokok pinjaman ditambah bunga.
  2. Hak klaim timbul apabila debitur tertanggung meninggal dunia dalam kurun waktu pertanggungan.
  3. Apabila klaim telah dibayar oleh pihak penanggung maka atas sisa pinjaman debitur tertanggung dinyatakan lunas sehingga surat-surat bukti pemilikan jaminannya dikembalikan kepada ahli waris debitur tertanggung/pemilik jaminan. Dalam hal ini pihak penanggung tidak mempunyai hak subrogasi atas sisa pinjaman debitur tertanggung.

Dalam praktek “plan” asuransi jiwa kredit dipasarkan dalam bentuk asuransi kumpulan. Hal ini dilakukan hanyalah merupakan semacam metode penjualan secara kelompok. “Plan” yang ditawarkan pada umumnya sama seperti yang dijual secara perorangan.

Beberapa ciri khas asuransi kumpulan yaitu :

  1. Satu polis induk
  2. Sertifikat untuk para peserta
  3. Premi relatif rendah
  4. Administrasi sederhana

Jenis-jenis penutupan asuransi jiwa kredit dapat dilihat dari berbagai sudut, yaitu sebagai berikut :

Asuransi jiwa kredit dilihat dari sudut peristiwa yang mungkin terjadi Credit Life Insurance, yaitu asuransi jiwa kredit dimana hak klaim dari tertanggung terbit jika nasabah tertanggung meninggal.

Credit Accident, yaitu asuransi jiwa kredit yang penutupanya didasarkan jika nasabah tertanggung atau peserta asuransi itu mengalami kecelakaan.

Sickness Insurance, yaitu asuransi jiwa kredit dimana hak klaim baru terbit jika nasabah tertanggung mengalami sakit yang parah sehingga mengalami ketidakmampuan untuk memenuhi kewajibanya dalam perjanjian kredit yang bersangkutan.

Asuransi jiwa kredit dilihat dari nilai uang pertanggungannya, terdiri :[38]

Asuransi jiwa kredit yang nilai uang pertanggungan sama dengan niali kredit awal. Dalam asuransi jiwa kredit jenis ini, jika nasabah tertanggung meninggal dunia pada masa asuransi, maka penanggung wajib membayar sejumlah sebesar niali kredit awal, kepada pihak tertanggung.

Asuransi jiwa kredit yang nilai uang pertanggunganya sama dengan nilai sisa hutang si debitur yang meninggal. Jadi dalam asuransi jenis ini, kewajiban penanggung dalam membayar sejumlah uang kepada tertanggung sebesar sisa hutang si debitur tertanggung yang meninggal.

Asuransi jiwa kredit dilihat dari sistim pembayaran premi. Jenis asuransi jiwa kredit ini terdiri dari dua macam :

Asuransi jiwa kredit Ekawaktu, yaitu suatu asuransi jiwa kredit yang pembayaran preminya hanya sekali. Yaitu pada saat akan ditutupnya perjanjian asuransi.

Asuransi jiwa kredit Cicilan bulanan, yaitu asuransi jiwa kredit yang pembayaran preminya dicicil setiap bulan bersamaan dengan cicilan pembayaran kredit dengan bunganya.

Dalam praktek “plan” asuransi jiwa kredit dipasarkan dalam bentuk asuransi kumpulan. Hal ini dilakukan hanyalah merupakan semacam metode penjualan secara kelompok. “plan” yang ditawarkan   pada  umumnya sama seperti  yang  dijual secara perorangan .

Dalam asuransi kumpulan satu polis menutup sekelompok tertanggung dengan jumlah minimum yang ditentukan. Polis asuransi tersebut dinamakan polis induk/pokok dan para tertanggung sebagai peserta. Dalam hal ini terjadi klaim atas peserta, polis induknya tetap berlaku. Setiap peserta diberi sertifikat yang merupakan tanda peserta dalam asuransi kumpulan. Pengurusan dan pemeliharaan asuransi kumpulan ini dilaksanakan antara penanggung dan pemegang polis, dengan demikian tidak ada hubungan langsung antara penanggung dan peserta.

Sistem pembayaran premi dalam asuransi kumpulan ada dua macam, yaitu :

Dengan iuran (contributory): Premi ditanggung bersama oleh Bank dan nasabah/debitur misalnya : Bank 50% dan Nasabah 50%, atau Bank 2/3 dan nasabah 1/3.

Tanpa iuran (non contributory): Premi ditanggung oleh satu pihak, misalnya Bank atau Peminjam/nasabah bank saja.

Dikatakan bahwa administrasi asuransi kumpulan sederhana oleh karena :

1. Surat permintaan cukup satu, yang diisi dan ditandatangani oleh calon pemegang polis. Surat permintaan ini dilampiri daftar peserta yang diasuransikan.

2. Kwitansi premi, baik itu premi pertama maupun premi lanjutan dibuat satu saja atas nama pemegang polis.

3. Korespondensi mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan asuransi kumpulan dibawah polis tertentu, dilakukan hanya dengan pemegang polis.


[1] R.M. Suryodiningrat, Azas-azas Hukum Perikatan, Transito, Bandung, 1985, hlm 72

[2] R. Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1979, hlm 13

[3] R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, 1977, hlm 49

[4] R. Subekti, Op. Cit, Hlm 1

[5] R. Setiawan, Op. Cit, hlm 1

[6] R.M. Suryodiningrat, Op. Cit, Hlm 2

[7] R. Setiawan, Op. Cit, Hlm 2

[8] R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, Hlm 122

[9] Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2007, Hlm 29

[10] Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2006, Hlm 474

[11] Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hlm 26

[12] Thomas Suyatno, et. Al, Dasar-Dasar Perkreditan, Cetakan ketiga, Gramedia, Jakarta, 1990, Hlm 108

[13] Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit, Hlm 26

[14] Ibid, hlm 23

[15] Marhainis Abdul Hay, Hukum Perbankan di Indonesia, Buku pertama, Cetakan kedua, Pradnya Paramita, Hlm 67

[16] R. Subekti, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Cetakan kedua, Alumni, 1978, Hlm 13

[17] Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit, Hlm 53

[18] Ibid, Hlm 55

[19] Ibid, Hlm 60

[20] Muhamad Djumhana, Op. Cit, Hlm 505

[21] Ch. Gatot Wardoyo, Op. Cit, Hlm 64-69

[22] Thomas Suyatno et. Al. Op. Cit, hlm 84

[23] Ibid, hlm  86

[24] Muhamad Djumhana, Op. Cit, hlm 505

[25] Ibid, hlm 510

[26] Ibid, hlm 512

[27] Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit, hlm 86

[28] Man S. Sastrawidjaja, Bunga Rampai Hukum Dagang, Op. Cit, hlm 51

[29] Abdul Kadir Muhamad, Hukum Asuransi Indonesia, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2006, hlm 194

[30] Man S. Sastrawidjaja, Bunga Rampai Hukum Dagang, Op. Cit, hlm 52

[31] HMN Purwosutjipto, Op. Cit, hlm 14,69

[32] Emmy Pangaribuan Simanuntak, Hukum Pertanggungan, Pokok-Pokok Pertanggungan Kerugian, Kebakaran, Jiwa, Cet. 5, Yogyakarta, Seksi Hukum Dagang Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, 1982, hal 65

[33] HMN Purwosutjipto, Op. Cit, hlm 84

[34] A. Abbas Salim, Asuransi Dan Manajemen Resiko. Ed. 2, Cet. 8, Jakarta, Rajagrafindo Persada, 2005, hlm 72

[35] Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Op. Cit, hlm 77

[36] A. Abbas Salim, Dasar-Dasar Asuransi (Principles Of Insurance), Cet Pertama, Jakarta, Rajawali, 1989

[37] Rudi Alfiandi, Praktek Asuransi Jiwa Kredit Sebagai Jenis Asuransi, Kumpulan Dan Permasalahannya, FHUI, 1993, hlm 72

[38]Ibid, hlm 53

Penulis : 

By : Jiddan

Pos terkait