Raja dan Kompeni
Buyung Pambudi*
Berjalan di atas pematang sawah pada malam hari, tentu gelap. Apalagi, pendaran sinar lampu-lampu listrik hanya menerangi rumah-rumah dan halaman warga, tidak mampu menjangkau sawah. Sawah dibiarkan gelap, suram, sesuram masa depan sawah yang mulai ditinggalkan oleh pemuda desa. Akibat mimpi tak bijak dari orang tua-orang tua di desa yang mengidamkan anaknya hidup di gemerlapnya kota.
Awas hati-hati, karena pematang sawah di sini berasal dari tumpukan batu cadas, bukan lumpur atau pun batu gunung. Tangan-tangan perkasa petani setempat lah yang menyusun rapi batu-batu cadas itu menjadi pematang sawah. Tangan-tangan yang ditempa oleh kerasnya perjalanan hidup. Posisi sawah berundak-undak, seperti teras siring, lebih mirip pintu masuk kuil. Iya, kuil kehidupan yang dari rahimnya benih-benih kehidupan tumbuh dan berkembang. Bulir padi, biji jagung, biji kacang, sayur-mayur lahir bergantian dari rahimnya. Bayangkan dunia tanpa padi, jagung, biji kacang atau sayur-mayur. Tak mungkin kiranya kita makan semen atau aspal, kecuali makhluk aneh bernama ‘pelaku rasuah’. Pelaku rasuah termasuk jenis ‘pemakan segala’, gedung-gedung, aspal jalanan, bangku sekolah, besi jembatan, pohon-pohon, bahkan harga dirinya juga dilahap habis tak tersisa.
Setiap lima langkah terdapat pelita dari botol berisi minyak tanah dengan sumbu dari sobekan kain baju bekas yang digunting-gunting. Pelita tertata rapi di atas pematang sawah dari posisi undakan paling atas hingga ke sawah paling datar. Pelita itu menjadi penuntun bagi pejalan kaki yang hendak menuju sawah datar. Sawah datar menjadi tempat pertempuran antara Raja melawan Kompeni.
Bulan memerah, angin berhenti berhembus, ular-ular berdesis, buru-burung terbang menjauh. Untung saja, perempuan paruh baya, pemuda desa, remaja, bahkan anak kecil tidak beranjak dari tempat pertempuran. Merekalah tanda-tanda zaman. Tanda-tanda bahwa kita tidak boleh hanyut dan tenggelam oleh arus kehidupan. Tanda-tanda zaman bahwa kita masih berbudaya. Hampir semua percakapan malam itu menggunakan bahasa ibu. Ibu kita adalah Madura. Ibu kita adalah Jawa. Ibu kita adalah Bugis. Ibu kita adalah Papua.
Di bawah guyuran sinar bulan yang dua malam itu cukup melimpah, pertempuran masih saja berlangsung. Bahkan semakin sengit. Adu otot, adu senjata, saling serang, saling tangkis, bergulat, bergumul silih berganti. Ciattt…haiyaa…des..des..argggghhhhh…
***
Bukan pertempuran yang sebenarnya. Itu hanyalah cuplikan pementasan dari pegiat seni Komunitas Masyarakat Lumpur di Desa Campor Kecamatan Geger Kabupaten Bangkalan, Sabtu malam (15/10/2016).
Pementasan seni teater di alam terbuka merupakan kemewahan. Bahkan, konon di Eropa sana, penontonnya adalah seniman kelas dunia. Ahhhh… di sini juga tidak kalah. Seniman kelas dunia juga. Tak percaya? Mana ada di belahan dunia ini yang disebut suku, budaya, dan bahasa Madura selain dari Indonesia. Berbanggalah, karena kita kelas dunia.
Ada empat pementasan malam itu, tiga pementasan menggunakan bahasa Madura, hanya satu pementasan yang berbahasa Indonesia. Padahal, panitia pementasan tidak mengharuskan mereka untuk berbahasa Madura saat pentas. Jadi, saya amat sangat tidak sepakat sekali ketika ada orang yang mengatakan bahwa bahasa Madura akan punah. Tuh! Contohnya. Anak muda Madura tidak malu berbahasa Madura. Orang yang menganggap bahasa Madura akan punah, mungkin mereka kurang piknik, atau kurang ber-swafoto. Wakakakakak…
***
Pagi hari…
Jalan kaki saja, kurang seratus meter dari lokasi pementasan tadi malam, kita bisa menikmati suasana sungai di pagi hari. Anak-anak, orang dewasa, bahkan lansia, mereka menikmati sejuknya udara pagi sambil mandi di sungai. Sungguh, sebuah kemewahan yang sering kita ingkari. Biasanya, para turis di Bali harus merogoh kocek cukup dalam ketika hendak menikmati mandi di alam. Kita, bisa menikmatinya di sini, dengan gratis tis!
Kurang dari lima ratus meter, kita bisa menikmati hamparan sawah dengan aneka tanaman hijau yang daunnya basah oleh embun. Embun tipis masih setia menyelimuti sawah-sawah petani yang terhampar di desa itu. Saya sempat tertegun melihat dedaunan kacang tanah yang basah oleh embun. Ingin rasanya tidur terlentang di atas hamparan tumbuhan hijau itu, tentu saja sambil ber-swafoto. Tapi, niat itu kuurungkan saja. Takut si pemilik sawah marah dan mengejarku sambil mengacungkan celurit.
Kurang dari lima kilometer, kita bisa menyaksikan anak-anak serta pemuda desa yang bermain bola di lapangan sepak bola desa. Rumputnya hijau. Ya, beda tipis-tipis lah dengan Stadion Santiago Bernabeu, markas klub sepak bola Real Madrid. Hehehe…
Hanya alang-alang pagar rumah kita
Tanpa anyelir, tanpa melati
Hanya bunga bakung tumbuh di halaman
Namun semua itu punya kita
Memang semua itu milik kita
Haruskah kita beranjak ke kota yang penuh dengan tanya
Lebih baik di sini, rumah kita sendiri
Segala nikmat dan anugerah yang kuasa
Semuanya ada di sini, rumah kita (lagu: rumah kita: God Bless)