Pendistribusian kerap tidak tepat jumlah. By : An
Maduracorner.com.Bangkalan – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menganggap Program Subsidi Beras Bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah – atau yang dikenal dengan program Raskin – yang berjalan saat ini, tidak efektif. Karena itu, KPK menyarankan agar program yang telah berusia 15 tahun ini didesain ulang.
Kesimpulan ini disampaikan pimpinan KPK Busyro Muqoddas pada Kamis (3/4) di Gedung KPK, Jakarta, saat pemaparan Hasil Kajian Raskin di hadapan Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi; Ketua BPKP, Mardiasmo; Ketua BPS, Suryamin; Dirjen Anggaran, Askolani; Dirjen Keuangan Daerah Kemendagri, Yuswandi A. Temenggeung; Deputi Bidang Kemiskinan, Ketenagakerjaan dan Usaha Kecil Menengah (UKM) Bappenas, Rahma Iriyanti; Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Wynandin Imawan, Dirjen Pemberdayaan Sosial Kemensos, Hartono Laras; Deputi Perlindungan Sosial Kemenkokesra, Chazali Husni Situmorang; serta Irjen Kemenkeu, Vincentius Sonny Loho.
KPK menganggap, program subsidi ini tidak memenuhi “6 T”, yakni Tepat Sasaran, Tepat Jumlah, Tepat Mutu, Tepat Waktu, Tepat Harga dan Tepat Administrasi, yang dijadikan sebagai indikator efektivitas program.
Persoalan data penerima menjadi persoalan klasik. Dalam penghimpunan data rumah tangga sasaran penerima manfaat (RTS-PM) yang diperoleh dari BPS, kurang melibatkan pemerintah daerah. Hal ini membuka potensi terjadinya ketidaksesuaian data dengan kondisi sebenarnya. Hal ini berakibat penetapan RTS-PM menjadi tidak tepat sasaran, sehingga masyarakat miskin yang seharusnya menerima Raskin, justru tidak menerima. Dan sebaliknya.
Sesuai peraturan, RTS-PM menerima sebanyak 15 kg per bulan. Pada kenyataannya di lapangan, pendistribusian kerap tidak tepat jumlah. Ada sejumlah daerah yang mendistribusikan kepada RTS-PM di bawah 15 kg dengan berbagai alasan. Ada kalanya jumlah penerima melebihi dari daftar yang seharusnya. Untuk mengantisipasi dampak sosial, mekanisme pembagian rata dilakukan kepada seluruh RTS-PM dan warga miskin non-RTS-PM dengan mengurangi kuota dari yang seharusnya.
Setiap bulan, RTS-PM menebus beras Raskin sebesar Rp1.600/kg netto di titik bagi. Namun, praktik di sejumlah daerah justru menunjukkan fakta ketidaktepatan harga. Beras Raskin kerap ditebus dengan harga lebih mahal dari yang telah ditetapkan. Ini disebabkan tidak ditanggungnya biaya transportasi dari titik distribusi ke titik bagi, sehingga petugas membebankan biaya itu ke dalam biaya tebus beras. Dalam hal ini, penerima tidak bisa berbuat banyak. Padahal menurut Pedoman Umum Penyaluran Raskin 2013, biaya transportasi dari titik distribusi ke titik bagi menjadi tanggungan Pemda yang dianggarkan dalam APBD. Temuan di lapangan menunjukkan, sebagian besar Pemda tidak menganggarkan biaya ini. Selain biaya transportasi, ditemukan juga komponen biaya lainnya, seperti ongkos timbang, biaya jaga malam, biaya penyimpanan, dan lain-lain yang berdampak pada menggelembungnya biaya tebus.
Waktu pelaksanaan distribusi beras kepada rumah tangga sasaran, seharusnya dilakukan setiap bulan. Pada kenyataannya, terdapat sejumlah kendala, seperti keterlambatan penetapan pagu, penundaan penyaluran oleh BULOG akibat masih adanya tunggakan pembayaran, dan pengiriman tidak setiap bulan. Akibatnya, pendistribusian dilakukan dengan sistem rapel. Bahkan ada daerah yang mendapat distribusi empat bulan sekali. Hal ini disebabkan juga oleh kurangnya sosialisasi kepada RTS-PM mengenai hak yang seharusnya mereka terima, seperti harga, jumlah dan jadwal distribusi.
Kualitas beras, merujuk pada terpenuhinya persyaratan kualitas beras sesuai dengan Inpres tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah. Penetapan harga dan spesifikasi untuk beras kualitas medium yang ditetapkan flat sepanjang tahun menyulitkan BULOG untuk menyerap beras kualitas baik. Sulitnya BULOG menyerap beras dari petani mendorong diserapnya beras ‘kualitas asalan’. Ditambah dengan target pengadaan yang dilakukan BULOG untuk memenuhi jumlah beras Raskin, dengan infrastruktur penyimpanan beras yg terbatas dan berasdisimpan dalam waktu lama mengakibatkan menurunnya kualitas beras Raskin. Akibatnya beras yang diterima RTS-PM tidak sesuai dengan standar kualitas beras medium, seperti berbau apek, berkutu, berwarna kuning. Alih-alih dikonsumsi, akibat beras yang tak tepat kualitas, maka beras Raskin justru lebih banyak dijual kembali oleh penerima sehingga menciptakan praktek pemburuan rente.
Persoalan lainnya, lemahnya sistem pengawasan dan pengendalian dalam program ini. Mulai dari terlalu banyaknya pihak yang terlibat yang tergabung dalam Tim Koordinasi Raskin daerah sampai pusat dengan ketidakjelasan peran dan tanggung jawab masing-masing, sampai dengan mekanisme pelaporan yang masih lemah dan tidak adanya mekanismecheck and balance dalam proses pencairan anggaran subsidi
Jika memang program ini akan diteruskan, maka KPK mengusulkan agar program ini didesain ulang dalam rangka efektivitas program. Pertama dengan melakukan review terhadap kebijakan subsidi Raskin secara komprehensif dengan memperhitungkan berbagai faktor untuk mencapai ketepatan sasaran program. Faktor itu antara lain, penataan ulang kelembagaan program Raskin, penajaman metode penetapan target sasaran, penajaman targeted area, perbaikan tata laksana, perbaikan kualitas beras, harmonisasi Kebijakan subsidi Raskin dengan program diversifikasi pangan dan Kebijakan Perberasan Nasional, dan peningkatan pemahaman seluruh pihak yang terlibat.
Kedua, agar pemerintah memperbaiki kebijakan dan mekanisme perhitungan subsidi agar lebih transparan dan akuntabel. Perbaikan tersebut setidaknya perlu memperhatikan dengan melibatkan unsur pengawas untuk mengurangi risiko pembebanan biaya di luar biaya penugasan penyaluran Raskin. Ketiga, agar pemerintah memperkuat sistem pengawasan dan pengendalian dalam pelaksanaan Program Subsidi Raskin.
KPK menaruh perhatian besar terhadap pengelolaan kebijakan subsidi Raskin, sebab ini menjadi salah satu national interest KPK, yakni berkaitan dengan ketahanan pangan plus (pertanian, perikanan dan kehutanan, serta plus pendidikan dan kesehatan). Tak hanya itu, fakta bahwa subsidi ini juga terus meningkat dari tahun ke tahun, menunjukkan penggunaan APBN yangseharusnya digunakan secara efektif dan efisien.
Sebagai upaya pencegahan terjadinya tindak pidana korupsi, KPK berkepentingan untuk melakukan pengkajian, penelitian dan penelaahan terhadap isu ini, agar pengelolaannya sesuai dengan kriteria “6T”, sebagaimana yang dimaksud di atas.
Sumber : Komisi Pemberantasan Korupsi