Meskipun karya-karyanya yang lucu, sering kali surreal, namun berani secara politik telah meninggalkan jejaknya secara internasional, karya monumentalnya Voyage-Trokomod menonjol sebagai sebuah visi artistik yang tak terlupakan: sebuah gagasan tentang dunia tanpa batas yang terus menggema satu dekade sejak penayangannya.
Diperkenalkan di Venice Biennale Arte 2015, Heri mewakili negaranya di Pavilion Indonesia yang diproduksi oleh Restu Imansari Kusumaningrum. Instalasi media campuran miliknya selaras dengan visi kurator legendaris Okwui Enwezor, yang menamai biennale ke-56 itu “All the World’s Futures”.
“Seorang seniman harus memainkan peran dalam membentuk konstelasi dunia,” kata Heri, bagi siapa konstelasi itu adalah dunia tanpa batas, dunia tanpa tempat bagi kekuatan hegemonik.
Melalui seninya, ia berbicara dan bersuara, menyamakan dirinya dengan Semar, tokoh badut utama dalam mitologi Jawa, seorang demigod yang berani menantang para dewa. Dalam gaya jenaknya yang khas, Heri pernah berkata, “Saya Semar,” sebelum menambahkan, “di kehidupan sebelumnya saya adalah seekor dinosaurus.”
Biennale sepuluh tahun yang lalu bukanlah pertemuan pertamanya dengan pameran seni visual bergengsi di Venesia.